Monday, August 6, 2012

(bukan) tentang jerawat

Saya tidak pernah tahu apa yang benar-benar diinginkan oleh jerawat ini. Jerawat lain rasa-rasanya paling lama cuma dua minggu bertengger di pipi atau di dahi, jerawat yang satu ini benar-benar tidak bisa dikasih ampun. Sudah hampir satu bulan rasanya dia menghiasi pipi kanan saya. Terus saja dia disitu, setiap pagi sehabis bangun tidur saya langsung berkaca memperhatikan pergerakannya. Dia tidak pernah tumbuh menjadi matang lalu mengempis seperti normalnya jerawat-jerawat lain. Sungguh ini adalah jerawat terkonsisten yang pernah mampir di hidup saya.

Dilihat dari jenisnya, dia memang sepertinya berbeda dengan jerawat-jerawat yang sering hinggap. Mungkin ini yang namanya jerawat batu. Jerawat marjinal, yang terpinggirkan karena memang jenisnya cuma sedikit, mungkin, dan sering kalah pamor dengan jerawat-jerawat normal lainnya. Tapi hal itu lah yang membuat saya menaruh perhatian padanya lebih dari jerawat-jerawat yang lainnya. Sialan, kenapa ya dia bisa bertahan kekeuh disana tanpa ada perubahan yang signifikan?

Sesuai dengan namanya 'jerawat batu', sifatnya ternyata memang nyaris sama seperti batu. Ini jerawat yang paling sulit dikalahkan dalam adu argumentasi, apalagi meminta sedikit toleransi. Wah, seringkali saya keder dibuatnya. Menjengkelkan sekali. Sesuatu yang sulit sekali diatur memang selalu menarik perhatian saya, tapi lama-kelamaan kenapa rasanya jadi begitu memuakan? 

Hari itu entah kenapa saya kesal sekali dibuatnya. Jerawat ini harus lenyap dari kehidupan saya. Saya pun bergegas mencari solusi penghilang jerawat batu yang benar-benar mujarab, konsultasi sana, konsultasi sini, tantangan berikutnya yang harus saya taklukan adalah menyingkirkan kamu dari kehidupan saya. Huh. Akhirnya ketemu, satu obat yang ampuh. Malam itu juga saya oleskan tebal-tebal pada jerawat batu sialan itu. Lihat saja nanti, besok pagi kamu sudah harus pergi dari tempat ini. 

Selamat tinggal. Tempatmu sekarang di kolom obituary.

...

menulis bagian dua

Semiskin-miskinnya seorang manusia, saya pikir, dia harus punya alat tulis. Atau mungkin, sebodoh-bodohnya manusia, dia tetap harus bisa menulis. Karena (menurut saya) cuma dengan menulis kita bisa bertemu dengan diri sendiri tanpa perlu banyak permisi dan basa-basi. Mengeluarkan yang bau, membersihkan yang kotor, atau menyimpan hal-hal yang menyenangkan. Menulis (menurut saya lagi) adalah salah satu manifestasi kebutuhan akan teritori, sebuah wahana area eksplorasi tersendiri.

Saya pernah bertanya pada diri saya sendiri, siapa yang lebih kamu kenal, Karl Marx atau kakek buyutmu sendiri, Ompung Syekh Ibrahim Sitompul? Saya menjawab pilihan yang pertama. Kenapa? Karena dia menulis. Ya, sesederhana itu. Pak Pramoedya pun suatu waktu pernah menulis begini, "Sesederhana cerita yang ditulis, tetap saja dia akan mewakili pribadi suatu individu."  Saya ingin dikenali secara personal oleh (calon) cucu-cucu saya, keponakan-keponakan saya, atau mungkin anak teman-teman saya, siapa saja lah dari tulisan-tulisan saya. Mungkin mereka akan tertawa, akan tersenyum, atau mungkin merasa jijik haha, apapun itu, yang jelas mereka akan memiliki keterikatan emosional dengan saya. 

 Beberapa hari yang lalu, seorang teman sempat berkomentar, "Galuh sekarang produktif banget di blog." Saya nyengir, setelah saya pikir -pikir ada benarnya juga. Blog ini sebenarnya sudah ada dari tahun 2009, tapi saya mengisinya jarang-jarang. Kalau sedang mood, lagipula saya menulis juga di beberapa tempat yang berbeda. Ada kemungkinan karena sekarang saya memang tidak punya lagi 'area kebebasan berekspresi'. Dulu saya punya Garage Store, proyek iseng-iseng yang ternyata menghasilkan uang. Disitu saya bebas melakukan apa saja, mendandani dan memotret model sesuai keinginan dan imajinasi saya, sekarang setelah saya ganti profesi yang berbeda 180 derajat, saya kehilangan area teritori dimana saya bisa menjadi diri sendiri.

 Menulis adalah salah satu bentuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Jika dipahami dari teori pragmatisme William James, menulis merupakan sebuah gerakan atau bentuk tindakan berpikir manusia. Sekali waktu Albert Einstein mengatakan, "Aku menulis untuk memenuhi kebutuhan berpikir.”  Menulis itu seperti ibadah yang diperintah oleh sebuah agama. Suatu aktivitas rendah hati yang sangat personal, tak perlu berisik membuat gaduh yang menganggu. Apresiasi pembaca adalah bentuk pahala bagi penulisnya. Tak jelas rupa dan bagaimana mendapatkannya, namun cukup menumbuhkan rasa bahagia. Yang jelas saat ini untuk saya, menulis adalah bentuk pelarian yang sangat sempurna dari dunia nyata. (Sama seperti agama juga, bukan?) Hehehe. Peace, ah.

...