Thursday, August 9, 2012

puisi yang tak jadi-jadi

Manusia itu makhluk paling absurd sepanjang masa. Dibilang mamalia, tidak juga, dibilang karnivora, bukan juga. Lalu dengan pongahnya dia memaknai semua makhluk hidup yang ada, mulai dari iblis sampai kura-kura. 

Saya sedang kesal. Saya ingin buat puisi. Tapi menulis puisi bukan spesialisasi yang saya miliki. "Tulisan lu aneh. Kaya bukan tulisan perempuan." Memangnya ada karakterisasi tulisan perempuan dan laki-laki? Bah. Tulisan iseng-iseng pun juga kena sasaran diskriminasi. Teman saya bilang saya kurang sense of sensitivity untuk menulis puisi. Nulis puisi itu pakai perasaan, bukan pakai kepala. Setahu saya, perasaan adalah manifestasi dari pergolakan yang tak tertampung di kepala, lalu dia meleleh, meluber keluar, karena kepala merasa ini sudah bukan ranahnya.

Siang ini saya tiba-tiba berpikir, apa sekiranya yang membuat ras manusia ini sulit sekali dipunahkan? Apa yang membuat makhluk hidup ini menjadi pintar sekali sekali beradaptasi di segala kondisi. Apakah karena akalnya? Atau karena dia memiliki nurani, perasaan, sensitivitas, intuisi? Yang jelas, tentu bukan karena manusia makhluk paling sempurna, karena ternyata masih ada manusia yang (kelakuannya) lebih buruk dari gorila. 

Gurita raksasa dari Afrika Utara konon adalah salah satu binatang paling cerdas tapi lambat-laun banyak dari mereka yang mati tak mampu bertahan dalam seleksi. Pemerintah Afrika juga sudah mulai keringatan pantat dengan isu kepunahan mereka yang sudah diambang mata. Wah, lalu apa yang membuat manusia dengan gagahnya bisa terus bertahan? Karena manusia (seharusnya) punya perasaan? Yah, tak tahu lah.

Setiap saya memberanikan diri membuat puisi, yang keluar adalah rentetan kalimat cheesy yang terdengar seperti soundtrack cerita yang dikemas oleh Raam Punjabi. Hih. Tapi, satu hal yang tiba-tiba saya mengerti, akal dan pikiran ternyata berbanding lurus dengan keleluasaan yang berujung pada keegoisan. Cuma karena merasa kepala kita bisa memuat banyak hal, kita menyamakan kebesaran alam semesta dengan alam pikiran.  Seringkali kita terlalu sibuk berpikir, merumuskan, memberi arti, mendefinisi, mencoba mengerti, sehingga kita sudah lupa bagaimana caranya belajar menggunakan perasaan. 

Ya, persis seperti yang saya lakukan sekarang.  

...


Cipularang, 2012


"Biar cuma perasaan, tapi ini kan perasaan.." Kabut Sutra Ungu (Sjuman Djaya, 1979)