Friday, September 30, 2011

Membeli Gengsi

Suatu siang, saya bertemu dengan seorang teman lama. Sambil makan siang kami mengobrol ngalor-ngidul sampai tiba-tiba dia berkata (kira-kira) seperti ini :

Dia : Duh lagi pusing nih mesti bikin makalah pesanan. Cuma 9 halaman sih, tapi bukan bidang gue. Jadi pusing nih cari bahan.

Saya : Hah? Pesanan? Siapa yang pesan?

Dia : Anak MBA titik titik titik. (sensor)

Saya : Buset. Dibayar berapa lo?

Dia : Rp. 500.000,-

...

Pembicaraan berlanjut lagi. Saya menyatakan keheranan saya sekaligus pengandaian saya. "Gila ya, makalah 9 halaman bayarnya 500rb kalo gue jadi dia sih mending gue pelajarin sendiri. Begadang ya begadang deh." Lalu dia menjawab, "Yah.. orangnya sibuk."

Saya : Terus ngapain dong kuliah lagi?

Dia : Yaaa biasalah, gengsi.

...

Ngek. Saya tertohok. Beneran deh. Saya tahu kok semua orang punya gengsi. Yakin. Termasuk saya. Tapi gengsi itu relatif dan sangat variatif. Sebisa mungkin gengsi jangan sampai merugikan orang lain.

Terus gengsinya disebelah mana? Karena S2? Karena MBA? Emang keren yah?
Logikanya aja deh ya. Orang sekolah biar apa? BIAR PINTER. Yang artinya, orang yang sekolah itu GOBLOK. Makanya disekolahin. Biar rada berotak (dikit). Terus terang aja saya juga merasa begitu kok.

Kenapa saya sekolah lagi? Tentunya selain alasan biar ga ditanya kok ga nikah-nikah, ya jujur saja, saya merasa bodoh. Hampir tujuh tahun saya baru bisa menyelesaikan S1 saya, selain saya sibuk main hockey kesana-kemari, masuk karantina pelatihan hockey yang sangat memakan waktu dan tenaga, saya juga dulu tak serius sekolah. Bodoh ya? Memang! Capek-capek lulus SPMB dimana hampir sekian banyak orang yang berjuang supaya bisa bayar murah di perguruan tinggi, saya malah main hockey kesana-kemari.

Sekolah lagi adalah cara saya mendapatkan ilmu lebih banyak lagi. Selain itu saya merasa berhutang, satu pembuktian saya kepada orang tua saya, bahwa saya juga bisa kok sekolah serius dan cepat lulus. Metode pembelajaran di pascasarjana juga salah satu yang saya cari. Mahasiswa bebas mengeluarkan suara, hampir semua kelas yang saya masuki adalah kelas diskusi. Which is very interesting. Setelah lulus S2, lalu apakah saya merasa pintar? Tidak juga. Kalau kamu sering baca buku dan banyak bertanya, baru sadar deh, kok banyak banget yah yang saya nggak tahu? Saya bodoh ya? Iya. Makanya sekolah.

Kalau S1 malas-malasan, oke lah saya paham. Budaya di masyarakat perkotaan memang cenderung melecehkan orang yang tak sekolah. Tak jarang anak dipaksa kuliah oleh orang tua mereka, padahal mungkin mereka maunya jadi musisi atau mungkin mau tidur sampai mati. Tapi kalo S2 kan pilihan, karena kemauan, bukan karena paksaan.

Menurut saya sih masih lebih baik gengsi karena tak memiliki blackberry, atau bahkan karena tidak pakai baju keluaran Zara daripada sekolah hanya untuk gengsi. Setidaknya kamu tidak menipu orang tua kamu, dosen kamu, bahkan diri kamu sendiri. Sekolah pascasarjana itu mahal luar biasa lho. (menurut saya)

Untuk cari kerja? Apa lebih besar kesempatan dengan gelar pascasarjana? Dalam lingkungan akademik mungkin iya. Kesempatan jadi dosen terbuka sangat lebar. Tapi di dunia kerja yang lain? Ah tidak kok. Sama-sama saja. Bahkan menurut saya malah lebih sulit, karena perusahaan-perusahaan di Indonesia kebanyakan pelit sekali menggaji karyawan. Dengan gelar di atas S1, mereka ketakutan kalau dimintai bayaran tinggi. Lebih baik menggaji lulusan S1, gaji tidak tinggi dan bisa dipaksa kerja rodi. Beres.

Jadi, saya masih saja heran dengan orang-orang yang over-minder, sehingga merasa harus sekolah lagi hanya demi menaikan gengsi. Memangnya kenapa sih kalo bodoh? Ga dosa kan jadi orang bodoh?

Mau masuk surga juga ga akan ditanya kok, "Eh kamu S2 apa D3, Mas?"

...