Tuesday, January 7, 2014

seharusnya desember

Desember yang pikuk. Aku menghabiskan hampir setengah Desemberku di Sumatera. Dari Ukui hingga Porsea. Urusan pekerjaan, sayangnya, bukan liburan. Aku sudah hampir tidak pernah menulis lagi -- apalagi membaca. Postingan ini pun seharusnya aku tulis di bulan Desember, meski ini sudah awal Januari, ya sudah aku posting saja. Desember kali ini terasa pendek sekali. Aku bahkan tidak sempat naik gunung! Rindu sekali dengan suara nafas yang tersengal-sengal sepanjang pendakian, keringat yang menetes dan tubuh yang berkeringat di suhu 10 derajat, langit yang gelap gulita serta sunyi senyap kala aku tertidur terlentang di separuh perjalanan. Ahhh betapa kangennya. The mountain is calling, i must go, i - have - to - go. Oh ya, ngomong-ngomong ini sudah tahun baru, ya?

...



opsi

“I fell in love with him. But I don't just stay with him by default as if there's no one else available to me. I stay with him because I choose to, every day that I wake up, every day that we fight or lie to each other or disappoint each other. I choose him over and over again, and he chooses me.” - Allegiant

Dari sekian banyak tokoh Yunani, Herakles adalah kesayangan. Banyak orang mengaguminya karena dia terlahir sebagai manusia setengah dewa. Namun aku menyukai Herakles justru tidak dari dongeng-dongeng heroiknya. Aku menyukainya karena hal yang mungkin seringkali luput dari para juru tulis sejarah. Karena dia (dengan bodohnya) memillih menjadi manusia. Dia lebih memilih dijatuhkan ke bumi daripada berpesta bersama para dewa di angkasa raya. Dan menjadi manusia berarti memulai pertaruhan di sebuah timbangan yang tak pernah imbang; nalar atau rasa, nurani atau menjadi keji. 

Antara kebajikan dan kesenangan, dan dia memilih kebajikan. Dia tahu keagungan didapat dari perjuangan, bukan dikirim cuma-cuma  dalam sebuah bingkisan. Akibat kesalahannya itu pula, dia terpaksa menerima 12 tugas yang mustahil untuk membersihkan dosa-dosanya. Pertempurannya yang paling terkenal adalah pertempurannya melawan Nemea, singa berkulit tebal yang kebal terhadap panah, pedang, dan racun. Namun dia tetap bersikukuh, untuk menjalani hidupnya, menepati janjinya, menjalani pilihannya. 
Janjinya itu pula yang mengingatkannya untuk menerima kesalahannya dengan lapang dada, mengeringkan genangan di matanya, menghibur kekasihnya. Menyesal dan melihat ke belakang adalah tabu baginya. Dia tak pernah menulis jurnalnya dengan kalimat pembuka “Andaikan saja..” Malam-malamnya penuh dengan konsolidasi kekuatan, memandang lamat-lamat dua bola mata sekadar untuk menihilkan lelah,  bertahan hingga pagi dan dengan berani kembali menantang matahari.
***
Dari sekian banyak istri-istri Soekarno, Inggit Garnasih adalah satu yang sering terlupakan. Sosoknya seringkali kalah oleh sosok Fatmawati, atau Ratna Sari Dewi. Padahal rasa-rasanya, tidak ada yang mampu menandingi perjuangan dan sakit hatinya. Entah bagaimana bisa dia memiliki hati yang demikian lapang? Inggit bertemu Soekarno saat dia masih menjadi istri seorang yang cukup kaya raya. Kala itu, Soekarno masih menginjak bangku kuliah. Kere. Apalagi hobi orasinya yang membuat dia sering kehabisan uang. Belum lagi persoalan beda usia dimana Inggit lebih tua 12 tahun. Namun dia menjerumuskan juga dirinya dalam lingkaran kesalahan. 
Inggit menikahi Soekarno tiga bulan setelah dia bercerai dari suaminya. Dalam rentang waktu dua puluh tahun, Inggit begitu berperan dalam kehidupan Soekarno. Bukan hanya hartanya yang habis ia hibahkan untuk pergerakan politik, Inggit juga rela berjualan, jamu, rokok, bedak hingga menjahit demi menopang kehidupan rumah tangganya. Ia juga yang dengan lihai menyelundupkan sandi-sandi intelijen melalui kue-kue kecil hasil kreasinya saat Soekarno mendekam di penjara. 
Kala Soekarno dibuang ke Ende dan Bengkulu, Inggit pula yang bersikeras untuk turut serta demi menemani suaminya. Namun di akhir cerita, kebesaran hatinya tidak berbalas mulia, Soekarno malah jatuh cinta pada Fatmawati dan memutuskan untuk menikahinya. Kepalanya penuh dengan persoalan kusut masai yang menimpa keluarganya. Namun dari mulutnya selalu terdengar kata-kata penyemangat, antusiasme yang begitu besar, intensi yang begitu berapi, sekaligus tuturan kata yang begitu menenangkan, yang selalu dia katakan pada suaminya -- bahwa semuanya akan baik-baik saja -- bahkan hingga ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan suaminya. Kalimatnya yang terkenal adalah "Lamun dicandung mah, cadu," (kalau dipoligami, saya pantang).  Rasa cintanya sedemikian besar, namun ia tetap bersikeras untuk menepati janji yang pernah ia buat pada dirinya sendiri. Pergi dan hidup sendiri kala tak sejalan lagi. 
***
Herakles dan Inggit Garnasih adalah jelmaan laku heroik bodoh tanpa ada yang meminta. Namun dua manusia ini lah yang mengingatkan bahwa tindakan, reaksi, sikap, keputusan, usaha, uluran tangan, rasa sayang, sebuah bantuan, bukan terlahir dari permintaan, melainkan karena keinginan. Untuk menjadi manusia yang terus bergerak, untuk menjadi ada, untuk memiliki peran dan punya makna. Di tengah pilihan yang luar biasa menggoda, betapa mudahnya untuk meluluhkan resistensi dan mencampakan akal budi. Kekuatan mereka terlahir dari keinginan, bukan kebutuhan, dan karena itu pula energinya meraksasa. Persetan dengan petaka, surga tak pernah di depan mata. Perjalanan itu jauh -- dan melelahkan. Dan aku pikir -- itulah sejatinya hakikat manusia. Untuk membuat kesalahan, menghadapi, berhenti menyesali, dan berani menjalani tanpa menyalahkan siapa-siapa. 

those tired eye - toba samosir, december 2013 

...