Thursday, March 14, 2013

amphetamine

Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi mayat hidup berdiri. Matahari, pagi, Mampang Prapatan dan tingkat kemacetan tertinggi. Di bawah terik yang luruh di aspal keabuan aku tercenung. Ya Tuhan, ini sungguh membosankan. Aku jadi teringat padanya. Nya-- yang pernah menjadi amphetamine paling mujarab untuk kepala. Sumber endorphine terdekat, peramu kesenangan mandraguna. Yang pernah membuat aku merasa bisa melakukan apa saja. Ya apa saja. Kecuali.. menikahinya. Cerita lama itu. Rasa itu. Amphetamine. Aku tidak tahu kapan aku bisa jatuh cinta lagi. Mungkin saja aku sudah dikutuk. Frigid sebelum waktunya. Blah. Ingin pergi sekali dari sini. Menyusuri jalan-jalan asing. Orang-orang asing. Lorong-lorong asing. Dengan senyum hangat yang tak pernah terasa asing. Meski badan terasa lelah, entah kenapa kaki terus saja melangkah. 

Ah, kaki ini pernah hebat. Pernah. We used to be the sunset catcher. Pernah.  Menjejakan kaki di tempat tenggelamnya matahari. Sepatu kita penuh carut,  rambut kita penuh debu, wajahmu lelah, tapi matamu cerah. Dan kita akan tertawa senang meski tak punya banyak uang. Sekarang, aku terperangkap di sebuah cubicle dengan komputer canggih dan koneksi internet cepat dimana aku bisa melihat matahari tenggelam dari utara Siberia sekalipun. Sayangnya, kakiku keram sayang. Ototku terbelit. Aku tak terbiasa duduk diam dan menatap meski indah sangat.  Aku ingin bergerak. Bergerak. Meski perlahan. Ingin mencoba terbang, meski gravitasi akan menjatuhkanku keras. Aku ingin bergerak. Bergerak adalah satu-satunya amphetamine yang kumiliki sekarang. Diam ternyata membunuhku pelan-pelan. Selanjutnya, mungkin saja -- kalau ternyata aku cukup beruntung -- ill find the new sunset catcher. We -- will be the new sunset catcher. 


“I’ll tell you a secret. Something they don’t teach you in your temple. The Gods envy us. They envy us because we’re mortal, because any moment might be our last. Everything is more beautiful because we’re doomed. You will never be lovelier than you are now. We will never be here again.” Achilles to Briseis - I hope i'll never be here again. Sekarang aku tahu, matahari selalu terlihat lebih indah saat tenggelam karena kita tahu dia akan segera pergi meninggalkan. Siapa pula yang sudi memandangnya kala siang? 


Achilles was right. We're doomed. 

...