Monday, January 23, 2012

saya dan jakarta

I never liked Jakarta.

itu sudah terpatri dalam pikiran saya. Ada sesuatu yang membuat saya tidak pernah betah berlama-lama di kota ini. Bahkan dulu ketika saya hijrah menjadi atlet DKI, saya masih bela-belain seminggu 3x bolak-balik Bandung-Jakarta. Uang transport saya habis untuk travel, belum capeknya, tiap malam jam 11 saya masih nongkrong di pool X-Trans yang akan membawa saya ke Bandung, sementara teman-teman atlet yang lain mungkin sudah tidur kelelahan.

Entah karena udaranya yang lembab dan pekat, entah karena kemegahannya yang membuat mulut saya menganga, entah karena kekumuhannya yang membuat saya bergidik, entah karena jalan-jalan tikus yang selalu membuat saya pusing dan tersesat, entah karena macetnya yang membuat betis saya besar sebelah karena terlalu sering menekan kopling, atau karena nafas kota ini yang selalu sibuk, seperti tidak ada waktu untuk bernafas lega sedikit saja. Meski dia Ibukota, dia tak pernah menjadi ibu untuk saya. Dia lebih seperti figur bapak, sang penyedia nafkah yang tak ramah.

Denyut nadi Jakarta terlalu kencang untuk saya. Namun, anehnya darah saya sepertinya tak mengalir sempurna disana. Saya tidak pernah merasa aman di Jakarta, selalu waspada dengan satu set perkakas kebinatangan untuk menghadapi orang-orangnya yang sialan. Saya tahu, lembek dan manja tak ada jatahnya di Jakarta. Malamnya yang gemerlap, paginya yang semarak, gedung-gedung tingginya yang angkuh menantang angkasa, sekaligus sudut-sudut berbau busuk yang membuat saya geleng kepala. Saya benci Jakarta dan entah kenapa Jakarta selalu punya kekuatan menyebalkan untuk mengubah watak manusia. Liciknya, tak ada manusia yang bisa mengubah Jakarta. Bahkan orang yang konon paling pintar sekalipun, tak bisa mengubah Jakarta menjadi wujud kota yang lebih baik. Jakarta tetap saja Jakarta. Mengagumkan sekaligus menyedihkan, sang penumpul kepekaan, si bajingan metropolitan.

Buat saya, Jakarta seperti a first class hooker atau istri muda yang masih kencang dan cantik jelita. Cukup dinikmati beberapa hari saja, lalu esoknya kembali ke istri tua yang nyaman walau renta. Atau seperti lelaki tajir menyebalkan yang banyak gaya. Cukup diporoti saja, tak perlu dipacari, apalagi dinikahi.

Saya selalu punya urusan di Jakarta, yang membuat saya harus menyetir hampir 3 jam untuk menyentuh kota ini. Entah itu urusan bersenang-senang atau banting tulang. Tapi saya dan Jakarta tak pernah punya hubungan romansa yang membuat saya ingin kembali ke kota ini, lagi dan lagi. Jakarta hanya kota, hanya tempat singgah, hanya sebatas urusan geografis yang membuat saya berjarak.

Tapi seperti saya bilang, Jakarta selalu punya kekuatan untuk mengubah segalanya. Susuk Jakarta terlalu berbisa dan saya tertarik ke dalamnya, meski saya tahu, susuk itu hanya fatamorgana. Kenapa sekarang rasanya semua ada di Jakarta? Ah sial. Satu hari nanti mungkin saya akan sama seperti manusia lainnya, manusia-manusia yang menggantungkan nasibnya di Jakarta. Nietzsche pernah bilang, it is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy relationship. Kalau ternyata suatu saat saya ditakdirkan harus bergumul dengan Jakarta, mungkin saya akan mencoba berteman dengannya -- daripada mencoba mencintainya.

...

ps : ini foto dari pementasan tari kontemporer di miss tjijih jakarta.

Lack of lights, no tripod, crazy dance, totally not my best shot. Blah.

Image and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPicImage and video hosting by TinyPic

anyway, i wanna see you, Parang Jati..

...