Wednesday, October 10, 2012

fabula manusia kota

Apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh maket-maket megah itu, Pak Menteri? Adakah sebuah cetakan biru, bangunan arsitektur yang begitu teratur dan terukur? Para manusia kota sudah bersorak ramai dari jarak dua meter. Mungkin mereka mencium bau uang, kau tahu? Sebagian lagi mengernyit, mencium bau hanyir ikan yang disembunyikan rapat dalam habung raksasa berlumur gabah.

Dalam dua puluh tahun ke depan, negeri ini akan menjalani operasi plastik besar-besaran. Mulai dari jembatan hingga pelabuhan, untuk sebuah wajah yang lebih cantik dari sekarang.  Demi sebuah kecantikan artifisial, padahal yang namanya artifisial tak pernah baik untuk kesehatan. Negeri ini akan didandani sesuai kehendak pasar atas nama investasi. Masyarakat girang, siapa yang tak suka dengan wajah yang lebih rupawan? Padahal kita sedang bersiap untuk melacurkan diri. Berharap naik pangkat dari tuna susila level kelas teri.

Sejak didorong dengan keras oleh seorang laki-laki di antrian TransJakarta, saya sudah tahu; mental dan moral ternyata tak datang dari tuhan, apalagi dari setan. Mereka datang dari pemahaman, sebuah proses saling pengertian, bahwa manusia lainnya ada, hidup, dan saling berpautan. Demokrasi, teknologi, percepatan informasi untuk masyarakat Indonesia layaknya sebuah kondom yang diberikan pada anak balita, bahkan penisnya saja belum bisa mengeluarkan sperma. Percuma. 

Lima ratus kilometer dari hiruk pikuk kota, sekelompok manusia desa bersenandung. Senang.  Tertawa. Di jalan yang tak kenal aspal mereka berjalan beriringan, sembahyang lalu bercengkerama. Semua ingin pergi ke kota. Di kota ada bahagia. Konon, masih konon. Mereka melihatnya di televisi, foto-foto, di bis-bis besar yang datang dengan membawa berjuta cerita. Program-program percepatan kemajuan desa terpampang angkuh dalam folder-folder hitam raksasa. Penanda masif senarai ketamakan manusia kota yang berbekal segudang pengalaman urban. Tingkat intelektualitas yang rendah harus diberantas, kata mereka. Betapa stereotipikal. 


Asal kau tahu, sebodoh-bodohnya orang desa, tetap saja mereka bahagia tanpa perlu mendengar ocehan Mario Teguh. Omong-omong, kalau kau masih perlu baca buku-buku motivasi itu, kemana kitab sucimu? Buat ganjel pintu?

...