Thursday, April 18, 2013

pseudo

Malam itu aku melebur di macetnya Jakarta. Bertemu seorang teman yang baru saja pulang dari perjalanan singkatnya ke Eropa. Aku tidak minta oleh-oleh. Tapi aku suka foto. Yang bercerita, terutama. Diperlihatkannya padaku beberapa foto dalam perangkat digital canggih miliknya. Mulai dari Menara Eiffel, Arc de Triomphe, Notre Dame, Muzium Louvre, hingga lanskap Sungai Seine di malam hari lengkap dengan deretan lampu yang gemerlap. Memukau. Megah. Mewah. Paris, kota yang acap menjadi simbol kemewahan. 

Aku menatap dengan bosan. 

Gemerlap kemewahan tak pernah jadi hal yang menarik buatku. Artifisial. Seperti Jakarta dalam kartu pos yang dijual dua ribu rupiah. Megah. Gedung-gedung tinggi yang tertata indah, tapi tak pernah cukup indah buatku. Tak pernah. Atau seperti sosialita yang mengenakan sepasang Louboutin dengan lipstik berwarna semangka. Kulihat kepalanya resah, meski senyumnya mengembang ke segala arah. Menurutku itu lucu. Jakarta malam hari selalu terlihat lebih meriah. Deretan lampunya yang memukau, sementara sudut-sudut kumuhnya menghilang dengan sendirinya dalam gelap, memasrah. Ketika semua lampu menyala, aku tahu ada banyak rahasia yang harus dijaga. 

Gempita ini seperti fantasi. Indah sesaat, lalu perlahan memudar dalam tungkai yang gontai, punggung yang pegal, mata yang setengah melayang, tangan yang tak tergenggam, kesepian. Yang terlalu menyala tak pernah selamanya. Euforia. Seperti larik sebuah percakapan dan tawa jenaka. Kembang api yang membuncah di angkasa lalu larut seketika ditelan gulita. Huru-hara gembira dalam renyahnya dosa. Melukis pelangi dengan saturasi menyala diiringi pekik genit penyanyi berpayudara raksasa. Bahagia?

Ah, tidak juga. 

...