Monday, September 3, 2012

maximus decimus meridius

Di semburat neon putih, manusia-manusia berjubah biru mengelilingi tempat tidur besi yang lebih mirip laci. Hegel ternyata tidak sedang bercanda saat dia menyatakan postulatnya; sejarah hanyalah sebuah repetisi. Rumah sakit ini terasa seperti koloseum versi masa kini. Meski tampak rapuh, mereka yang datang sesungguhnya adalah petarung sejati. Manusia-manusia dalam balutan baja semangat gladiator yang bersiap untuk berlaga di arena dengan panglima elmaut  sebagai lawan duelnya. Lihatlah, rasakanlah, pelajarilah, mata mereka terpejam dengan kepala yang terus terjaga. Ada serangkaian prosesi sebuah pergulatan teriring setiap putaran roda tempat tidur besi. Batin yang berkoar, nalar yang mengeras, pasrah yang menderas, jiwa yang memekik, panik, konflik, gemetar-ciut-lalu-mundur-mengendur, tapi yang membuat ternganga adalah sekerjap senandung bahana bahaduri disana. Saya melihat sosok secutor hingga retiarius, dengan okrea dan trisula tajam dalam garis dahi mereka yang kencang meski sorot matanya tetap memijarkan kecemasan. 

Pilihannya cuma dua, bertahan hidup atau mati. Kita tahu, hari ini siapapun bisa lepas landas dari meja operasi. 

Sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Janjimu di kitab suci. 

...