Pacarku pernah bilang, “Semua makanan itu semua rasanya sama saja
-- ketika sampai di perut. Yang membedakan cuma ketika si makanan berada di
lidah dan itu -- tokh cuma sebentar saja.”
Itu logikanya. Tapi ketika kamu bekerja di sebuah perusahaan yang
mayoritasnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ditambah efek berpuasa yang
mendorong tingkat sensititivitas hidungmu naik jadi dua kali lebih tajam,
bahkan kadang empat kali lebih tajam, rasanya aku ingin melakukan apa saja demi
mencicipi kwetiaw goreng dengan daging ayam yang yang sedang dilahap dengan
nikmat oleh teman kerjaku di siang hari yang terik di Jakarta.
Maka ini menjadi suatu hal yang tidak aneh, kau tahu apa yang biasanya dilakukan kaum yang berpuasa pada
bulan Ramadhan? Mereka menyiapkan sebuah pembalasan dendam yang kejam. Tepat
pukul empat sore hingga menjelang matahari tenggelam, mereka berbondong-bondong
membeli makanan yang sangat banyak; takjil, minuman dengan kadar gula yang
sangat tinggi, buah-buahan segar, atau gorengan kering yang gurih hasil racikan
minyak jelantah yang lebih hitam dari pantat panci di dapur Ibu saya. “Untuk
buka puasa, nih,” tutur mereka dengan wajah sumringah. Mungkin mereka girang
karena sudah sore, sebentar lagi adzan, dan mereka merasa menang.
Aku juga begitu. Pukul setengah lima sore selepasku bekerja, aku
dengan bernafsu setengah berlari ke gedung di seberang kantorku. Aku mau membeli jus
segar dengan harga 3 kali lipat dari jus yang biasa dijual di depan minimarket
kecil dekat tempatku tinggal. Pilihanku selalu jatuh di jus strawberry. Meski
porsinya sebenarnya sangat banyak dan aku – tidak pernah sanggup menghabiskan
jus ini sendirian, tapi siapa peduli? Yang penting aku harus membalaskan dendam
kesumat dari lidahku yang harus menelan ludah siang tadi karena kelakuan teman
kantorku yang tak berpuasa.
Oh ya, asal kau tahu sebelumnya tadi aku pun melewati toko pastry yang cukup terkenal. Ketika aku
lewat, baunya menguar di udara, tentu aku pun tidak melewatkan kesempatan itu.
Aku membeli dua potong croissant keju dan coklat yang nampak sangat nikmat. Oh
ya, sebelumnya aku juga menyempatkan diri untuk mampir membeli singkong goreng
yang dijual di depan kantorku. Membayangkan singkong ini melewati tenggorokanku
saja rasanya perutku sudah berteriak minta makan dengan jahanam.
Pukul lima lewat lima puluh. Para muazzin mulai bersiap check sound untuk mengumandangkan suara
yang ditunggu puluhan ribu manusia yang telah duduk dengan manis menanti di dekat meja makan mereka. Aku juga begitu. Air putih, teh manis, oh ya tadi aku juga
beli es buah, lalu jus strawberry kesukaanku itu, dua potong pastry, dan
singkong goreng. Main course? Belum
aku beli, tapi aku sudah terpikir sate kambing Bang Burhan yang dagingnya empuk
dengan bumbu kecap bertabur cabe rawit. Ahh.. itu pasti enak.
Adzan tiba. Hap! Hampir setengah gelas air putih sudah kuhabiskan
untuk mengucapkan salam pada lambungku yang kosong nyaris 12 jam. Disusul dua
buah singkong goreng yang kukunyah dengan beringas. Enak. Lalu kusikat es buah
dengan potongan melon dan timun suri. Tapi hanya dalam hitungan menit, belum juga habis satu mangkuk es buah,
rasa nikmat itu tahu-tahu sirna.
Lidahku mulai terasa hambar dan perutku mulai terasa sangat penuh. Sungguh, aku merasa lidahku sendiri mengkhianatiku. Kemana pula sensasi kesegaran ketika es buah itu menyentuh kerongkonganku? Tidak ada. Sungguh brengsek. Rasa lapar, haus, nafsu yang begitu menggelora di satu jam yang lalu hilang sudah cuma karena air putih dan dua buah singkong goreng. Jus strawberry yang kubeli dengan setengah berlari itu bahkan belum sempat kusentuh. Betul-betul sialan tapi kupikir-pikir juga lucu. Kadang kita begitu menginginkan ini dan itu dan ini dan itu, nyatanya ketika kita berhasil mendapatkanya, rasanya tak enak-enak amat. Ketika terlalu banyak, rasa nikmat itu menguap.
Lidahku mulai terasa hambar dan perutku mulai terasa sangat penuh. Sungguh, aku merasa lidahku sendiri mengkhianatiku. Kemana pula sensasi kesegaran ketika es buah itu menyentuh kerongkonganku? Tidak ada. Sungguh brengsek. Rasa lapar, haus, nafsu yang begitu menggelora di satu jam yang lalu hilang sudah cuma karena air putih dan dua buah singkong goreng. Jus strawberry yang kubeli dengan setengah berlari itu bahkan belum sempat kusentuh. Betul-betul sialan tapi kupikir-pikir juga lucu. Kadang kita begitu menginginkan ini dan itu dan ini dan itu, nyatanya ketika kita berhasil mendapatkanya, rasanya tak enak-enak amat. Ketika terlalu banyak, rasa nikmat itu menguap.
Hampir pukul enam lebih tiga puluh malam. Orang-orang bersiap
untuk menunaikan kewajiban shalat maghrib, sebagian lagi langsung menuju
masjid untuk melanjutkan Isya dan tarawih dengan wajah yang sumringah. Mungkin mereka
merasa menang karena telah berhasil berpuasa hingga maghrib berkumandang. Aku
juga. Bedanya, mengapa aku merasa kalah? Pukul lima sore tadi, selepasku bekerja dan
dengan sangat bernafsu setengah berlari ke gedung sebelah, aku baru tersadar -- perutku memang tetap kosong, tapi puasaku
selesai sudah.
Why?
***