Sunday, July 5, 2015

puasa dan hal-hal aneh tentangnya

Pacarku pernah bilang, “Semua makanan itu semua rasanya sama saja -- ketika sampai di perut. Yang membedakan cuma ketika si makanan berada di lidah dan itu -- tokh cuma sebentar saja.”

Itu logikanya. Tapi ketika kamu bekerja di sebuah perusahaan yang mayoritasnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ditambah efek berpuasa yang mendorong tingkat sensititivitas hidungmu naik jadi dua kali lebih tajam, bahkan kadang empat kali lebih tajam, rasanya aku ingin melakukan apa saja demi mencicipi kwetiaw goreng dengan daging ayam yang yang sedang dilahap dengan nikmat oleh teman kerjaku di siang hari yang terik di Jakarta.

Maka ini menjadi suatu hal yang tidak aneh, kau tahu apa yang biasanya dilakukan kaum yang berpuasa pada bulan Ramadhan? Mereka menyiapkan sebuah pembalasan dendam yang kejam. Tepat pukul empat sore hingga menjelang matahari tenggelam, mereka berbondong-bondong membeli makanan yang sangat banyak; takjil, minuman dengan kadar gula yang sangat tinggi, buah-buahan segar, atau gorengan kering yang gurih hasil racikan minyak jelantah yang lebih hitam dari pantat panci di dapur Ibu saya. “Untuk buka puasa, nih,” tutur mereka dengan wajah sumringah. Mungkin mereka girang karena sudah sore, sebentar lagi adzan, dan mereka merasa menang.

Aku juga begitu. Pukul setengah lima sore selepasku bekerja, aku dengan bernafsu setengah berlari ke gedung di seberang kantorku. Aku mau membeli jus segar dengan harga 3 kali lipat dari jus yang biasa dijual di depan minimarket kecil dekat tempatku tinggal. Pilihanku selalu jatuh di jus strawberry. Meski porsinya sebenarnya sangat banyak dan aku – tidak pernah sanggup menghabiskan jus ini sendirian, tapi siapa peduli? Yang penting aku harus membalaskan dendam kesumat dari lidahku yang harus menelan ludah siang tadi karena kelakuan teman kantorku yang tak berpuasa.

Oh ya, asal kau tahu sebelumnya tadi aku pun melewati toko pastry yang cukup terkenal. Ketika aku lewat, baunya menguar di udara, tentu aku pun tidak melewatkan kesempatan itu. Aku membeli dua potong croissant keju dan coklat yang nampak sangat nikmat. Oh ya, sebelumnya aku juga menyempatkan diri untuk mampir membeli singkong goreng yang dijual di depan kantorku. Membayangkan singkong ini melewati tenggorokanku saja rasanya perutku sudah berteriak minta makan dengan jahanam.

Pukul lima lewat lima puluh. Para muazzin mulai bersiap check sound untuk mengumandangkan suara yang ditunggu puluhan ribu manusia yang telah duduk dengan manis menanti di dekat meja makan mereka. Aku juga begitu. Air putih, teh manis, oh ya tadi aku juga beli es buah, lalu jus strawberry kesukaanku itu, dua potong pastry, dan singkong goreng. Main course? Belum aku beli, tapi aku sudah terpikir sate kambing Bang Burhan yang dagingnya empuk dengan bumbu kecap bertabur cabe rawit. Ahh.. itu pasti enak. 

Adzan tiba. Hap! Hampir setengah gelas air putih sudah kuhabiskan untuk mengucapkan salam pada lambungku yang kosong nyaris 12 jam. Disusul dua buah singkong goreng yang kukunyah dengan beringas. Enak. Lalu kusikat es buah dengan potongan melon dan timun suri. Tapi hanya dalam hitungan menit, belum juga habis satu mangkuk es buah, rasa nikmat itu tahu-tahu sirna. 

Lidahku mulai terasa hambar dan perutku mulai terasa sangat penuh. Sungguh, aku merasa lidahku sendiri mengkhianatiku. Kemana pula sensasi kesegaran ketika es buah itu menyentuh kerongkonganku? Tidak ada. Sungguh brengsek. Rasa lapar, haus, nafsu yang begitu menggelora di satu jam yang lalu hilang sudah cuma karena air putih dan dua buah singkong goreng. Jus strawberry yang kubeli dengan setengah berlari itu bahkan belum sempat kusentuh. Betul-betul sialan tapi kupikir-pikir juga lucu. Kadang kita begitu menginginkan ini dan itu dan ini dan itu, nyatanya ketika kita berhasil mendapatkanya, rasanya tak enak-enak amat. Ketika terlalu banyak, rasa nikmat itu menguap. 

Hampir pukul enam lebih tiga puluh malam. Orang-orang bersiap untuk menunaikan kewajiban shalat maghrib, sebagian lagi langsung menuju masjid untuk melanjutkan Isya dan tarawih dengan wajah yang sumringah. Mungkin mereka merasa menang karena telah berhasil berpuasa hingga maghrib berkumandang. Aku juga. Bedanya, mengapa aku merasa kalah? Pukul lima sore tadi, selepasku bekerja dan dengan sangat bernafsu setengah berlari ke gedung sebelah, aku baru tersadar -- perutku memang tetap kosong, tapi puasaku selesai sudah.

So, if Ramadhan has taught us that our body doesn’t need that much food to survive, then why are we always celebrating Ied with festive - super excessive - food galore? 

Why? 

***