Wednesday, December 3, 2014

untuk bapak yang semakin tua dan semakin batak

Namanya Zulkifli, panggilannya Achow, kadang Ike. Entah darimana pula asal muasal panggilannya. Batak tulen, bapaknya Sitompul, Ibunya Hutasuhut. Tak aneh kalo karakternya sungguh sangat Sumatera. Banyak orang menyangka dia galak. Kenyataannya memang iya. Tapi selain sangat galak, dia juga sangat baik. Terlalu baik, malah. Sampai-sampai banyak orang disekitarnya yang memanfaatkan kebaikannya, bahkan pernah pula dia ditipu oleh orang yang ditolongnya.

Kadang aku sendiri yang jadi gemas dibuatnya. Tapi setiap saya protes, jawabnya hanya "Ya sudahlah.." Sederhana. Sesederhana hidupnya. Dia tidak keberatan pake mobil tua yang (menurutku) tidak sedap dipandang mata. Uangnya habis untuk menyekolahkan istri, anak perempuannya, dan siapa saja yang menurutnya layak dapat bantuannya. Ketika banyak pria merasa insecure karena pasangannya lebih maju dari dia, bapak saya malah menyekolahkan ibu sampai jadi doktor. Ketika ibu menangis karena harus mengerjakan disertasi, sementara aku dan kakak kakakku terus terusan rewel minta perhatian dan seabrek urusan rumah tangga lainnya, maka bapak pula yang jadi penolongnya. Dia ikut membaca buku-buku Ibu, membantu mencerahkan ketika otak Ibu buntu, dan setia mengantar Ibu bolak-balik bimbingan ke dosennya. Banyak yang bilang, Ibu hebat, mungkin sebentar lagi dia jadi profesor, tapi sebenarnya Ibu tidak terlalu hebat, dia tidak akan bisa jadi profesor kalo bukan bersuamikan bapak. Ketika orang tua lain berharap anak perempuannya segera menikah selulus kuliah, bapak malah menyuruhku sekolah lagi. "Perempuan harus maju," katanya. Satu hal yang sudah sangat jarang kulihat pada lelaki jaman sekarang.

Meski dia semangat sekali dalam urusan sekolah, anehnya dia tidak marah ketika satu waktu aku pulang dari sekolah dan memperlihatkan nilai ulangan matematikaku yang nilainya nol. Ya, nol. Dia tidak peduli angka, meski dia mengajar statistika. Dia tidak pernah menilai orang dari hartanya, namun dari baik budinya. Selain sangat baik, dia juga sangat pintar. Ketika masih menjadi mahasiswa di ITB, dia pernah mendapat beasiswa Supersemar. Rasa-rasanya dia bisa memperbaiki apa saja, mulai dari air ledeng, mobil hingga barang elektronik. Meski menurutku dia kurang soleh, tapi pengetahuan agamanya sangat luas. Dia sudah khatam memahami Al-Quran hingga Al-Kitab. "Kamu harus paham kenapa agamamu Islam," satu waktu dia berkata begitu padaku. Dia suka memelihara binatang, mulai dari kucing hingga ikan, meski begitu tak jarang hewan peliharaannya selalu mati dengan mengenaskan. Tragis memang. Ketika aku diajari menyetir mobil, tentunya dengan bentakan-bentakan yang membuat telinga ini pengang, dia juga mengajariku mengganti ban mobil sendiri. "Kalau mau bawa mobil sendiri, juga harus bisa ganti ban sendiri, jangan jadi perempuan yang cuma bisa mewek kalau bannya kempes."

Pekerjannya dosen, tapi dandannya tidak seperti dosen pada umumnya. Dia senang berdandan seenaknya. Baju lusuh, celana robek, dan tas ransel yang rasanya sudah bertahun-tahun dia pakai, padahal dia bukan dosen seni rupa. Semasa muda dia adalah anak yang kurang ajar. Karena dia sudah jadi buaya, maka dia paham betul menghadapi cicak gepeng kaya aku. Meski acap mengomel, dia jarang sekali melarang aku pergi berpetualang, atau ketika hampir satu bulan aku tidak pulang karena pekerjaan, tapi ketika aku bilang aku akan pulang, dia akan menunggu bahkan hingga tengah malam. 

Hari ini genap usianya 61 tahun. Selamat ulang tahun Papa. Salah satu rejeki terbesarku adalah bisa terlahir dan besar dengan mendengar ocehan-ocehanmu dan semoga satu hari nanti.. doakan saja, aku yang akan menjadi rejeki terbesarmu.

...