Does it gets any better?
ya tentu saja tidak hahaha.
Karena ini pengalaman pertamaku ditinggalkan oleh orang yang sangat dekat, moment ini sangat membekas. Semacam, aku tidak pernah benar-benar sadar bahwa kematian itu dekat sampai papaku sendiri meninggal. Beda ya melihat jenazah orang lain dan jenazah keluarga terdekat, rasanya aneh. Apalagi kalau sampai menyaksikan sendiri proses sakratulnya. Dan di moment ini juga aku menyadari bahwa siapa saja akan mati. Tentu kita tahu bahwa semua makhluk hidup akan mati, tapi dulu, rasanya itu cuma sebuah keniscayaan saja, sebuah pengetahuan, dan mungkin aku akan mengalaminya tapi ya nanti, mungkin masih lama. Tapi hari yang kukira masih lama itu ternyata tiba juga.
Banyak artikel menulis seiring berjalannya waktu, kesedihan itu akan hilang. Time always kill the pain. Benarkah? Iya betul, tapi ternyata bukan waktu yang berperan tapi kita sendiri. Setiap sudut restoran yang dulu pernah kukunjungi bersama Papa itu akan tercetak jelas setiap aku mengunjunginya kembali. Setiap sudut kota tempat kami pergi berlibur, ketika sedang berjalan di tempat ramai lalu ada orang asing yang figur fisiknya mirip, semua kesedihan itu akan kembali lagi. Lagi dan lagi. Dan tiba-tiba rasanya seperti baru kemarin dia meninggal. Seperti tidak maju-maju, stuck. Tapi ya hidup jalan terus.
Dan lalu rangkaian kesedihan-kesedihan itu juga yang membentuk aku sampai di titik ini. Kalau di program angkat beban itu namanya progresive overload, ketika kita bisa mengangkat 30 kg sampai 12 kali repetisi, maka satu bulan kemudian kita harus menambah beban, mungkin di 32 kg atau 35 kg, sedikit demi sedikit menambah beban sampai kemudian ketika kita mengangkat kembali 30 kg, wah kok ringan sekali ya. Kira-kira seperti itu analoginya.
So no, it does not gets any better, but maybe i am just getting stronger.
Hopefully..