Thursday, November 13, 2014

bisa jadi

Berdiri menatap garis pekat horizontal yang mengungkungku malam itu membuatku teringat padamu. Terima kasih untuk selalu setia mengingatkan bahwa ternyata aku cukup istimewa, untuk obrolan singkat di sela makan siang yang membuatku lega, belajar menerima duka dengan sukarela, dan mungkin satu hari nanti, kita akan dipercaya untuk menerima salah satu keajaibanNya. 

...

catatan harian no delapan ratus tiga

Sudah dua hari ini aku kurang tidur. Pemusatan latihan sudah berjalan, alhasil, jadwal harianku berubah. Pagi dimulai dengan latihan pukul 04.30 pagi hingga pukul 06.30. Lalu aku harus berlari-lari keluar lapangan, mandi, dan bergegas ke kantor untuk menyelesaikan kewajiban sebagai pekerja kantoran. Selepas jam 5 sore, aku sudah harus kembali lagi ke lapangan untuk latihan hingga pukul 10.00 malam. Capek? Tidak terlalu. Mungkin karena sedari SMP aku sudah terbiasa masuk karantina. Tapi menjadi pekerja kantoran di tengah pemusatan latihan membuatku sering diserang kantuk yang tidak tertahan. 

Kala teman-teman lain sedang istirahat siang, aku masih harus berjibaku dengan pekerjaan kantor. Dan sialnya, aku kurang nyaman tidur di mess. Akhirnya solusi paling tepat adalah curi-curi waktu tidur siang di kostan. Oh kamar kesayangan, aku rela ngebut bulak-balik siang-siang demi tidur satu jam. Nah, dua hari terakhir ini, entah kenapa aku sulit tidur di malam hari. Hingga pukul satu aku masih belum bisa memejamkan mata. 

Pukul 22.00 telepon selularku mengeluarkan notifikasi. Seseorang dari masa lalu lalu muncul di layar. "Rindu," katanya. Hampir saja aku tersedak. "Haha." jawabku. Kuketik jawaban singkat agar tidak terjadi percakapan lanjutan. Lelaki memang lucu sekaligus menyebalkan. Dan pikiranku tiba-tiba meluncur ke dua tahun lalu. Kala aku sedang berada di titik terendah dalam hidupku. Yup, namanya fase patah hati. Haha. Dia datang dengan gelak tawa dan aku lumayan terpikat. Tapi entahlah, aku tiba-tiba terpikir untuk menyudahinya. Kupikir-pikir, apakah ada yang salah dengan kepalaku? Seorang teman mengirimkan pesan di messenger, "Hidup lo tuh berwarna ya, Luh. Tapi sayang warnanya item sama abu-abu." Sesaat setelah itu. Sign out. Temanku pergi. Aku tercenung. Ini yang paling aku benci. Resah dan gelisah di malam hari, lalu semua orang pergi meninggalkanku tidur. Dan aku.. masih disini. Di depan layar laptopku. Sendiri. 

... 

to the knowing of all things, to the hearer of all

Why is this bad feeling and nightmare keeps coming back in my head? Why? 
What should i do? Where should I go next? I already have my bag packed.

...

Sunday, November 9, 2014

bandung, sore ini

Dalam bukunya yang sanggup membuat saya tertidur dalam hitungan menit, Miriam Budiardjo pernah menuliskan, "Dalam kelompok, seseorang akan cenderung kehilangan identitasnya." Seperti yang saya lihat sore ini di kota Bandung. Ratusan manusia memenuhi jalan raya, berlagak juara, dan seenaknya. Semuanya atas dasar satu kepemilikan yang sama. Persib juara, begitu katanya. Dan lalu, mereka semua menyeragamkan identitasnya, saya rasa hampir 90% dari mereka memakai warna yang sama; biru. Warna seragam kebesaran tim sepak bola kebanggaan mereka. 

Mereka bertelanjang dada, memblokade ruang publik yang seharusnya digunakan bersama, kemeriahan yang begitu pongah dan membabi-buta, lalu memaki siapa saja yang tak setuju dengannya. Adalah suatu hal yang mengerikan ketika manusia tak lagi punya rasa sungkan, setidaknya saya pikir, itulah satu dari sedikit hal yang membedakanku dengan binatang. 

Namun di sisi lain, adalah hal yang mengagumkan melihat betapa mudahnya untuk mempersatukan begitu banyak manusia dalam satu suara. Betapa kuatnya gelombang mencinta atas dasar sebuah piala. "Bebaskeun!", teriaknya keras, propaganda yang dilontarkan dengan nada penuh sarkas. Mungkin dia belum pernah membaca tulisan Sartre tentang teori kebebasan yang mematikan. Tapi bukan pesta meriah itu yang membuat saya resah, tapi pemandangan itu; wajah-wajah sumringah yang melontar sumpah serapah tanpa paham benar seberapa banyak manusia yang dirugikan oleh ulahnya.

...

Saturday, November 8, 2014

a days in porsea


Only ten days left in the calendar of October when I arrived in Porsea. Travelling on sunshine and a moonless night as the water from the famous Toba Lake touches my fingertips. On the day when a smile is in the mind, a cool breeze yet the day is still warm, and the magenta cloud surround, well, that day is such a day. 



Sometimes, i love my job. Sometimes. 

***