Showing posts with label mountain. Show all posts
Showing posts with label mountain. Show all posts

Sunday, August 27, 2017

the honeymoon: mendaki gunung kinabalu


*A very very late post! Udah setaun lebih dan baru sempet nulis tentang Kinabalu sekarang. Tapi tetep diposting akhirnya meski udah basi. Mudah-mudahan bisa membantu siapapun yang mau mendaki Kinabalu. Enjoy! :) 

Senin 15 Agustus 2016

Subuh. Saya sudah bertolak menuju bandara Soekarno Hatta lengkap dengan suami dan dua carrier besar. Ciyee suami. Kami baru saja dua hari menikah. Badan rasanya masih pegal-pegal dan lelah, tapi dari semua rangkaian acara pernikahan kami kemarin, ini yang paling saya tunggu-tunggu, honeymoon... ke gunung... Kinabalu!

"Ngebut, Pak!" kata saya ke supir taksi.

Wednesday, October 12, 2016

tentang ciremai dan kenapa aku tidak menyukainya


People change, and so am I.

Dulu banget, mungkin lima atau empat tahun lalu, saya termasuk ke dalam pendaki yang ngotot banget ngejar puncak. Mau badai kek, ujan gede kek, gempa bumi sekalipun, saya tetap ngotot naik sampai ke puncak. Ngapain coba ke gunung kalau ga sampe puncak? Kan bego.

Tapi ya itu dulu, waktu dulu saya lagi lucu-lucunya, waktu perut masih kentjang-kentjangnya hahaha dan entah kenapa, betul kata orang, as we getting old, those ambitious things starts to disappear. Rasanya udah lama banget saya ga ke gunung bawa carrier segede kulkas, bawa peralatan masak lengkap, bawa logistic buat seminggu meski pendakiannya cuma dua hari, pokonya perut harus kenyang enak di atas. 

Sekarang? Saya cuma senang camping ceria sambil ngopi cantik. Kalau pun mau sampe puncak, saya pengennya tek tok aja, ga usah camping. Saya males bawa carier gede-gede, 28 liter backpack is my new carrier. Terakhir saya ke gunung, ya ke Kinabalu itu, dimana saya ngedaki macam princess, ga bawa apa-apa, sebelumnya kalau ga salah saya ke Gunung Agung, itu pun tek tok juga, saya cuma bawa day pack, sebelumnya lagi ke Gunung Merapi tek tok juga. Pokonya carrier saya ampe lumutan kayanya ga pernah dipake.


Thursday, September 1, 2016

bagaimana cara mendaftar untuk mendaki gunung kinabalu?



Tahun 2013 saya pernah terpaku melihat gallery photo seorang teman di laman facebook. Lanskap gunung berbatu dengan kontur dan bentuk peak yang sangat khas. Gunung Kinabalu. Yeps. Sejak saat itu, saya bermimpi pingin menginjakan kaki ke sana. 

Tapi ya, mimpi aja. 
Karena apa? 
Karena mahal. 
Haha. 

Sunday, August 23, 2015

catatan pendakian gunung batur dan gunung agung


"Bandara Ngurah Rai ditutup," kira-kira begitulah pesan singkat yang saya terima di email siang itu, Kamis, H minus satu sebelum saya hendak berangkat ke Bali. Gunung Raung sedang cranky -- dan crankynya gunung Raung, udah ngalah-ngalahin crankynya perempuan PMS plus sakit gigi plus migrain plus kerjaan di kantornya lagi banyak plus ga punya duit. Sudah terbayang?  Ga usah dibayangin sih, ngeri lah. Kamis malam saya masih gelisah antara berangkat atau tidak. Selain faktor keamanan, ada pula ketakutan jika saya tidak bisa kembali ke Jakarta hari Minggu malam karena persoalan ditutupnya bandara. Tapi Pak... tiket sudah terlanjur dipesan, apa boleh buat, carier saya pun sudah terpacking dengan sempurna siap diajak melanglang buana. Saya tekan nomor telepon taksi yang biasa mengantar ke bandara. "Pak, saya minta dijemput besok jam 4 subuh di anu anu anu.." Baiklah, Bali, here I come! 


Thursday, May 21, 2015

anjangsana

All journeys eventually end in the same place, home. - Chris Geiger 

Hampir tengah malam keretaku tiba di stasiun Lempuyangan. Kereta kelas ekonomi dengan kursi tegak yang cukup membuat leherku pegal. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah tiba dengan selamat di Yogyakarta. Agak sempoyongan aku berjalan dengan carier 36 liter di punggungku dan day pack 14 liter yang kugantungkan di lengan. Setengah mengantuk, sepanjang jalan aku tertidur dan baru terbangun di stasiun Wates. 

Perjalanan ini sudah cukup lama kurencanakan, hampir dua minggu lalu. Aku ingin mendaki Merapi, lagi.  Sepanjang perjalananku mendaki gunung, rasa-rasanya hanya ada dua gunung yang -- aku-akan-sangat-mau-sekali -- untuk kembali kesana lagi, yakni; Rinjani dan Merapi. Aku suka puncak Merapi, lalu Pasar Bubrah, ahh.. sudah tak sabar rasanya. 

Sebelum mendaki Merapi, aku menyempatkan diri mengunjungi pantai Parang Endog dan tempat yang saat ini cukup populer di Jogja, namanya Kalibiru. Di jalan menuju Parang Endog, kami mampir ke Gumuk Pasir. Kami tidak berlama-lama disana, panasnya sinar matahari yang menyengat tepat pukul 12 petang di atas gurun pasir membuat kami semua kepanasan. Gumuk ini tersusun dari material pasir hitam gunung Merapi yang hanyut terbawa aliran sungai Oyo dan Opak. 

Tidak jauh dari Gumuk Pasir, dengan mengendarai motor kami tiba di Parang Endok. Pantai ini adalah sisi pantai terujung dari Pantai Parangtritis. Karena letaknya yang di ujung pula, maka pantai ini belum terlalu kotor karena tidak terlalu banyak didatangi oleh turis. Kami beristirahat sejenak, duduk di tebing berbatu sembari menikmati senja yang kekuningan lalu perlahan berubah menjadi ungu dan kemudian memekat. 

Hari Sabtu pukul delapan malam kami tiba di New Selo, perhentian terakhir sebelum mendaki Merapi. Ada yang aneh, banyak sekali pendaki yang turun seperti tidak jadi mendaki. Setelah bertanya sana-sini ternyata ada seorang pendaki yang terjatuh di kawah Merapi sore tadi. Gunung Merapi untuk sementara ditutup karena itu banyak pendaki yang ditolak di basecamp. Dengan sedikit kecewa aku terduduk di New Selo. Beberapa anggota Basarnas nampak hilir mudik. Namun akhirnya pukul 00.30 aku dan beberapa orang temanku tetap memutuskan untuk naik meski setelah hasil lobi-lobi, kami hanya diizinkan naik  sampai pos 2. Tak apalah, daripada percuma. 

Pukul empat pagi kami sudah tiba di pos 2. Dengan mata menahan kantuk karena tidak sempat tidur sejenak, kami akhirnya memutuskan untuk tidur beralaskan tanah di pos 2. Kami memang tidak merencanakan untuk camping sehingga kami tidak membawa tenda ataupun sleeping bag. Sepanjang mataku menatap, bintang berhamburan dengan kerlipnya yang gemilap. Ini dia hotel berbintang yang sebenar-benarnya. Hampir pukul lima pagi aku akhirnya memutuskan untuk menyusup ke Pasar Bubrah. Tepat ketika matahari memunculkan wajahnya aku sudah tiba di sana. 

Bubrah, menawan seperti biasanya. Hamparan batu yang membentuk lembah nan megah dan itu dia.. puncak Garuda yang menyembul di antara awan dengan gagah di atas Bubrah yang membuatku gentar, komposisi mengagumkan dari si maha akbar. Sinar matahari membelah memecah ruah di udara. Ini pagi di Bubrah yang luar biasa indah. Aku tidak mendaki ke Barameru, area puncak Merapi. Selain karena memang dijaga ketat oleh Basarnas, minatku pun hilang sudah setelah mendengar kecelakaan yang menimpa pendaki malang itu. 

Tahun 2013 ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi Merapi, aku memang sampai ke puncak, tapi aku tidak berminat untuk mendaki puncak Garuda untuk sekadar berfoto di atasnya. Merapi memang indah, tapi dia tidak cukup ramah. Aku berbalik memunggungi puncak Merapi. Melambaikan tangan, sudah saatnya turun kembali pulang. Puncak itu masih tegap menjulang disana, seperti menatapku, menantang, tapi.. bukankah kembali pulang adalah tujuan dari semua perjalanan?

...

parang endog parangtritis
puncak merapi barameru bara meru pasar bubrah

Monday, May 4, 2015

there is always something good in every may

Hello May! Bulan kelima di tahun 2015. Tahun lalu di bulan ini saya baru saja turun dari Rinjani dan sedang bersiap untuk mendaki Kerinci, tahun ini frekuensi naik gunung agak sedikit berkurang, musim penghujan yang tak kunjung selesai, ditambah pekerjaan yang membludak membuat saya berpikir ulang untuk melakukan pendakian di gunung-gunung yang cukup jauh. Tapi di akhir April saya memutuskan untuk mengambil jatah cuti dan pulang ke Bandung. Ada banyak tempat di Bandung yang bisa kamu kunjungi. Well.. daripada kamu repot-repot mencari info dan membuat rencana untuk mengunjungi Tebing Keraton -- yang sungguh sangat standar pemandangannya dan ramainya bukan main, saya sarankan kamu untuk mengunjungi:

1.  Gua Pawon atau Guha Pawon.
Sebenarnya sudah lama sekali saya penasaran dengan tempat ini, sebagai urang bandung asli -- meski sanes urang sunda asli :-P -- saya merasa berkewajiban untuk menyambangi tempat ini. Gua Pawon terletak di Bandung Barat, tepatnya di Cipatat berdampingan dengan Gunung Masigit. Dari Pasteur jaraknya hanya sekitar satu jam saja untuk menuju kesana. Ketika sampai disana, saya langsung terpana melihat kegagahan Gunung Masigit. Rasanya pingin langsung mendaki sampai ke atas, sayangnya saat itu niat saya cuma jalan-jalan memakai sandal cantik. Gunung ini juga sering dijadikan spot untuk wall climbing.

Gunung Masigit yang ganteng dan gagah perkasa
Gerbang Gua Pawon. Lets go!
Di sini ada dua spot yang bisa kamu kunjungi, yang pertama adalah Gua Pawon yang kedua Taman Batu atau Stone Garden. Saya sih lebih suka Gua Pawon daripada Stone Garden. Kalau kamu termasuk pejalan yang sering mendaki gunung pasti kamu akan merasa bosan di Stone Garden. Dari Gua Pawon, kamu cukup membayar Rp. 4.000,- untuk masuk ke area Stone Garden. Letaknya tidak jauh dari Gua Pawon, cukup mendaki sekitar 300 m dan kita akan sampai di Stone Garden. 

Di Gua Pawon ini juga konon untuk pertama kalinya ditemukan manusia purba yang kemungkinan besar adalah nenek moyangnya orang Sunda. Ketika kita menginjakan kaki ke dalam langsung tercium sengit bau pesing kelalawar. Banyak orang memakai masker karena baunya yang cukup menganggu, tapi lama-lama sih baunya jadi biasa aja, jadi saya sih cuek saja berlama-lama di dalam tanpa memakai penutup hidung.

PS. yang pakai baju kuning itu galaknya bukan main, marah-marah terus karena dipaksa jadi model, tapi berkat kecantikanku akhirnya dia mau..



2. Warung Salse 
Okay. Bandung tentunya tidak lepas dari wisata kulinernya dan nongkrong-nongkrong di cafe-cafe yang instagramable haha. Atas rekomendasi teman saya, kemarin saya mendatangi satu tempat makan di daerah Dago Giri, tepatnya di Jalan Dago Giri No. 101, kamu bisa masuk melalui komplek PPR ITB Dago. Letaknya tidak jauh dari Cafe Lawang Wangi. Sepintas memang bangunannya unik, full dengan kaca. Harga makanannya juga tidak mahal-mahal amat, berkisar antara 20-35rb dan minumannya sekitar 20-25rb. Rasanya juga lumayan enak, saya pesan spagheti godog -- yang sayangnya lupa difoto karena saya sudah sangat laparrr -- rasanya err ya kaya mie godog tapi memakai bahan pasta spagheti. 



3. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 
Eh.. ini bukan di Bandung ya? Gimana ya udah ketulis.. seperti kita semua sudah tahu, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau biasa disingkat TNGGP ini letaknya ya dekat Sukabumi, kalau dari Bandung ya bisa naik bus atau atau naik angkutan sejenis ELF, jalur aksesnya ada tiga; via Cibodas, Putri, atau Salabintana. Jalur paling mainstream sih jalur Cibodas, paling sepi Salabintana karena pacetnya luar biasa mengerikan. Pendakian kali ini saya berangkat bersama teman-teman lama saya melalui jalur Cibodas. 

Terhitung sudah 3 kali saya mendaki TNGGP, tapi sejujurnya TNGGP tidak pernah jadi favorit saya. Bersebrangan dengan Soe Hok Gie yang menasbihkan kecintaan dalam puisinya "Kucinta kau Mandalawangi.." saya sih kurang suka dengan gunung ini, selain karena jalur batu yang licin dan terjal, menurut saya gunung ini ehehee.. nggak ada indah-indahnya. Ups. Jika kamu ingin mendaki Kerinci, atau Raung, atau Dempo, mungkin TNGGP bisa jadi latihan untuk simulasi pendakian selain persiapan fisik. Selain itu yang paling minus buat saya adalah betapa kotornya gunung ini. Sampah menumpuk dimana-mana, di berbagai spot, belum ditambah kotoran para manusia yang benar-benar malas untuk menggali lubang sedikit saja atau melipir ke semak-semak. Oh ya di gunung ini pula untuk pertama kalinya saya shalat menyembah kotoran manusia. *baca Al-Fatihah sambil nangis*

Ini kisahku ketika naik gunung... aku yang motonya.. *sedih*

Sunday, March 8, 2015

the mountain is calling and i feel so damn fine

Sungguh, ini musim hujan terlama. Gunung Puntang, 2.222 mdpl. Hanya dua jam saja dari kota Bandung. Naik Elf berdesak-desakan, sebelahku perempuan setengah baya yang terus menerus berusaha menggeser pantatnya agar aku bisa duduk lebih nyaman. Kota Banjaran dengan hujan yang tak kunjung selesai. Nasi dengan gepuk rasanya sungguh nikmat setelah menikmati lalu-lintas yang padat. 2.222 mdpl, hey, it was very nice to meet you! 


 ***

Tuesday, February 17, 2015

i can smell autumn dancing in the breeze


 Coz you know.. most of my best memories come from some old dirt road. 

...

Friday, January 23, 2015

what's left from 2014


1. Mendaki Gunung Salak 


Dua hari setelah lebaran, aku pergi ke Gunung Salak. Setelah hampir dua bulan tidak mendaki gunung, ternyata 'sakaw' juga. Ingin menghirup udara di ketinggian. Meski mendapat bonus omelan dari mama, permit 'nyawalan' di gunung akhir keluar juga. Gunung pendek dengan ketinggian 2.211 mdpl, nyatanya, tanjakannya semacam tanjakan aborsi semua. Haha. Dan jalurnya sungguh melingkar kesana-kesini bukan main panjangnya. :) 


Matahari terbit di Gunung Salak 
2. Mendaki Gunung Guntur 

Awal September aku mendaki Gunung Guntur. Setelah penasaran hampir dua bulan, akhirnya aku sampai juga kesini. Berangkat dari Jakarta naik bus Primajasa, aku tiba di Garut tengah malam buta. Menumpang tidur di pelataran SPBU dan mendaki keesokan paginya. Gunung ini cocok untuk pendaki pemula. Tanjakannya tidak terlalu brutal, pemandangannya indah, dan puncaknya.. oh seriously this is the best part, tanah di puncaknya, entah mengandung apa, yang jelas, tanahnya mengeluarkan panas, sehingga tidak dibutuhkan jacket hangat berlapis dua di puncak gunung ini. 

Sarapan di Puncak Gunung Guntur 

3. ... oh and I met this guy


Di akhir Maret, ketika aku akan mendaki Gunung Sumbing, aku berkenalan dengan seorang pria yang sungguh sok tahu dan menyebalkan di sebuah tempat perbelanjaan. Tujuan kami sama; Gunung Sumbing. Dari awal pertemuan, aku sudah merasa dia ini tipikal pria yang rewel dan menyusahkan, totally not my type,  but why on earth it turned out to be a different story? :))

Kota tua, Jakarta, Agustus 2014 
***


Wednesday, January 21, 2015

catatan pendakian gunung dempo 3159 mdpl











Well, I am stubborn and wrong, but at least I know it. - Vanessa Carlton

Malam natal yang nestapa. Hari itu, di akhir Desember, aku dengan gegabah membeli tiket Jakarta – Palembang – Jakarta. Tujuannya satu; Pagar Alam. Jaraknya sekitar tujuh jam perjalanan darat dari kota Palembang, kata wikipedia. Nyatanya, aku menghabiskan hampir 10 jam untuk tiba disana. Aku ingin mendaki Gunung Dempo, aku ingin melihat Kawah Merapi yang cantik kehijauan dengan mata kepalaku sendiri. Aku ingin kembali menjelajahi gunung-gunung di tanah Sumatera dengan kontur yang sangat jauh berbeda dari gunung-gunung di Jawa. Dan lagi.. untuk seorang pekerja kantoran dengan status cuti nyaris habis, tanggal merah adalah anugerah. Apapunlah.. Intinya, aku ingin pergi. Titik.


Tuesday, June 10, 2014

nothing good comes easy

Rinjani.
Senja di Sembalun yang membuncahkan rasa, mata yang terkerjap, dan kedua tungkai yang menjadi kuat dengan tiba-tiba. Aku belum pernah melihat langit seindah langit Rinjani. Bintang yang melimpah ruah di seantero cakrawala, malam yang begitu megahnya, aku bahkan tak rela memejamkan mata barang satu detik saja. 

Sunrise. Bersit cahaya matahari yang pertama kali menyentuh bumi itu singgah di pipiku yang beku. Spektrum cahaya yang terpecah laksana rudal yang diluncurkan dan meledak di angkasa dengan sempurna. Matahari menggila, jutaan warna berdansa dan meraung lebih keras dari kata. Lalu kawanan awan menyapa sepasang mata yang bersukacita dan gundah yang bermigrasi ke udara, betapa jelita. 

Kerinci.
Tak ada apa-apa disini selain tanjakan yang membuat pahaku mengencang seketika. Hutan padat yang tertutup rumput dan lumut di segenap belantara. Curah hujan dan lapis tajuk yang menggontaikan semangat, menelisik ke dalam rain cover yang tak rapat, seraya membuat kulitmu memucat. Kerinci tidak seindah larik puisi yang meninabobokan telinga, dia adalah gerutu parau yang membuatmu tersadar kau harus selalu terjaga.

Aku tersungkur dengan keras di shelter tiga. Jalur cadas yang angkuh pada setiap mereka yang gegabah melewatinya, belum pernah aku merasa dipecundangi sedemikian rupa. Tubuhku menghujam terjatuh ke dalam serakan kerikil dan akar tajam yang dengan gesit menggores lengan. Aku tertawa dalam ringisan, entah kenapa daya gravitasimu selalu sarat dengan pesan. Kau selalu mengajariku jatuh lalu berdiri, kau melumpuhkan tapi juga menumbuhkan, yang mengikis tapi juga memberi. Lelah adalah jurang dalam ruang antara, tapi pijarmu menjembatani, betapapun kuingin sembunyi.

Maka kubiarkan luka membuka, kupersilakan perih menganga, dan sakit menumbuk tulangku dengan sukarela. Sedikit cahaya yang tertangkap terasa begitu hangat, karena ternyata hanya itu yang kita butuhkan pada gelap yang sangat. Untuk si maha mulia lagi maha bijaksana, terimakasih telah meminjamkan sepasang kaki yang sempurna, untuk senantiasa menjaga, untuk tetap mengada meski acap terlupa, untuk terangmu yang mengenalkanku pada luka -- serta pada dunia dan segala keindahannya. 

***