Saturday, August 4, 2012

pengakuan nomor dua belas delapan

Setiap bulan ramadhan saya sering merasa beribadah dengan cara dipaksakan.

Kopiah, jilbab, ketupat, sinetron religius, khotbah, hingga ring tone dan RBT yang serba muslimin dan muslimah, semua seperti mendadak Islamiyah. Sejak saya kecil dan belajar puasa, guru agama saya di sekolah kalo tidak salah pernah bilang "Bulan ramadhan ini ibarat big sale dari Alloh, ayo lebih rajin lagi sholatnya." Saya masih belum paham konsep big sale tersebut, apakah pahala jadi lebih murah, begitu? Karena terus terang saya tidak pernah berniat membeli pahala. Saya selalu percaya, konsep barang murah kalau bukan second pasti kualitasnya jelek. Oleh karena itu, tentu saya tidak mau dapat pahala setengah harga dengan kualitas nomor dua.

Kedua, konsep maaf-maafan yang (maaf) menurut saya basi dan dan tidak beresensi. Masak mau maaf-maafan aja harus nunggu lebaran? Kalau orangnya keburu meninggal, gimana? Kan kasihan. Semakin saya besar, saya semakin merasa bulan ramadhan ini maknanya sudah meluntur, lebih seperti festival religi besar-besaran yang dikonsumsi secara kolektif, bukan lagi sebuah ritual proses penyucian diri yang sifatnya ekslusif.

Ketiga, entah karena teknologi yang semakin mencirikan kebesaran ego manusia, atau hmm pencitraan diri? Saya semakin positif merasa bulan ramadhan tidak lagi memberikan saya suatu etape yang mampu menjadikan saya sebagai seorang pribadi yang semakin agamais, yang ada malah mereduksi keinginan saya untuk berlomba-lomba mencari pahala seperti yang diserukan oleh para alim ulama. Lagi pula konsep pahala itu apa dan bagaimana cara mendapatkannya juga masih belum jelas seperti apa.

Dua hari lalu saat saya mengunjungi tempat karaoke di bilangan Sarinah, saya mengamati si mbak-mbak yang biasanya memakai rok mini sekarang jadi memakai rok panjang serba tertutup. Ironi sekali. Ramadhan seperti jadi ajang lucu-lucuan, mungkin dianggapnya laki-laki Islam itu pria-pria mental tempe yang tidak boleh dikasih liat pemandangan bagus sedikit, atau puasanya bisa batal nanti. Kenapa ga sekalian aja pakai kostum onta dan jualan korma? Terus terang, untuk saya itu adalah sebuah penghinaan.

Keempat, seperti yang sudah saya sebut di atas, ramadhan di jaman modern adalah sebuah festival religi yang megah dengan kembang api yang meriah. Pusat perbelanjaan yang berlomba-lomba meraup keuntungan dari para muslimin dan muslimah yang berlomba-lomba pula membelanjakan uangnya. Lalu masyarakat yang rela membeli tiket seharga dua kali lipat dari harga aslinya hanya untuk pulang ke kampungnya di hari raya. Saya paham dan mengerti konsep puasa, yang saya tak paham, pembungkus edisi kegiatan manusia selama satu bulan yang dengan gamblangnya dilabeli 'edisi ramadhan'.

Salah satu akibatnya? Saya sering merasa tak enak hati ketika kelupaan shalat ashar akibat keasikan nonton film atau baca buku, akibat lagi, saya jadi sering shalat dengan setengah hati, bukan karena saya memang ingin shalat, tapi lebih karena, "Hey goblok ini bulan ramadhan." Lucu ya? Enggak juga sih. Seperti belum juga mendengar lagu baru peterpan di tengah lautan penggemar yang sibuk berdiskusi, saya jadi merasa kampungan sendiri. Karena semua orang melakukan dengan berlebihan, saya jadi merasa tidak enak kalau tidak ikut-ikutan. Intinya, saya jadi sering merasa tertekan kalau tidak beribadah lebih rajin di bulan suci yang konon ditunggu-tunggu seluruh umat Islam.

Hari lebaran buat saya bukan lagi sebuah hari kemenangan dimana saya seharusnya bertransformasi menjadi seseorang yang lebih baik, melainkan sekadar euforia romantisme berbasis memori, seperti suara takbir yang bersahut-sahutan (ya, ini cukup menggugah rasa keTuhanan), berbagai macam kue-kue dan masakan, letupan atmosfer rasa senang ketika bertemu dan berkumpul bersama sanak saudara, dan tentu tak lupa; dapat uang serta libur panjang.

Kemarin saya menguping pembicaraan dua teman kantor saya, entah apa pula yang mereka bicarakan, tiba-tiba teman saya nyeletuk, "Eh lagi bulan puasa ga boleh bohong lho!" dan saya langsung menimpali, "Kalau lagi ga puasa juga ga boleh bohong, tolol." Dia bilang saya kasar lalu saya sengaja tertawa, berusaha mengubah konteks percakapan menjadi bercanda sembari tetap merutuk dalam hati.

Rasa-rasanya tidak ada yang perlu dibesar-besarkan di bulan ramadhan, karena menurut saya bulan itu sendiri sudah memiliki makna yang sangat akbar. Seperti mendandani kayu jati, kayu kelas satu yang terkenal karena keawetan dan keindahannya, atau sederhananya, seperti memasok air ke dalam lautan.

Terasa palsu dan percuma.

...

sepatu

Perempuan gila sepatu itu biasa. 
 Tapi apa kau tahu? Kita, perempuan lah yang dipilih oleh sepatu.

Silakan pilih kelir acak corak, kata penjualnya. Selalu seperti itu. Pantofel, ankle boots, rain boots, flat, stiletto, ayo apa lagi? Perempuan, bisa jadi akan jatuh cinta berkali-kali pada banyak sepatu. Namun tetap saja, pada akhirnya sepatu lah yang memilih pasangan kakinya, yang paling sesuai ukurannya. 36, 37, 37.5 sampai hmmm 42? Sepatu mungkin cuma bisa berdiam diri menunggu dipilih, tapi dia memiliki hak prerogatifnya sendiri, menentukan ukuran kaki yang tepat dengan kapasitas yang dimiliki.

Kamu tidak akan pernah bisa memanipulasi ukuran kakimu sendiri. Tumitmu akan menjadi bagian yang protes paling keras ketika kamu mencoba menipu. Yang paling sesuai ukurannyalah yang bisa membuatnya nyaman dipakai. Salah sedikit kaki bisa jadi lecet, tidak enak dipakai, dan sepatu itu pun  akhirnya jadi terbuang percuma, teronggok di sudut lantai kamar. Modelnya cantik luar biasa, warnanya cocok sekali dengan dress yang baru dibeli di mangga dua, lalu bahannya? Kulit sapi asli yang sempurna. Ahh, sayang ukurannya tidak pas. Berapapun uang yang kamu punya, silakan pulang dengan hati meradang. 

Sama halnya seperti memilih pasangan. Ada yang ganteng, yang pintar, yang tajir, yang tajir beut, yang soleh, yang romantis, wow begitu banyak pilihan, katakanlah, kamu sangat jatuh cinta padanya. Namun pada akhirnya, cuma yang sesuai gelombangnya, yang sesuai unsur kimiawinya, yang sesuai porsinya yang membuat nyaman. Tidak lebih, tidak kurang. Memaksakan kehendak sama saja seperti memaksa memakai sepatu yang terlalu kecil ukurannya..  bikin hati lecet.

Oke, lagu Anang Ashanti nya bisa gak kalau diputar sekarang?

...