Thursday, October 2, 2014

to kill every ismail

Here he is. Ibrahim. Having left many difficult years behind him, all of his hairs are gray. And so He brought mercy to the agedness, loneliness, hopelessness and anguish. For Ibrahim, Ismail was not just a son for a sonless father. He yearned for Ismail for a hundred years. Ismail was the end of a life waiting, the reward of a century of suffering, the hope after despair and the young boy of an old father. He was the most dear after all those miserable years.

Seorang teman pernah mengatakan, “Tak ada cinta yang terlalu.” Tapi aku tidak setuju. Segala sesuatu yang terlalu cenderung akan mengacaukan alur, memecah ke segala arah, berat sebelah, lalu goyah. Meski begitu, aku percaya, manusia memang memiliki kemampuan untuk memproduksi terlalu banyak cinta hingga dirinya tak sadar, pada satu titik terlempar dan menjadi objek lawakan semesta. Seperti banyak figur yang pantas dikenang, Ibrahim adalah salah satu yang pernah merasakan. Ismail, si putra kesayangan adalah bukti cinta yang keterlaluan, maka Tuhan memutuskan untuk turun tangan.

Aku pernah jatuh cinta bukan kepalang. Pikiranku kacau, awut-awutan, hidupku berantakan. Kondisi ini – apabila kupikir-pikir lagi bukan pengalaman yang menyenangkan. Bertahun-tahun aku hidup dalam ketidaknyamanan, demi mengejar sesuatu yang kupikir, Ya Tuhan, jika aku bersama dengannya sepertinya aku akan bahagia selamanya, padahal, apalah yang benar-benar kutahu tentang masa depan? Mimpi, ambisi, apalagi? Bodoh? Memang.

What it was like to be Ibrahim?

Sebagaimana layaknya manusia lain -- yang selalu beranggapan bahwa mengekang kenangan, mengejar keinginan dan terbawa perasaan adalah sesuatu yang sifatnya adiktif dan membawa rasa nyaman -- Ibrahim adalah salah satu yang membuatku terkesan. Dia dipaksa belajar untuk menerima lalu melepaskan. "O Ibrahim give up your Ismail. Put the knife to the throat of your son and sacrifice him with your hands!” konon begitu katanya. Seketika matanya mengabur, amarahnya menghambur dalam jiwanya yang babak belur seraya imannya meluluh nyaris hancur. Tapi Ibrahim berhasil menembus batasnya, melepaskan cintanya, dengan keberanian yang luar biasa mengerikan, dengan kerelaan yang luar biasa mengagumkan.

Dan mungkin di hari yang disakralkan ini, Dia hanya ingin mengingatkan kembali satu pesan yang terlalu sarat dengan interpretasi. Bahwa mungkin, esensi dari kisah yang dihantarkan manusia dari masa ke masa ini bukan perihal seberapa banyak daging sapi yang mampu kau bagi, yang mampu kau beri, tapi mengenai cinta yang terlalu rakus dan menjadi keji, tentang membatasi diri, tentang menahan rasa yang terlalu penuh dengan ambisi, tentang hasrat memiliki -- atau sederhananya, mungkin, karena ternyata belajar menerima seratus kali jauh lebih sulit daripada memberi. Jadi lepaskan, biarkan, rela, menerima, karena Ibrahim melakukannya? Bukan. Karena yang ada tak akan selamanya.

“Imagine yourself at the peak of honor, full of pride. It can be a person, an object, a rank, a position, anything that makes you actually weak, that is your Ismail.” Ali Shariati