Showing posts with label travelling. Show all posts
Showing posts with label travelling. Show all posts

Wednesday, July 8, 2020

tempat camping ramah anak


Alkisah, setelah 3 bulan dokem di rumah aja, kok rasanya mulai bosan ya? Padahal kurva lagi naik terus-terusan, dan sejujurnya makin serem aja keluar rumah, tapi di rumah juga suntuk, gimana dong? 

But anyway, also thanks to corona, karena corona, si mbak di rumah tiba-tiba ngibrit balik ke kampungnya di Pacitan karena takut ga bisa lebaranan di kampungnya, dan karena ku bingung harus WFH tapi anak ga ada yang pegang, akhirnya kami sekeluarga pun ngungsi ke rumah orangtua di Bandung. Mau cari ART baru tapi kok lagi situasi kaya gini agak serem juga ya narik orang baru dari luar. Pertimbangan selanjutnya juga adalah karena di rumah Bandung ART nya masih ada dan sehat. So, ok, Bandung here we go! 

Tuesday, August 7, 2018

bali empat hari: liburan bawa bayi, apakah repot? tentu saja ya!


Setelah sekian gerhana bulan purnama, akhirnya aku liburan! Liburannya kemana? Yang deket aja, ke Bali, tempat wisata paling mainstream se-Indonesia. Hahaha. Terakhir ke Bali itu saya tahun 2015. Setahun sebelum  menikah. Waktu itu saya ke Gunung Agung dan kemping di Gunung Batur. Btw, saya jatuh cinta setengah mati sama Gunung Agung. Masuk dalam list gunung yang harus didaki berkali-kali along with Merapi dan Rinjani. Nah, berhubung liburan kali ini saya bawa Ozzu dan Bapak saya yang sakit jantung, so destinasi naik gunung otomatis dicoret dari itinerary. Lalu kemana dong? Pantai?
Sejujurnya ketika bikin itinerary aku bingung di pantai itu mau ngapain? Hahaha.. terakhir ke Bali itu saya sempet ke Pantai Kuta juga, tapi ya cuma cari mbok pijet buat dipijet di pinggir pantai gitu karena badan saya rasanya mu rontok abis tektok Gunung Agung. Karena udah lama banget ga jadi anak pantai, saya bingung nentuin durasi main di pantai. Lagian mau ngapain dah?

Berenang?

Sunday, August 27, 2017

the honeymoon: mendaki gunung kinabalu


*A very very late post! Udah setaun lebih dan baru sempet nulis tentang Kinabalu sekarang. Tapi tetep diposting akhirnya meski udah basi. Mudah-mudahan bisa membantu siapapun yang mau mendaki Kinabalu. Enjoy! :) 

Senin 15 Agustus 2016

Subuh. Saya sudah bertolak menuju bandara Soekarno Hatta lengkap dengan suami dan dua carrier besar. Ciyee suami. Kami baru saja dua hari menikah. Badan rasanya masih pegal-pegal dan lelah, tapi dari semua rangkaian acara pernikahan kami kemarin, ini yang paling saya tunggu-tunggu, honeymoon... ke gunung... Kinabalu!

"Ngebut, Pak!" kata saya ke supir taksi.

Tuesday, January 24, 2017

#piknikekonomis ke curug leuwi hejo sentul


Alkisah semenjak menikah dan memutuskan untuk membeli rumah. Saya jadi kurang piknik. Bahahaha... Selain memang dana tersedot untuk DP rumah, saya juga jadi kesulitan untuk atur waktu kalau mau liburan. Faktor status fakir cuti karena saya belum dapat jatah cuti di kantor yang baru, juga karena suami saya enggak mau ditinggal. Heran deh, dulu sebelum nikah kayanya cuek banget, pas udah nikah jadi super posesif. Fuhhh... 

Akhirnya karena saya udah sakaw banget pengen piknik tapi ga punya duit (ciyann), saya browsing-browsing tempat wisata yang dekat Jakarta dan bisa dijangkau dengan mudah. Ketemu lah sama salah satu tulisan mengenai Curug Leuwi Hejo. Setelah saya dalami dan sedikit riset, saya memilih Curug Cibaliung yang lokasinya berada di kawasan Curug Leuwi Hejo. Sebelumnya teman saya sudah pernah ngajak jogging cantik ke sana, tapi karena waktunya kurang pas, akhirnya ajakannya saya skip. 

Wednesday, October 12, 2016

tentang ciremai dan kenapa aku tidak menyukainya


People change, and so am I.

Dulu banget, mungkin lima atau empat tahun lalu, saya termasuk ke dalam pendaki yang ngotot banget ngejar puncak. Mau badai kek, ujan gede kek, gempa bumi sekalipun, saya tetap ngotot naik sampai ke puncak. Ngapain coba ke gunung kalau ga sampe puncak? Kan bego.

Tapi ya itu dulu, waktu dulu saya lagi lucu-lucunya, waktu perut masih kentjang-kentjangnya hahaha dan entah kenapa, betul kata orang, as we getting old, those ambitious things starts to disappear. Rasanya udah lama banget saya ga ke gunung bawa carrier segede kulkas, bawa peralatan masak lengkap, bawa logistic buat seminggu meski pendakiannya cuma dua hari, pokonya perut harus kenyang enak di atas. 

Sekarang? Saya cuma senang camping ceria sambil ngopi cantik. Kalau pun mau sampe puncak, saya pengennya tek tok aja, ga usah camping. Saya males bawa carier gede-gede, 28 liter backpack is my new carrier. Terakhir saya ke gunung, ya ke Kinabalu itu, dimana saya ngedaki macam princess, ga bawa apa-apa, sebelumnya kalau ga salah saya ke Gunung Agung, itu pun tek tok juga, saya cuma bawa day pack, sebelumnya lagi ke Gunung Merapi tek tok juga. Pokonya carrier saya ampe lumutan kayanya ga pernah dipake.


Thursday, September 1, 2016

bagaimana cara mendaftar untuk mendaki gunung kinabalu?



Tahun 2013 saya pernah terpaku melihat gallery photo seorang teman di laman facebook. Lanskap gunung berbatu dengan kontur dan bentuk peak yang sangat khas. Gunung Kinabalu. Yeps. Sejak saat itu, saya bermimpi pingin menginjakan kaki ke sana. 

Tapi ya, mimpi aja. 
Karena apa? 
Karena mahal. 
Haha. 

Friday, April 22, 2016

yang tersisa di tepi batanghari


Menyaksikan kontruksi yang terpahat begitu apik kadang membuatku bergidik. Bukan karena aura mistis yang banyak orang-orang ceritakan. Tapi tentang betapa mereka membuatnya begitu rapi, begitu teliti. Coba jelaskan, bagaimana bisa mereka merancang arsitektur yang begitu teratur, begitu terukur? Aku dapat merasakan bagaimana gagasan saling bertumbukan, bersinergi dan membuat satu komposisi yang bahkan terasa lebih kuat dari rajutan sosial yang pernah ada di tempat ini. 

Friday, April 8, 2016

jalan-jalan sebentar ke pulau pari

Tadaaa.. kapal oleng, Capt! 
Alohaaa.. postingan liburan yang sangat telat. Setelah hingar-bingar malam taun baru berakhir, saya memutuskan untuk pergi ke Ujung Kulon. Sengaja saya nunggu peak season liburan berakhir, supaya daerah yang saya tuju, ga padat atau penuh. Kali ini saya pilih Ujung Kulon. Seingat saya, dari tahun 2009 saya sudah ngebet banget pingin kesini, eh alhamdulillah yah.. belum kesampaian tuh. Tahun 2009 itu, entah kenapa mendadak saya ganti haluan malah berangkat ke Karimun Jawa. Eh, kok kejadian lagi sekarang, ya? Alih-alih mau ke Ujung Kulon, H minus satu, saya baru dikabari kalau cuacanya lagi ga bagus. Eh, kebetulan si bebs mau ke Pulau Pari sama temen-temen kantornya. Mungkin karena kuping dia pengang dengerin saya ngomel ga jadi berangkat ke pantai, akhirnya saya diajak ke Pulau Pari di Kepulauan Seribu.

Wednesday, December 30, 2015

dan lalu, tahun baru

Gema adzan subuh yang memecah kelam, lamat-lamat tapi gegap, perlahan merayap cahaya yang begitu terang. Sudah empat bulan ga pelesir. Pelesir dalam artian pergi ke satu kota yang asing untuk bangun siang, haha hihi, mandi, lalu pergi semau kaki.  Pingin pergi ke tempat yang tak terjangkau tukang tiki atau signal simpati. Pingin pergi ke tempat betis meraung terasa nyeri, tapi hati kok happy? Ke tempat yang jauh, berbukit-bukit dan tak seramai di pasar pagi. Cukup makan indomie, tapi bisa bilang 'Haloo.. this is my happy tummy'. Menapak gang-gang sempit sebagai perjalanan pembuka di sepanjang kebun warga. Menatap spanduk besar setengah koyak bergambar pria berkopiah dengan gombalan terindah. Menghirup udara dingin sampai hidung perih, lalu terselamatkan oleh secangkir kopi dengan air mendidih. 

Coba bilang, mana bisa mataku terpejam menatap pemandangan yang sedemikian jarang?

Thursday, September 24, 2015

harus kemana di samarinda?


Not even once in my life, I've ever consider myself as a photographer. No, I am not a photographer, I am just a girl with Nikon. Buat saya, selain emang skill motret yang standar abis, fotografi itu cuma hobi. Sama seperti naik gunung. Dulu kalau tidak salah, ada teman yang pernah bilang begini, "Luh, kenapa sih lo ga buka usaha semacam buka trip kemana-mana gitu, kan lo seneng travelling tuh? Kan enak, sambil liburan sambil kerja." Errr.. no. Kenapa saya bilang no? Karena ketika pekerjaan masuk ke ranah setingan "holiday mode on" buat saya itu ganggu banget. Saya jadi ga bisa maximize my adventurous and spontaneous mood, karena saya punya tanggung jawab yang berhubungan dengan komitmen orang yang membayar saya. 

Begitu pun fotografi. Saya sudah pernah trial and error (banyakan errornya sih) motret untuk pra wedding teman dan saudara saya. Ketiga-tiganya tidak dibayar dan saya memang maunya begitu. Dengan demikian, kalau misalnya hasil fotonya jelek, eh, ya jangan komplain dong yah, kan situ ga bayar saya. Hehe. Dengan demikian pula, saya merasa lebih bebas untuk eksplor tanpa terlalu terbebani oleh request anu ini itu dari (so called) misalnya client. 

But then again.. there's always a first time for everything. 


Sunday, August 23, 2015

catatan pendakian gunung batur dan gunung agung


"Bandara Ngurah Rai ditutup," kira-kira begitulah pesan singkat yang saya terima di email siang itu, Kamis, H minus satu sebelum saya hendak berangkat ke Bali. Gunung Raung sedang cranky -- dan crankynya gunung Raung, udah ngalah-ngalahin crankynya perempuan PMS plus sakit gigi plus migrain plus kerjaan di kantornya lagi banyak plus ga punya duit. Sudah terbayang?  Ga usah dibayangin sih, ngeri lah. Kamis malam saya masih gelisah antara berangkat atau tidak. Selain faktor keamanan, ada pula ketakutan jika saya tidak bisa kembali ke Jakarta hari Minggu malam karena persoalan ditutupnya bandara. Tapi Pak... tiket sudah terlanjur dipesan, apa boleh buat, carier saya pun sudah terpacking dengan sempurna siap diajak melanglang buana. Saya tekan nomor telepon taksi yang biasa mengantar ke bandara. "Pak, saya minta dijemput besok jam 4 subuh di anu anu anu.." Baiklah, Bali, here I come! 


Thursday, May 21, 2015

anjangsana

All journeys eventually end in the same place, home. - Chris Geiger 

Hampir tengah malam keretaku tiba di stasiun Lempuyangan. Kereta kelas ekonomi dengan kursi tegak yang cukup membuat leherku pegal. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah tiba dengan selamat di Yogyakarta. Agak sempoyongan aku berjalan dengan carier 36 liter di punggungku dan day pack 14 liter yang kugantungkan di lengan. Setengah mengantuk, sepanjang jalan aku tertidur dan baru terbangun di stasiun Wates. 

Perjalanan ini sudah cukup lama kurencanakan, hampir dua minggu lalu. Aku ingin mendaki Merapi, lagi.  Sepanjang perjalananku mendaki gunung, rasa-rasanya hanya ada dua gunung yang -- aku-akan-sangat-mau-sekali -- untuk kembali kesana lagi, yakni; Rinjani dan Merapi. Aku suka puncak Merapi, lalu Pasar Bubrah, ahh.. sudah tak sabar rasanya. 

Sebelum mendaki Merapi, aku menyempatkan diri mengunjungi pantai Parang Endog dan tempat yang saat ini cukup populer di Jogja, namanya Kalibiru. Di jalan menuju Parang Endog, kami mampir ke Gumuk Pasir. Kami tidak berlama-lama disana, panasnya sinar matahari yang menyengat tepat pukul 12 petang di atas gurun pasir membuat kami semua kepanasan. Gumuk ini tersusun dari material pasir hitam gunung Merapi yang hanyut terbawa aliran sungai Oyo dan Opak. 

Tidak jauh dari Gumuk Pasir, dengan mengendarai motor kami tiba di Parang Endok. Pantai ini adalah sisi pantai terujung dari Pantai Parangtritis. Karena letaknya yang di ujung pula, maka pantai ini belum terlalu kotor karena tidak terlalu banyak didatangi oleh turis. Kami beristirahat sejenak, duduk di tebing berbatu sembari menikmati senja yang kekuningan lalu perlahan berubah menjadi ungu dan kemudian memekat. 

Hari Sabtu pukul delapan malam kami tiba di New Selo, perhentian terakhir sebelum mendaki Merapi. Ada yang aneh, banyak sekali pendaki yang turun seperti tidak jadi mendaki. Setelah bertanya sana-sini ternyata ada seorang pendaki yang terjatuh di kawah Merapi sore tadi. Gunung Merapi untuk sementara ditutup karena itu banyak pendaki yang ditolak di basecamp. Dengan sedikit kecewa aku terduduk di New Selo. Beberapa anggota Basarnas nampak hilir mudik. Namun akhirnya pukul 00.30 aku dan beberapa orang temanku tetap memutuskan untuk naik meski setelah hasil lobi-lobi, kami hanya diizinkan naik  sampai pos 2. Tak apalah, daripada percuma. 

Pukul empat pagi kami sudah tiba di pos 2. Dengan mata menahan kantuk karena tidak sempat tidur sejenak, kami akhirnya memutuskan untuk tidur beralaskan tanah di pos 2. Kami memang tidak merencanakan untuk camping sehingga kami tidak membawa tenda ataupun sleeping bag. Sepanjang mataku menatap, bintang berhamburan dengan kerlipnya yang gemilap. Ini dia hotel berbintang yang sebenar-benarnya. Hampir pukul lima pagi aku akhirnya memutuskan untuk menyusup ke Pasar Bubrah. Tepat ketika matahari memunculkan wajahnya aku sudah tiba di sana. 

Bubrah, menawan seperti biasanya. Hamparan batu yang membentuk lembah nan megah dan itu dia.. puncak Garuda yang menyembul di antara awan dengan gagah di atas Bubrah yang membuatku gentar, komposisi mengagumkan dari si maha akbar. Sinar matahari membelah memecah ruah di udara. Ini pagi di Bubrah yang luar biasa indah. Aku tidak mendaki ke Barameru, area puncak Merapi. Selain karena memang dijaga ketat oleh Basarnas, minatku pun hilang sudah setelah mendengar kecelakaan yang menimpa pendaki malang itu. 

Tahun 2013 ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi Merapi, aku memang sampai ke puncak, tapi aku tidak berminat untuk mendaki puncak Garuda untuk sekadar berfoto di atasnya. Merapi memang indah, tapi dia tidak cukup ramah. Aku berbalik memunggungi puncak Merapi. Melambaikan tangan, sudah saatnya turun kembali pulang. Puncak itu masih tegap menjulang disana, seperti menatapku, menantang, tapi.. bukankah kembali pulang adalah tujuan dari semua perjalanan?

...

parang endog parangtritis
puncak merapi barameru bara meru pasar bubrah

Monday, May 4, 2015

there is always something good in every may

Hello May! Bulan kelima di tahun 2015. Tahun lalu di bulan ini saya baru saja turun dari Rinjani dan sedang bersiap untuk mendaki Kerinci, tahun ini frekuensi naik gunung agak sedikit berkurang, musim penghujan yang tak kunjung selesai, ditambah pekerjaan yang membludak membuat saya berpikir ulang untuk melakukan pendakian di gunung-gunung yang cukup jauh. Tapi di akhir April saya memutuskan untuk mengambil jatah cuti dan pulang ke Bandung. Ada banyak tempat di Bandung yang bisa kamu kunjungi. Well.. daripada kamu repot-repot mencari info dan membuat rencana untuk mengunjungi Tebing Keraton -- yang sungguh sangat standar pemandangannya dan ramainya bukan main, saya sarankan kamu untuk mengunjungi:

1.  Gua Pawon atau Guha Pawon.
Sebenarnya sudah lama sekali saya penasaran dengan tempat ini, sebagai urang bandung asli -- meski sanes urang sunda asli :-P -- saya merasa berkewajiban untuk menyambangi tempat ini. Gua Pawon terletak di Bandung Barat, tepatnya di Cipatat berdampingan dengan Gunung Masigit. Dari Pasteur jaraknya hanya sekitar satu jam saja untuk menuju kesana. Ketika sampai disana, saya langsung terpana melihat kegagahan Gunung Masigit. Rasanya pingin langsung mendaki sampai ke atas, sayangnya saat itu niat saya cuma jalan-jalan memakai sandal cantik. Gunung ini juga sering dijadikan spot untuk wall climbing.

Gunung Masigit yang ganteng dan gagah perkasa
Gerbang Gua Pawon. Lets go!
Di sini ada dua spot yang bisa kamu kunjungi, yang pertama adalah Gua Pawon yang kedua Taman Batu atau Stone Garden. Saya sih lebih suka Gua Pawon daripada Stone Garden. Kalau kamu termasuk pejalan yang sering mendaki gunung pasti kamu akan merasa bosan di Stone Garden. Dari Gua Pawon, kamu cukup membayar Rp. 4.000,- untuk masuk ke area Stone Garden. Letaknya tidak jauh dari Gua Pawon, cukup mendaki sekitar 300 m dan kita akan sampai di Stone Garden. 

Di Gua Pawon ini juga konon untuk pertama kalinya ditemukan manusia purba yang kemungkinan besar adalah nenek moyangnya orang Sunda. Ketika kita menginjakan kaki ke dalam langsung tercium sengit bau pesing kelalawar. Banyak orang memakai masker karena baunya yang cukup menganggu, tapi lama-lama sih baunya jadi biasa aja, jadi saya sih cuek saja berlama-lama di dalam tanpa memakai penutup hidung.

PS. yang pakai baju kuning itu galaknya bukan main, marah-marah terus karena dipaksa jadi model, tapi berkat kecantikanku akhirnya dia mau..



2. Warung Salse 
Okay. Bandung tentunya tidak lepas dari wisata kulinernya dan nongkrong-nongkrong di cafe-cafe yang instagramable haha. Atas rekomendasi teman saya, kemarin saya mendatangi satu tempat makan di daerah Dago Giri, tepatnya di Jalan Dago Giri No. 101, kamu bisa masuk melalui komplek PPR ITB Dago. Letaknya tidak jauh dari Cafe Lawang Wangi. Sepintas memang bangunannya unik, full dengan kaca. Harga makanannya juga tidak mahal-mahal amat, berkisar antara 20-35rb dan minumannya sekitar 20-25rb. Rasanya juga lumayan enak, saya pesan spagheti godog -- yang sayangnya lupa difoto karena saya sudah sangat laparrr -- rasanya err ya kaya mie godog tapi memakai bahan pasta spagheti. 



3. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 
Eh.. ini bukan di Bandung ya? Gimana ya udah ketulis.. seperti kita semua sudah tahu, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau biasa disingkat TNGGP ini letaknya ya dekat Sukabumi, kalau dari Bandung ya bisa naik bus atau atau naik angkutan sejenis ELF, jalur aksesnya ada tiga; via Cibodas, Putri, atau Salabintana. Jalur paling mainstream sih jalur Cibodas, paling sepi Salabintana karena pacetnya luar biasa mengerikan. Pendakian kali ini saya berangkat bersama teman-teman lama saya melalui jalur Cibodas. 

Terhitung sudah 3 kali saya mendaki TNGGP, tapi sejujurnya TNGGP tidak pernah jadi favorit saya. Bersebrangan dengan Soe Hok Gie yang menasbihkan kecintaan dalam puisinya "Kucinta kau Mandalawangi.." saya sih kurang suka dengan gunung ini, selain karena jalur batu yang licin dan terjal, menurut saya gunung ini ehehee.. nggak ada indah-indahnya. Ups. Jika kamu ingin mendaki Kerinci, atau Raung, atau Dempo, mungkin TNGGP bisa jadi latihan untuk simulasi pendakian selain persiapan fisik. Selain itu yang paling minus buat saya adalah betapa kotornya gunung ini. Sampah menumpuk dimana-mana, di berbagai spot, belum ditambah kotoran para manusia yang benar-benar malas untuk menggali lubang sedikit saja atau melipir ke semak-semak. Oh ya di gunung ini pula untuk pertama kalinya saya shalat menyembah kotoran manusia. *baca Al-Fatihah sambil nangis*

Ini kisahku ketika naik gunung... aku yang motonya.. *sedih*

Friday, April 10, 2015

epik

Dibalik rumitnya komposisi antarmuka dan pola komunikasi, aku percaya, mata yang mendengar tanpa distraksi adalah jenis interaksi yang dinginkan hampir semua penduduk bumi. 

Hari yang sangat panas di Pelalawan. Anak-anak ini menyambut kedatangan kami dengan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. Sebagian dari mereka dengan berani bercengkerama dengan kami, sebagian lagi hanya menatap dari jauh. Dengan dialek Melayu yang kental, seorang anak menyapaku. "Kakak darimana?" katanya. Matanya menyelidik  ke arah kameraku. Sebagian dari mereka memakai kaus kaki, sebagaian lagi tidak, dengan kaki telanjang mereka berlari-lari kesana-kemari. 

"Gubrakk!" 

Seorang anak terjatuh. Lututnya berdarah. Teman-temannya tertawa, sementara ia meringis. Ketika kameraku mengarah ke arahnya, sontak ia menyunggingkan senyumnya. Aku tertawa. Ketika waktu istirahat tiba, mereka bergerombol, berkumpul, saling menjahili -- sembari jajan mie yang dimakan sambil dibagi-bagi. Sebagian duduk di kursi satu-satu, ada yang mengaji, ada yang sibuk makan kuaci. Anak-anak ini -- kulitnya menghitam diterkam sengat cahaya, rambut mereka kemerahan, dan sudah bisa kutebak kalau dengkul mereka satu pun tak ada yang mulus, seragam mereka lusuh, sebagian koyak, tubuh mereka bau matahari. Tapi kau tahu satu hal yang sangat kusenangi dari tempat ini?

Tak ada satu pun yang main iPad disini. 

...