Friday, April 22, 2016

yang tersisa di tepi batanghari


Menyaksikan kontruksi yang terpahat begitu apik kadang membuatku bergidik. Bukan karena aura mistis yang banyak orang-orang ceritakan. Tapi tentang betapa mereka membuatnya begitu rapi, begitu teliti. Coba jelaskan, bagaimana bisa mereka merancang arsitektur yang begitu teratur, begitu terukur? Aku dapat merasakan bagaimana gagasan saling bertumbukan, bersinergi dan membuat satu komposisi yang bahkan terasa lebih kuat dari rajutan sosial yang pernah ada di tempat ini. 

Pagi yang benderang di tepi Sungai Batanghari, Aku mengayuh sepedaku perlahan melewati tempat yang pernah menjadi pivot para penganut Buddha Mahayana. Namanya, Candi Muaro Jambi. Klaimnya, ini adalah komplek candi terbesar di Asia Tenggara. Anehnya, Candi Muaro Jambi tak sepopuler Angkor Wat atau bahkan Candi Borobudur. Peninggalan kejayaan Srivijaya yang dijahit dengan helai-helai legenda, maktab megah yang kini telah tertimbun tanah. Candi Muaro Jambi nyaris tak terdengar, seperti remah-remah tembikar yang kalah tenar. Dengan luas 260 hektar memanjang di sepanjang tepi Sungai Batanghari, candi yang berhasil diekskavasi hanya sekitar 12 candi, padahal diperkirakan masih ada 80 candi yang masih terkubur di dalam.

Konon Lama Atisya hingga Changkyo Dorpe pernah berguru di tempat ini. I Tshing, seorang Buddhist pengembara pada abad ke 7 pernah menuliskan tentang Muaro Jambi, "Di suatu tempat di tepi sungai, tanpa bayang-bayang pada tengah hari, di antara dataran Tiongkok dan India, terdapat beribu-ribu pendeta menuntut ilmu." Banyak ahli arkeolog menyimpulkan, Candi Muaro Jambi memang bukan pusat peribadatan, melainkan seperti layaknya universitas yang kerap didatangi banyak orang. Melihat tata ruang di candi ini memang sungguh berbeda dengan candi-candi di pulau jawa. Tak ada kala makara, reliefnya pun begitu sederhana.

Hampir satu jam aku mengayuh sepedaku mengelilingi komplek candi yang rindang. Ditemani pohon tua, kelabang, dan bata merah yang sangat kontras dengan birunya awan, aku tiba-tiba membayangkan moyang dari Asia belakang yang mendengungkan senandung doa, menaiki perahu kecil di kanal-kanal penyambung candi melewati Batanghari di suatu siang. Apakah mereka kepanasan? Atau kedinginan? Berapa kira-kira jumlah manusia yang pernah belajar di sini? Tak terbayangkan pula betapa lebatnya hutan rimbanya dahulu di tempat ini. 

Sambil berjalan pulang, aku melewati warung kecil yang menjajakan minuman segar. Menoleh sedikit ke belakang. Masih saja sepi. Candi Muaro Jambi yang nyaris terlupakan. Sejak tahun 2009, statusnya masih dalam 'waiting list' world heritage UNESCO. Entah apa yang membuatnya begitu ditinggalkan, lagipula, setelah kupikir lagi, mengapa sih kita butuh sekali pengakuan? 

***


































No comments:

Post a Comment