Senja di Sembalun yang membuncahkan rasa, mata yang terkerjap, dan kedua tungkai yang menjadi kuat dengan tiba-tiba. Aku belum pernah melihat langit seindah langit Rinjani. Bintang yang melimpah ruah di seantero cakrawala, malam yang begitu megahnya, aku bahkan tak rela memejamkan mata barang satu detik saja.
Sunrise. Bersit cahaya matahari yang pertama kali menyentuh bumi itu singgah di pipiku yang beku. Spektrum cahaya yang terpecah laksana rudal yang diluncurkan dan meledak di angkasa dengan sempurna. Matahari menggila, jutaan warna berdansa dan meraung lebih keras dari kata. Lalu kawanan awan menyapa sepasang mata yang bersukacita dan gundah yang bermigrasi ke udara, betapa jelita.
Tak ada apa-apa disini selain tanjakan yang membuat pahaku mengencang seketika. Hutan padat yang tertutup rumput dan lumut di segenap belantara. Curah hujan dan lapis tajuk yang menggontaikan semangat, menelisik ke dalam rain cover yang tak rapat, seraya membuat kulitmu memucat. Kerinci tidak seindah larik puisi yang meninabobokan telinga, dia adalah gerutu parau yang membuatmu tersadar kau harus selalu terjaga.
Aku tersungkur dengan keras di shelter tiga. Jalur cadas yang angkuh pada setiap mereka yang gegabah melewatinya, belum pernah aku merasa dipecundangi sedemikian rupa. Tubuhku menghujam terjatuh ke dalam serakan kerikil dan akar tajam yang dengan gesit menggores lengan. Aku tertawa dalam ringisan, entah kenapa daya gravitasimu selalu sarat dengan pesan. Kau selalu mengajariku jatuh lalu berdiri, kau melumpuhkan tapi juga menumbuhkan, yang mengikis tapi juga memberi. Lelah adalah jurang dalam ruang antara, tapi pijarmu menjembatani, betapapun kuingin sembunyi.
***