Friday, August 21, 2015

kun

Soe Hok Gie pernah berceloteh tentang manusia. Mungkin wacana ini didapatkannya setelah pulang dari pendakian yang terlalu melelahkan -- lalu alih-alih beristirahat -- dia malah membaca jurnal seorang filsuf Yunani. Intinya, dia mengatakan, nasib tersial adalah berumur panjang, yang kedua, dilahirkan tapi mati muda, dan mereka yang paling beruntung -- adalah mereka yang tidak pernah dilahirkan. 

Yaa.. mungkin dia lelah. 

Maaf, koreksi, dia pasti lelah.

Sebenarnya aku juga belum paham apakah kita beruntung atau tidak karena terlahir sebagai manusia. Makhluk yang punya kehendak dan keinginan yang begitu membabi-buta. Tapi konon jauh sebelum kita diberikan 'ketidakberuntungan' ini, nyatanya kita pula yang memilih untuk lahir di dunia ini. Dalam surat cintanya kepada Muhammad, Tuhan pernah bilang, bahkan gunung-gunung pun tak mau memikul sedemikian besar beban untuk menjadi manusia.  "Indeed, he was unjust and ignorant," tuturnya. 

Hari ini aku mengunjungi seorang teman yang baru saja melahirkan anak yang ditunggu hampir bertahun-tahun lamanya. Keadaanya tidak terlalu baik, beratnya 2.2 kilogram, kurang berisi untuk seorang bayi yang baru saja lahir. Temanku kepayahan. Kondisi kesehatannya pun tak terlalu baik. Tapi lalu aku melihat ibunya, melihat suaminya, mereka seperti membentuk satu tim yang solid dan menggalang kekuatan. Kau tahu? Kupikir, itu adalah salah satu kelebihan menjadi manusia. Kita tidak pernah dibiarkan benar-benar sendirian. Kita berinteraksi lalu membentuk koneksi dan tiba-tiba saja kita bisa menjadi begitu berenergi.

Mari kuceritakan tentang kisah manusia terlahir di dunia. Ini adalah cerita yang turun temurun disampaikan oleh manusia-manusia sebelumnya. Kabarnya cerita ini sudah teruji di berbagai zaman dan realita. Konon, jauh sebelum kamu bersemayam di dalam perut ibumu yang nyaman itu, kamu sudah ditanya, "Apakah kamu yakin kamu mau menjadi manusia? Apa tidak mau jadi malaikat saja?" mungkin kira-kira begitu. Lalu setiap manusia yang akhirnya terlahir ke dunia akan menjawab dengan bodohnya, "Tentu aku mau menjadi manusia." Dan lalu, "Kun", dia bilang begitu dan lalu lahirlah kau ke dunia.

Aku tidak ingat pernah ditanya hal sedemikian rupa. Mungkin jika aku ingat, aku akan dengan segera menyesali jawabanku waktu itu. Bukankah nampaknya lebih enak jadi malaikat daripada menjadi manusia? Tapi kau tahu? Setelah kupikir-pikir lagi, Itulah satu lagi kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya. Kita diberikan kesempatan untuk menyesal. Aku, kamu, kita bisa berpikir ulang untuk memperbaiki kesalahan. Kita diperbolehkan untuk menata strategi kembali, jatuh lalu berdiri lagi, tidur lalu bangun lagi, getir lalu bahagia lagi. Maka itu, sepertinya aku kurang setuju dengan ucapan filsuf Yunani yang dikutik Soe Hok Gie.

Seringkali kesadaranmu ingin menyerah saja, seringkali kau ingin halusinasi mengalahkan realita, tapi tunggu dulu, benarkah semua yang dirasa itu nyata? Welcome to the very new exciting journey. Sure there is still so much more to learn and see. The never ending story of confusion, rebuild your new model of rule and morality, reconstruct your own view of faith and personality, it is  going to be a wild ride, but hey, you made it out alive. And at this very moment, your face alight, look at the bright side, and everything's going to be alright.

Untuk Dwi Angraeni, happy motherhood. :)