Kembali ke Alabama 1930. Akhir-akhir ini saya merasa sedang bertransformasi menjadi Scout Finch. Menakar, mengamati, menganalisis, mencoba mengerti dari berbagai sudut persepsi. Media massa gempar, para jurnalis banjir bahan tulisan, seorang anak paruh baya membunuh dalam sebuah tawuran. Di jejaring sosial berlambang burung dara, batin saya termanggu. Sebuah percakapan terlintas di linimasa saya siang itu. "Dalam tawuran, there's no turning back, bro. Kalo sudah di depan, sikat semua!" Meski dia tak sedang orasi dengan pengeras suara, saya bisa merasakan aksaranya begitu membabi-buta. Lagaknya sudah seperti perdana menteri Netanyahu dengan jargon favoritnya; dibunuh atau membunuh!
Istilah tawuran tak asing bagi saya. Peristiwa gerombolan putih abu yang berlari kalang kabut kesana kesini dan berkelahi sudah sering saya lihat di televisi. Tak ikut berkelahi artinya banci, dan banci -- lelaki yang ingin menjadi perempuan -- dianggap sebagai salah satu bentuk penghinaan kasta tertinggi terhadap harga diri lelaki. Tololnya, kategori banci justru dilabeli oleh manusia yang senang berkelahi secara kolektif, rame-rame, bareng-bareng. Haha. Orang yang aneh. Yang lebih mengherankan lagi (buat saya) adalah prosesi pembunuhannya. Gila, bukan sekedar tonjok-tonjokan, tapi si inisial D juga cukup bernyali untuk menghabisi nyawa seseorang.
Membunuh orang bukan perkara gampang. Ada sepasang tangan, mata, kaki, logika dan intuisi yang akan melawan. Setiap manusia punya gelombang naluri bertahan hidup yang tak mudah ditaklukan. Berlagak tuhan dan mengakhiri hidup seseorang butuh banyak keberanian. Anak ini bahkan usianya belum lagi menginjak 20. Seorang tentara konon harus dicuci otak supaya bisa berlaku sadis ketika menghadapi musuh. Lalu, dimana bocah ini bisa mengupgrade nyalinya jadi sedemikian besar sampai berani membunuh?
Miriam Budiarjo sekali waktu pernah menulis; dalam kelompok, seseorang akan cenderung kehilangan identitasnya. Dalam kelompok pula, opini akan dibentuk lalu munculah para pemain monopoli opini yang mau tak mau harus diikuti. Berani melanggar aturan? Hukumannya bully! Sudahlah, akui saja, mental bhinneka kita nol besar. Sama rata, sama rasa, sama kepala, atau diasingkan sebagai hadiahnya. Dalam kelompok, seorang individu akan mengalami masalah dalam mekanisme pengendalian moral yang berujung pada kerusakan tatanan sosial yang sifatnya ekstrem dan tidak rasional.
Sadis, singkatnya. Mungkin perkara bunuh-membunuh hanya salah satu sub variabel dari ratusan sub-variabel sadis yang lain. Membeli tas seharga sepuluh juta, menurut saya juga sadis. Konspirasi Bakrie, juragan siaran televisi yang terus-terusan menyuguhi pemirsa dengan sinetron tak layak tayang untuk pembodohan mental dalam alam bawah sadar juga sadis. Hmm, entahlah. Atau bully secara verbal di jejaring sosial? Yang jelas, orang-orang yang mengaku terheran-heran oleh perbuatan si inisial D di jejaring sosial adalah orang-orang yang sama pula yang menggugat pasukan alay, yang mengaku atheis lalu menertawakan mereka yang sembahyang, yang mengaku liberal lalu mengejek yang perawan. Seriously, have we lost our sensitivity?
Saya kira kita semua sudah sepakat hidup dengan falsafah pancasila, nyatanya yang kita lakukan hanya mempraktekan hukum rimba dan membangun kerajaan binatang melata. Saya, satu dari sedikit yang masih saja percaya. Alangkah bodohnya.
Does this look familliar? Source: Setneg |
"Shoot all the blue jays you want, if you can hit ‘em, but remember it is a sin to kill a mockingbird."
...