Wednesday, December 30, 2015

dan lalu, tahun baru

Gema adzan subuh yang memecah kelam, lamat-lamat tapi gegap, perlahan merayap cahaya yang begitu terang. Sudah empat bulan ga pelesir. Pelesir dalam artian pergi ke satu kota yang asing untuk bangun siang, haha hihi, mandi, lalu pergi semau kaki.  Pingin pergi ke tempat yang tak terjangkau tukang tiki atau signal simpati. Pingin pergi ke tempat betis meraung terasa nyeri, tapi hati kok happy? Ke tempat yang jauh, berbukit-bukit dan tak seramai di pasar pagi. Cukup makan indomie, tapi bisa bilang 'Haloo.. this is my happy tummy'. Menapak gang-gang sempit sebagai perjalanan pembuka di sepanjang kebun warga. Menatap spanduk besar setengah koyak bergambar pria berkopiah dengan gombalan terindah. Menghirup udara dingin sampai hidung perih, lalu terselamatkan oleh secangkir kopi dengan air mendidih. 

Coba bilang, mana bisa mataku terpejam menatap pemandangan yang sedemikian jarang?

Tuesday, October 20, 2015

nonton bola untuk pemula

Hari minggu kemarin saya nonton grand final Piala Presiden di Gelora Bung Karno (GBK). Jujurnya, saya bukan penggemar berat Persib, I don’t even like bobotoh, tapi cuma karena ada tawaran tiket, saya dengan murahnya langsung bilang, “Oke deh, ikut” hahaha.. Saya tidak bawa kamera karena saya takut ribet dan kemudian saya agak menyesal huhu.. I should've brought my wide lense. Ahh... sayang sekali.  

Ini pengalaman pertama saya nonton Persib langsung di GBK, pas final pula. Saya bukan orang yang suka keramaian, nonton konser aja males, apalagi nonton final bola yang supporternya sudah bisa dipastikan mencapai puluhan ribu. Dan yang lebih seru lagi (eh, kok seru ya?) supporter Persib dan supporter Persija ini punya unfinished business kalo bahasa kerennya. Mirip mantan gengsian yang masih pengen balikan;  kalo ketemu berantem muluk, kalo ga ketemu? Dicariin muluk. Padahal pertandingan final ini bukan antara Persib vs Persija, tapi Persib vs Sriwijaya FC. Aneh kan? “Kalau ga tau soal rifalitas kita, ga usah banyak omong.” Komentar salah seorang anggota Jakmania yang saya baca di media sosial. Rifalitas, pake f. Jadi, ya sudahlah, tidak usah didebat. :))

Friday, September 25, 2015

everest the movie (2015): leave nothing but footprint?

Gambar dari sini 
Sebagai seorang penikmat gunung tropis sejati, saya tidak pernah tertarik dengan gunung bersalju. Tapi menonton film Everest yang dibintangi oleh Jason Clarke menurut saya adalah suatu keharusan bagi seorang penikmat atau pendaki gunung. Efenerr menulis reviewnya dengan sangat apik disini.  
Film ini memberikan banyak sekali insight tentang naik gunung, teknik pendakian, teknik survival, teknik persiapan sampai manajemen pendakian. Seharusnya penonton tidak hanya terkagum-kagum menyimak bagaimana gagahnya Everest dan berbungah hati ingin mendaki, simak juga bagaimana detail dan rapinya pembagian yang dilakukan dalam pendakian. Ya, karena pendakian itu tak semata soal puncak. -www.effener.com

Thursday, September 24, 2015

harus kemana di samarinda?


Not even once in my life, I've ever consider myself as a photographer. No, I am not a photographer, I am just a girl with Nikon. Buat saya, selain emang skill motret yang standar abis, fotografi itu cuma hobi. Sama seperti naik gunung. Dulu kalau tidak salah, ada teman yang pernah bilang begini, "Luh, kenapa sih lo ga buka usaha semacam buka trip kemana-mana gitu, kan lo seneng travelling tuh? Kan enak, sambil liburan sambil kerja." Errr.. no. Kenapa saya bilang no? Karena ketika pekerjaan masuk ke ranah setingan "holiday mode on" buat saya itu ganggu banget. Saya jadi ga bisa maximize my adventurous and spontaneous mood, karena saya punya tanggung jawab yang berhubungan dengan komitmen orang yang membayar saya. 

Begitu pun fotografi. Saya sudah pernah trial and error (banyakan errornya sih) motret untuk pra wedding teman dan saudara saya. Ketiga-tiganya tidak dibayar dan saya memang maunya begitu. Dengan demikian, kalau misalnya hasil fotonya jelek, eh, ya jangan komplain dong yah, kan situ ga bayar saya. Hehe. Dengan demikian pula, saya merasa lebih bebas untuk eksplor tanpa terlalu terbebani oleh request anu ini itu dari (so called) misalnya client. 

But then again.. there's always a first time for everything. 


Wednesday, September 2, 2015

a best friend wedding

Salah satu cerita romantis yang melekat dalam ingatan saya adalah kisah milik Nabi Muhammad dan Siti Aisyah. Konon pada suatu hari, Muhammad bin Abdullah pulang larut malam. Lalu karena takut membangunkan Aisyah, maka dia tidak mengetuk pintu dan akhirnya tidur di depan pintu di teras rumah. Ketika pagi tiba, siapa sangka bahwa ternyata Aisyah pun tertidur tepat di balik pintu karena takut dia tidak mendengar ketika Muhammad pulang dan mengetuk pintu. Jadi sepanjang malam itu, sebenarnya mereka berdua tidur bersebelahan, cuma terhalang pintu aja. Romantis banget, ga sih? 


Sunday, August 23, 2015

catatan pendakian gunung batur dan gunung agung


"Bandara Ngurah Rai ditutup," kira-kira begitulah pesan singkat yang saya terima di email siang itu, Kamis, H minus satu sebelum saya hendak berangkat ke Bali. Gunung Raung sedang cranky -- dan crankynya gunung Raung, udah ngalah-ngalahin crankynya perempuan PMS plus sakit gigi plus migrain plus kerjaan di kantornya lagi banyak plus ga punya duit. Sudah terbayang?  Ga usah dibayangin sih, ngeri lah. Kamis malam saya masih gelisah antara berangkat atau tidak. Selain faktor keamanan, ada pula ketakutan jika saya tidak bisa kembali ke Jakarta hari Minggu malam karena persoalan ditutupnya bandara. Tapi Pak... tiket sudah terlanjur dipesan, apa boleh buat, carier saya pun sudah terpacking dengan sempurna siap diajak melanglang buana. Saya tekan nomor telepon taksi yang biasa mengantar ke bandara. "Pak, saya minta dijemput besok jam 4 subuh di anu anu anu.." Baiklah, Bali, here I come! 


Friday, August 21, 2015

kun

Soe Hok Gie pernah berceloteh tentang manusia. Mungkin wacana ini didapatkannya setelah pulang dari pendakian yang terlalu melelahkan -- lalu alih-alih beristirahat -- dia malah membaca jurnal seorang filsuf Yunani. Intinya, dia mengatakan, nasib tersial adalah berumur panjang, yang kedua, dilahirkan tapi mati muda, dan mereka yang paling beruntung -- adalah mereka yang tidak pernah dilahirkan. 

Yaa.. mungkin dia lelah. 

Maaf, koreksi, dia pasti lelah.

Sebenarnya aku juga belum paham apakah kita beruntung atau tidak karena terlahir sebagai manusia. Makhluk yang punya kehendak dan keinginan yang begitu membabi-buta. Tapi konon jauh sebelum kita diberikan 'ketidakberuntungan' ini, nyatanya kita pula yang memilih untuk lahir di dunia ini. Dalam surat cintanya kepada Muhammad, Tuhan pernah bilang, bahkan gunung-gunung pun tak mau memikul sedemikian besar beban untuk menjadi manusia.  "Indeed, he was unjust and ignorant," tuturnya. 

Hari ini aku mengunjungi seorang teman yang baru saja melahirkan anak yang ditunggu hampir bertahun-tahun lamanya. Keadaanya tidak terlalu baik, beratnya 2.2 kilogram, kurang berisi untuk seorang bayi yang baru saja lahir. Temanku kepayahan. Kondisi kesehatannya pun tak terlalu baik. Tapi lalu aku melihat ibunya, melihat suaminya, mereka seperti membentuk satu tim yang solid dan menggalang kekuatan. Kau tahu? Kupikir, itu adalah salah satu kelebihan menjadi manusia. Kita tidak pernah dibiarkan benar-benar sendirian. Kita berinteraksi lalu membentuk koneksi dan tiba-tiba saja kita bisa menjadi begitu berenergi.

Mari kuceritakan tentang kisah manusia terlahir di dunia. Ini adalah cerita yang turun temurun disampaikan oleh manusia-manusia sebelumnya. Kabarnya cerita ini sudah teruji di berbagai zaman dan realita. Konon, jauh sebelum kamu bersemayam di dalam perut ibumu yang nyaman itu, kamu sudah ditanya, "Apakah kamu yakin kamu mau menjadi manusia? Apa tidak mau jadi malaikat saja?" mungkin kira-kira begitu. Lalu setiap manusia yang akhirnya terlahir ke dunia akan menjawab dengan bodohnya, "Tentu aku mau menjadi manusia." Dan lalu, "Kun", dia bilang begitu dan lalu lahirlah kau ke dunia.

Aku tidak ingat pernah ditanya hal sedemikian rupa. Mungkin jika aku ingat, aku akan dengan segera menyesali jawabanku waktu itu. Bukankah nampaknya lebih enak jadi malaikat daripada menjadi manusia? Tapi kau tahu? Setelah kupikir-pikir lagi, Itulah satu lagi kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya. Kita diberikan kesempatan untuk menyesal. Aku, kamu, kita bisa berpikir ulang untuk memperbaiki kesalahan. Kita diperbolehkan untuk menata strategi kembali, jatuh lalu berdiri lagi, tidur lalu bangun lagi, getir lalu bahagia lagi. Maka itu, sepertinya aku kurang setuju dengan ucapan filsuf Yunani yang dikutik Soe Hok Gie.

Seringkali kesadaranmu ingin menyerah saja, seringkali kau ingin halusinasi mengalahkan realita, tapi tunggu dulu, benarkah semua yang dirasa itu nyata? Welcome to the very new exciting journey. Sure there is still so much more to learn and see. The never ending story of confusion, rebuild your new model of rule and morality, reconstruct your own view of faith and personality, it is  going to be a wild ride, but hey, you made it out alive. And at this very moment, your face alight, look at the bright side, and everything's going to be alright.

Untuk Dwi Angraeni, happy motherhood. :)

Monday, August 10, 2015

hal-hal tentang gunung yang perlu kamu tahu

Setiap perjalanan menuju kantor, saya selalu berpikir ada dua hal yang harus dihindari. Pertama, Kopaja ugal-ugalan yang ga sadar body. Yang kedua, ibu-ibu yang pakai motor matic. Kenapa? karena ibu-ibu pakai motor matic itu biasanya cuma tahu cara pakai motor aja, tapi kayaknya dia sama sekali tidak paham kapan kita seharusnya  bunyikan klakson, kalau mau belok kiri kapan kita harus nyalakan lampu sein, dsb. Oleh karena itu saya selalu kesal sama orang yang beranggapan, "Ah matic, gampang bawanya." Karena bukan itu yang seharusnya dipelajari pertama, tapi bagaimana cara berkendara. The rules, the do's and the don'ts, how you get along with other, etc.

Nah, biasanya saya sering ditanya sama teman-teman yang belum pernah naik gunung atau akan naik gunung, tentang apa dan bagaimana persiapan naik gunung. Lalu saya mikir, kalau teknis kayanya sudah banyak sekali artikel yang membahas, di bawah ini adalah hal-hal non teknis, hal-hal yang saya tahu, saya alami, kalau ada yang salah atau ada yang kurang, semoga bisa dimaklumi. Selamat naik gunung! :D 


Thursday, July 30, 2015

selfie dan memento mori

It is such a good day.. But you're too busy. Collecting memories, on your smartphone. 

Dulu sekali, lupa tepatnya, saya pernah baca quote dari Robert Frank, isinya kira-kira begini, "There are too many images, too many camera now. It gets sillier and sillier. As if all action is meaningful. Nothing is really all that special. It's just life. If all moments are recorded, then nothing is beautiful." 

Kasarnya sih, Kakek Frank mungkin mau bilang, "Gila lu semua, selfie wefie muluk, ga bosen apa liat muka lu sendiri?" uhm. Mungkin bukan begitu juga maksudnya. Intinya adalah apa mungkin kita semua terlalu terobsesi dengan media perekam? Kita takut sekali kehilangan moment, kita takut tidak bisa mengingat kembali hal-hal yang pernah kita lalui, kita takut tidak bisa melihat lagi hal-hal yang kita lihat saat ini? Tapi menyimak pernyataan Kakek Frank, saya merasakan sendiri apa yang dia bilang. 

Dulu sekali kamera SLR pertama saya adalah Nikon FM10. Lagi giat-giatnya belajar fotografi, belajar atur diafragma, masih ga pede motret tanpa light meter, semua orang saya foto, disuruh pose, sampai gigi mereka kering, giliran dicetak,  foto yang gagal hampir satu rol, DANG! Kemudian datanglah serangan digital. Seperti layaknya ABG yang hijrah dari naik sepeda ke naik motor, rasanya girang bukan main, inginnya kebut-kebutan dan pergi ke tempat yang jauh. Well, me too. Ketika pertama kali punya kamera  SLR digital, rasanya ingin mengeksplore berbagai macam object. Hampir tiap weekend saya berangkat hunting foto; portrait, landscape, dan tentu saja... MUKA SAYA SENDIRI, man.. foto muka sendiri itu kok rasanya senang betul, ya?  

Tapi kemudian waktu berlalu, sekarang saya punya Canon G12, Nikon D90 dan action cam Go Pro. Oh ya plus ditambah kamera smartphone yang lumayan mumpuni untuk selfie dengan perubahan hasil foto yang super instan (baca: kulit langsung mulus kaya artis korea).  Harusnya saya makin semangat dong ya, foto-foto? Eh, engga tuh. Malah makin malas. -___-  

Sekarang ini saya malah bawa kamera cuma ketika sedang travelling saja. Pun yang saya bawa hanya G12 atau GoPro. Ketika travelling pun, kadang saya malas keluarin kamera, cuma karena kebutuhan posting di Instagram atau blog post aja buat pamer sama orang-orang teman-teman saya yang heboh, "foto dong Luh, foto dong!" Padahal dulu saya termasuk orang yang kemana-mana selalu ada kamera di tas saya, its like my important gun, seriously, can't leave home without it. 

Omong-omong soal betapa adiktifnya manusia saat ini pada kamera, saya kok jadi inget post mortem photography. Ada satu masa dimana foto adalah sebuah barang yang sangat mewah. Di abad 19 sampai ke awal abad 20, the morbid era, sangking mewahnya fotografi, banyak orang hanya menggunakan jasa fotografer untuk hal-hal yang betul-betul penting seperti kejadian yang hanya terjadi sekali dalam hidup, misalnya... kematian. Yaa atau mungkin semacam memento mori, ya? Jadi, karena pada saat itu tingkat kematian sangat tinggi, banyak orang memotret anggota keluarga mereka yang meninggal tapi dalam pose seakan-akan orang itu masih hidup. Mereka mendandani jenazah dan memfoto jenazah dengan berbagai properti yang mengesankan orang itu sedang beraktifitas layaknya orang hidup. 

The only daughter that got sick and died. Ga kaya jenazah ya yang tengah? What do yo think?
Plus properti mainan kesayangan waktu si bocah masih hidup 
Mother and Daughter 
Family Portrait 
Yang dibelakang warna hitam itu apa, ya? Makin ngeri ga sih liatnya? -___-
Yang sebelah kiri udah pasti jenazah, yang kanan agak meragukan. Tapi sepengamatan saya sih pose jenazah di post mortem photo banyak yang tangannya tertekuk semacam tangan anak yang kanan, atau berpose seperti sedang memegang sesuatu. 
Nah kira-kira kayak gini pose tangannya. (Note: yang tengah itu jenazah dan matanya sebenarnya tertutup tapi lalu digambar pupil mata agar terlihat 'hidup')  

The newlywed
The broken heart fathers. (kiri: anaknya meninggal karena sakit keras. Kanan: anaknya down syndrome)
Oh and you do realize they also standing and pose like a living creature right? 

here's the secret! 

Photo source: maafkan saya lupa karena koleksi foto-foto ini sudah tersimpan lama di laptop saya. Haha, aneh ya simpan-simpan foto kaya gini? Eiymm. I do know its creepy, but somehow i feel that these photos are so powerful. Hehe.. I just think its really historical, the mourning through real photography with a total melancholy objects. You could sense their grieve just by looking at it. Tapi kemudian saya mikir... ngapain ya upload foto-foto creepy ini di sini? Dipikir-pikir kok jadi ngeri juga tiap buka blog ada foto ini? Tapi ya udah lah ya, capek juga udah nulis panjang lebar terus dihapus, ini kan ceritanya sharing pengetahuan kalian bagi yang belum tahu. :-P Nah, terus kalian ngeh ga kalau lihat foto-foto dari tahun 1900an itu rata-rata mereka jarang tersenyum? Cenderung dingin malah. Nah, coba deh dipikir-pikir lagi, yang kalian liatin itu foto jenazah atau orang hidup? Hihi.. 

***

Tuesday, July 28, 2015

bulan ke sembilan

Mereka yang lemah biasanya dibangun dari nostalgia, beberapa dibangun dari pemikiran, dan sisanya - yang nyaris saja langka - adalah mereka yang dibangun dengan iman. Hari ini Idul Fitri. 

Ini hari yang katanya suci, tapi kita seperti kuda liar yang baru saja dilepaskan dari penjara besi. Semakin banyak saja pertanyaan yang tidak terjawab, semakin banyak pemahaman yang melenyap. Seberapa bagus dan mahal mukenamu, percayalah kau akan terlihat biasa saja di lautan manusia yang bertumpuk-tumpuk itu. Dari sebuah pesawat tanpa awak yang diterbangkan seorang juru kamera di jalanan, kau terlihat seperti kerikil. Baju kita bersih, tapi mengapa sorotmu begitu dekil?   

Mimik muka yang itu itu saja, pikiran yang begitu-begitu saja, tanda tanya yang belum kutemukan jawabnya, sialnya kita semakin menua. Sungguh tidak ada yang istimewa, tapi kenapa? Entahlah, mungkin imanku makin tipis saja.

Untuk pengingat arah pulang di setiap bulan sembilan. Ar-ramad, merci beaucoup.  

***

Sunday, July 5, 2015

puasa dan hal-hal aneh tentangnya

Pacarku pernah bilang, “Semua makanan itu semua rasanya sama saja -- ketika sampai di perut. Yang membedakan cuma ketika si makanan berada di lidah dan itu -- tokh cuma sebentar saja.”

Itu logikanya. Tapi ketika kamu bekerja di sebuah perusahaan yang mayoritasnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ditambah efek berpuasa yang mendorong tingkat sensititivitas hidungmu naik jadi dua kali lebih tajam, bahkan kadang empat kali lebih tajam, rasanya aku ingin melakukan apa saja demi mencicipi kwetiaw goreng dengan daging ayam yang yang sedang dilahap dengan nikmat oleh teman kerjaku di siang hari yang terik di Jakarta.

Maka ini menjadi suatu hal yang tidak aneh, kau tahu apa yang biasanya dilakukan kaum yang berpuasa pada bulan Ramadhan? Mereka menyiapkan sebuah pembalasan dendam yang kejam. Tepat pukul empat sore hingga menjelang matahari tenggelam, mereka berbondong-bondong membeli makanan yang sangat banyak; takjil, minuman dengan kadar gula yang sangat tinggi, buah-buahan segar, atau gorengan kering yang gurih hasil racikan minyak jelantah yang lebih hitam dari pantat panci di dapur Ibu saya. “Untuk buka puasa, nih,” tutur mereka dengan wajah sumringah. Mungkin mereka girang karena sudah sore, sebentar lagi adzan, dan mereka merasa menang.

Aku juga begitu. Pukul setengah lima sore selepasku bekerja, aku dengan bernafsu setengah berlari ke gedung di seberang kantorku. Aku mau membeli jus segar dengan harga 3 kali lipat dari jus yang biasa dijual di depan minimarket kecil dekat tempatku tinggal. Pilihanku selalu jatuh di jus strawberry. Meski porsinya sebenarnya sangat banyak dan aku – tidak pernah sanggup menghabiskan jus ini sendirian, tapi siapa peduli? Yang penting aku harus membalaskan dendam kesumat dari lidahku yang harus menelan ludah siang tadi karena kelakuan teman kantorku yang tak berpuasa.

Oh ya, asal kau tahu sebelumnya tadi aku pun melewati toko pastry yang cukup terkenal. Ketika aku lewat, baunya menguar di udara, tentu aku pun tidak melewatkan kesempatan itu. Aku membeli dua potong croissant keju dan coklat yang nampak sangat nikmat. Oh ya, sebelumnya aku juga menyempatkan diri untuk mampir membeli singkong goreng yang dijual di depan kantorku. Membayangkan singkong ini melewati tenggorokanku saja rasanya perutku sudah berteriak minta makan dengan jahanam.

Pukul lima lewat lima puluh. Para muazzin mulai bersiap check sound untuk mengumandangkan suara yang ditunggu puluhan ribu manusia yang telah duduk dengan manis menanti di dekat meja makan mereka. Aku juga begitu. Air putih, teh manis, oh ya tadi aku juga beli es buah, lalu jus strawberry kesukaanku itu, dua potong pastry, dan singkong goreng. Main course? Belum aku beli, tapi aku sudah terpikir sate kambing Bang Burhan yang dagingnya empuk dengan bumbu kecap bertabur cabe rawit. Ahh.. itu pasti enak. 

Adzan tiba. Hap! Hampir setengah gelas air putih sudah kuhabiskan untuk mengucapkan salam pada lambungku yang kosong nyaris 12 jam. Disusul dua buah singkong goreng yang kukunyah dengan beringas. Enak. Lalu kusikat es buah dengan potongan melon dan timun suri. Tapi hanya dalam hitungan menit, belum juga habis satu mangkuk es buah, rasa nikmat itu tahu-tahu sirna. 

Lidahku mulai terasa hambar dan perutku mulai terasa sangat penuh. Sungguh, aku merasa lidahku sendiri mengkhianatiku. Kemana pula sensasi kesegaran ketika es buah itu menyentuh kerongkonganku? Tidak ada. Sungguh brengsek. Rasa lapar, haus, nafsu yang begitu menggelora di satu jam yang lalu hilang sudah cuma karena air putih dan dua buah singkong goreng. Jus strawberry yang kubeli dengan setengah berlari itu bahkan belum sempat kusentuh. Betul-betul sialan tapi kupikir-pikir juga lucu. Kadang kita begitu menginginkan ini dan itu dan ini dan itu, nyatanya ketika kita berhasil mendapatkanya, rasanya tak enak-enak amat. Ketika terlalu banyak, rasa nikmat itu menguap. 

Hampir pukul enam lebih tiga puluh malam. Orang-orang bersiap untuk menunaikan kewajiban shalat maghrib, sebagian lagi langsung menuju masjid untuk melanjutkan Isya dan tarawih dengan wajah yang sumringah. Mungkin mereka merasa menang karena telah berhasil berpuasa hingga maghrib berkumandang. Aku juga. Bedanya, mengapa aku merasa kalah? Pukul lima sore tadi, selepasku bekerja dan dengan sangat bernafsu setengah berlari ke gedung sebelah, aku baru tersadar -- perutku memang tetap kosong, tapi puasaku selesai sudah.

So, if Ramadhan has taught us that our body doesn’t need that much food to survive, then why are we always celebrating Ied with festive - super excessive - food galore? 

Why? 

***

Monday, June 1, 2015

tentang si mpok yang tak sempat kutanya siapa namanya

"Laughing at yourself is a good thing to do. You may be the fool, but you're the fool in charge."  C. Reiner 

Minggu siang, aku terbangun dengan perut kelaparan. Aku mengintip ke dalam lemari tempat menyimpan logistik. Tidak ada satupun yang siap saji. Mau tak mau aku harus keluar, membeli makanan. Tanpa mandi dan berbaju piyama yang lusuh, aku melangkahkan kaki keluar dengan mata menyipit diterpa matahari Jakarta yang sengit. Jakarta Selatan, tempatku tinggal selama hampir dua tahun ini sepi sekali di hari minggu. Warung langganan yang menjual ayam bakar kesukaanku itu tutup. Si pemilik juga mungkin sedang ingin berlibur. Kulirik warung yang menjual kwetiaw goreng gurih yang biasa kubeli untuk makan malam. Tidak buka juga. 

Aku berjalan kaki hingga langkahku terhenti di sebuah warung Indomie. Minggu adalah hari MSG, mau tak mau. Sungguh aku malas sekali mencari tempat makan yang buka dan bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Aku lalu masuk dengan pikiran yang bimbang harus memutuskan; antara indomie goreng atau indomie rebus lengkap dengan sawi segar dan telur setengah matang. Warungnya sepi, kebetulan saat itu pengunjungnya hanya aku. Penjualnya seorang ibu-ibu, kutaksir umurnya empat puluh sekian, dia menyapaku dengan ramah. Aku duduk dan memesan dengan mantap, "Mie rebus pakai telor, Mpok, setengah matang."

Dia dengan sigap menyiapkan makanan yang kupesan. Namun kuperhatikan, sesekali matanya menatap ke luar, menyelidik, seperti sedang mengamata-matai sesuatu, lalu dia seperti bergumam sesuatu hal yang tak kutangkap jelas maksudnya. "Kenapa, Mpok?" tanyaku dengan kadar kekepoan yang naik 50 %, pandanganku mengikuti arah mata si Ibu. 

"Noh.. anak saya, tapi dari istri bapak yang kedua," agak bisik-bisik beliau bercerita padaku. "Kayaknya mu minta uang. Kemaren minta, sekarang minta. Minta uang terosss," tambahnya. Masih dengan volume bisik-bisik. 

"Dari Istri bapak yang kedua? Emangnya, Mpok yang pertama? Apa ketiga?" selidikku dengan alis yang sedikit naik. 

"Enak aja, saya nihh yang pertama, taun lalu bapak kawin lagi sama janda, anaknya dua, udah gede dua-duanya, noh yang satu yang itu noh, yang minta duit mulu. Emaknya kemana tau dahh," dia menuturkan sembari memotong sawi, logatnya antara campuran Tegal dan Betawi.

"Kok dikasih kawin lagi, Mpok? Emang dari Mpok ga dapet anak?" tanyaku lagi. 

"Wehhhh.. dari saya anak udah empat, Mbak, itu juga ga keurus, katanya udah cinta sama si janda. Daripada zina. Kalau saya ga mau, nanti saya dicerai, ya gimana yaa, abisnya saya udah gendut ga keruan gini hahahaa, kalau si janda itu beuhh....hahahaa," dia menjawab sambil membentuk bayangan postur tubuh seorang perempuan seksi dengan kedua tangannya. 

Tertawa. 
Dia tertawa. 

Teh tawar yang kupesan ini tiba-tiba terasa sangat pahit di kerongkonganku. Tapi cerita Ibu ini lebih pahit. Dia mengenakan daster agak kebesaran yang lima kali lebih kusam daripada piyamaku. Rambutnya berantakan, diikat buntut kuda dengan seenaknya. Dia memang agak kelebihan berat badan, tapi rasanya tak gendut-gendut amat. Kulitnya hitam dan penuh gurat-gurat, entah kelelahan atau karena tidak pernah memakai pelembab. Aku terus terang tidak bisa menyebutnya cantik, tapi dia juga tidak jelek-jelek amat untuk ukuran seorang ibu beranak empat. Sesaat matanya berkaca ketika membicarakan suaminya, lalu setengah detik kemudian tertawa ketika membicarakan berat badannya. Ibu ini aneh. 

"Terus sekarang bapak tinggal dimana?" tanyaku lagi. 

"Sekarang lagi sering di si janda. Paling seminggu dua kali sama saya. Ahh itu juga udah seneng banget hihihihi..." dia tertawa seraya tersipu agak malu-malu. 

Tawanya lepas. Sungguh lepas. 

"Tapi bapak masih ngasih nafkah, gak?" naluri kewartawananku bergemuruh. 

"Ahh boro-boro, mbak, selama ini juga yang nyari duit saya. Kemaren bantu angkut-angkut brangkal di komplek, tapi sekarang udah engga. Kalo si janda jualan juga di pasar." 

Lalu wajahnya sedih lagi. Menunduk. 

"Trus kok Mpok masih mau aja sama Bapak? Emang ganteng apa?" 

"Hihihihi..ganteeeng laaah," lagi-lagi dia tersipu malu. "Lagian saya kan udah tua, sedih kalau dicerai bapak, hiiii.. ga mau saya Mbak, amit-amit, lagian saya cintanya sama bapak hahahaa.." lanjutnya, dia tertawa lagi. 

"Emang yang mana sih si Bapak? Ada di dalem?" aku mengangkat pantatku sedikit dari kursi, melongok ke dalam warungnya. Sungguh aku penasaran, seperti apa sosok sang Don Juan. 

"Ituuu noh.. yang lagi nongkrong di depan sambil ngeroko," dia menunjuk lelaki tua di luar warung yang sedang duduk di bangku kayu di pinggir jalan. 

Hampir saja mie rebus itu keluar dari mulutku. Hidungnya pesek, kulitnya hitam nyaris keriput, dan menurutku lagi, dia sama sekali tidak tampan. I repeat. Sama sekali tidak tampan. 

Aku menelan suapan terakhir mie rebusku. Lalu beringsut dari kursi. 

"Mpok..." panggilku. "Mudah-mudahan Bapak juga cinta mati sama Mpok yaa! Nih ambil aja kembaliannya," tuturku sembari mengeluarkan uang dua puluh ribu. 

Lagi-lagi dia tertawa, kali ini cekikikan, sepertinya bahagia betul dia. "Amieeenn, waahhh Mbak, beneran ini? Hihihii... Alhamdulillaaahhh, makasi mbakkk," hampir saja dia teriak sangking senangnya.

Pertama-tama kupikir Ibu ini aneh. Tapi setelah sendok mie terakhir habis kulahap, aku baru sadar dan berubah pikiran. Secara emosional, Ibu ini sangat cerdas. David Cohen dalam bukunya Humor, Irony and Self Detachment pernah menasbihkan; kemampuan manusia untuk menertawakan diri sendiri dapat dipandang sebagai kualitas manusiasi yang sangat baik. Dia memiliki kemampuan untuk memisahkan diri sendiri (self detachment) dan membedakan diri sebagai subjek (yang menertawakan) dan sebagai objek (yang ditertawakan) sekaligus. 

Mungkin karena terlalu sering menggunakan hati, lama-lama hati itu jadi kuat, lama-lama hati jadi terbiasa, lama-lama dia jadi perkasa, lalu dia menganggap semua hanya hal-hal biasa, remeh-temeh, kadang kita tertawa, kadang menelan duka, ya sudah saja, tidak apa-apa. Betapa sederhana. Dia menceritakan kisah hidupnya yang lebih mirip drama tragedi dengan cara komedi. Hebat betul perempuan itu. Aku memandang dengan tajam lelaki yang disebut si "Bapak" di seberang jalan, mengumpat dalam hati dengan berang, lalu berjalan pulang dengan perut kenyang. 

But then again, if you can't laugh at yourself, then what's the point of living, right? 

Right? 

***

Tuesday, May 26, 2015

fear him, whom you hate

Satu waktu, Ummar bin Al-Khattab, si mantan pemabuk yang insyaf pernah bilang, "Ucapan itu ada empat jenis," tuturnya. 

"Pertama, membaca Alquran," lanjut dia. Tapi terus terang saja, baca Alquran sering membuatku mengantuk dan bosan. Aku lebih suka membaca tafsir atau membaca sejarah riwayat dan literatur perjalanan para nabi dan istri, the do's and don'ts, what's right and what's not, the why, the who and how? Apakah aku berdosa? Aku tidak tahu. "Kedua, membaca hadits nabi, ketiga membaca ucapan-ucapan penuh hikmat dari para ulama. Keempat, berbicara hal yang penting dalam soal keduniaan. Selain itu, coba kau ingat kawan - semuanya hanya sampah belaka." Tentu aku tidak mendengarnya bicara secara langsung, tapi kurasa ada penekanan intonasi nada yang mengandung banyak arti saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. 

*Kutipan ini ditulis sambil mendengar ocehan serampangan tentang teman yang melepas jilbabnya, tentang aku yang belum juga mau memakai jilbab, tentang melecehkan iman orang lain, tentang kebiasaan buruk seorang teman, tentang artis yang kawin lalu cerai, lalu kawin lagi, lalu cerai lagi, tentang prilaku dan korelasinya dengan frekuensi shalat -- tentang dunia dan segala keburukannya. 

Aren't you tired, people? Seriously, aren't you? 

...

Thursday, May 21, 2015

anjangsana

All journeys eventually end in the same place, home. - Chris Geiger 

Hampir tengah malam keretaku tiba di stasiun Lempuyangan. Kereta kelas ekonomi dengan kursi tegak yang cukup membuat leherku pegal. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah tiba dengan selamat di Yogyakarta. Agak sempoyongan aku berjalan dengan carier 36 liter di punggungku dan day pack 14 liter yang kugantungkan di lengan. Setengah mengantuk, sepanjang jalan aku tertidur dan baru terbangun di stasiun Wates. 

Perjalanan ini sudah cukup lama kurencanakan, hampir dua minggu lalu. Aku ingin mendaki Merapi, lagi.  Sepanjang perjalananku mendaki gunung, rasa-rasanya hanya ada dua gunung yang -- aku-akan-sangat-mau-sekali -- untuk kembali kesana lagi, yakni; Rinjani dan Merapi. Aku suka puncak Merapi, lalu Pasar Bubrah, ahh.. sudah tak sabar rasanya. 

Sebelum mendaki Merapi, aku menyempatkan diri mengunjungi pantai Parang Endog dan tempat yang saat ini cukup populer di Jogja, namanya Kalibiru. Di jalan menuju Parang Endog, kami mampir ke Gumuk Pasir. Kami tidak berlama-lama disana, panasnya sinar matahari yang menyengat tepat pukul 12 petang di atas gurun pasir membuat kami semua kepanasan. Gumuk ini tersusun dari material pasir hitam gunung Merapi yang hanyut terbawa aliran sungai Oyo dan Opak. 

Tidak jauh dari Gumuk Pasir, dengan mengendarai motor kami tiba di Parang Endok. Pantai ini adalah sisi pantai terujung dari Pantai Parangtritis. Karena letaknya yang di ujung pula, maka pantai ini belum terlalu kotor karena tidak terlalu banyak didatangi oleh turis. Kami beristirahat sejenak, duduk di tebing berbatu sembari menikmati senja yang kekuningan lalu perlahan berubah menjadi ungu dan kemudian memekat. 

Hari Sabtu pukul delapan malam kami tiba di New Selo, perhentian terakhir sebelum mendaki Merapi. Ada yang aneh, banyak sekali pendaki yang turun seperti tidak jadi mendaki. Setelah bertanya sana-sini ternyata ada seorang pendaki yang terjatuh di kawah Merapi sore tadi. Gunung Merapi untuk sementara ditutup karena itu banyak pendaki yang ditolak di basecamp. Dengan sedikit kecewa aku terduduk di New Selo. Beberapa anggota Basarnas nampak hilir mudik. Namun akhirnya pukul 00.30 aku dan beberapa orang temanku tetap memutuskan untuk naik meski setelah hasil lobi-lobi, kami hanya diizinkan naik  sampai pos 2. Tak apalah, daripada percuma. 

Pukul empat pagi kami sudah tiba di pos 2. Dengan mata menahan kantuk karena tidak sempat tidur sejenak, kami akhirnya memutuskan untuk tidur beralaskan tanah di pos 2. Kami memang tidak merencanakan untuk camping sehingga kami tidak membawa tenda ataupun sleeping bag. Sepanjang mataku menatap, bintang berhamburan dengan kerlipnya yang gemilap. Ini dia hotel berbintang yang sebenar-benarnya. Hampir pukul lima pagi aku akhirnya memutuskan untuk menyusup ke Pasar Bubrah. Tepat ketika matahari memunculkan wajahnya aku sudah tiba di sana. 

Bubrah, menawan seperti biasanya. Hamparan batu yang membentuk lembah nan megah dan itu dia.. puncak Garuda yang menyembul di antara awan dengan gagah di atas Bubrah yang membuatku gentar, komposisi mengagumkan dari si maha akbar. Sinar matahari membelah memecah ruah di udara. Ini pagi di Bubrah yang luar biasa indah. Aku tidak mendaki ke Barameru, area puncak Merapi. Selain karena memang dijaga ketat oleh Basarnas, minatku pun hilang sudah setelah mendengar kecelakaan yang menimpa pendaki malang itu. 

Tahun 2013 ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi Merapi, aku memang sampai ke puncak, tapi aku tidak berminat untuk mendaki puncak Garuda untuk sekadar berfoto di atasnya. Merapi memang indah, tapi dia tidak cukup ramah. Aku berbalik memunggungi puncak Merapi. Melambaikan tangan, sudah saatnya turun kembali pulang. Puncak itu masih tegap menjulang disana, seperti menatapku, menantang, tapi.. bukankah kembali pulang adalah tujuan dari semua perjalanan?

...

parang endog parangtritis
puncak merapi barameru bara meru pasar bubrah

Monday, May 4, 2015

there is always something good in every may

Hello May! Bulan kelima di tahun 2015. Tahun lalu di bulan ini saya baru saja turun dari Rinjani dan sedang bersiap untuk mendaki Kerinci, tahun ini frekuensi naik gunung agak sedikit berkurang, musim penghujan yang tak kunjung selesai, ditambah pekerjaan yang membludak membuat saya berpikir ulang untuk melakukan pendakian di gunung-gunung yang cukup jauh. Tapi di akhir April saya memutuskan untuk mengambil jatah cuti dan pulang ke Bandung. Ada banyak tempat di Bandung yang bisa kamu kunjungi. Well.. daripada kamu repot-repot mencari info dan membuat rencana untuk mengunjungi Tebing Keraton -- yang sungguh sangat standar pemandangannya dan ramainya bukan main, saya sarankan kamu untuk mengunjungi:

1.  Gua Pawon atau Guha Pawon.
Sebenarnya sudah lama sekali saya penasaran dengan tempat ini, sebagai urang bandung asli -- meski sanes urang sunda asli :-P -- saya merasa berkewajiban untuk menyambangi tempat ini. Gua Pawon terletak di Bandung Barat, tepatnya di Cipatat berdampingan dengan Gunung Masigit. Dari Pasteur jaraknya hanya sekitar satu jam saja untuk menuju kesana. Ketika sampai disana, saya langsung terpana melihat kegagahan Gunung Masigit. Rasanya pingin langsung mendaki sampai ke atas, sayangnya saat itu niat saya cuma jalan-jalan memakai sandal cantik. Gunung ini juga sering dijadikan spot untuk wall climbing.

Gunung Masigit yang ganteng dan gagah perkasa
Gerbang Gua Pawon. Lets go!
Di sini ada dua spot yang bisa kamu kunjungi, yang pertama adalah Gua Pawon yang kedua Taman Batu atau Stone Garden. Saya sih lebih suka Gua Pawon daripada Stone Garden. Kalau kamu termasuk pejalan yang sering mendaki gunung pasti kamu akan merasa bosan di Stone Garden. Dari Gua Pawon, kamu cukup membayar Rp. 4.000,- untuk masuk ke area Stone Garden. Letaknya tidak jauh dari Gua Pawon, cukup mendaki sekitar 300 m dan kita akan sampai di Stone Garden. 

Di Gua Pawon ini juga konon untuk pertama kalinya ditemukan manusia purba yang kemungkinan besar adalah nenek moyangnya orang Sunda. Ketika kita menginjakan kaki ke dalam langsung tercium sengit bau pesing kelalawar. Banyak orang memakai masker karena baunya yang cukup menganggu, tapi lama-lama sih baunya jadi biasa aja, jadi saya sih cuek saja berlama-lama di dalam tanpa memakai penutup hidung.

PS. yang pakai baju kuning itu galaknya bukan main, marah-marah terus karena dipaksa jadi model, tapi berkat kecantikanku akhirnya dia mau..



2. Warung Salse 
Okay. Bandung tentunya tidak lepas dari wisata kulinernya dan nongkrong-nongkrong di cafe-cafe yang instagramable haha. Atas rekomendasi teman saya, kemarin saya mendatangi satu tempat makan di daerah Dago Giri, tepatnya di Jalan Dago Giri No. 101, kamu bisa masuk melalui komplek PPR ITB Dago. Letaknya tidak jauh dari Cafe Lawang Wangi. Sepintas memang bangunannya unik, full dengan kaca. Harga makanannya juga tidak mahal-mahal amat, berkisar antara 20-35rb dan minumannya sekitar 20-25rb. Rasanya juga lumayan enak, saya pesan spagheti godog -- yang sayangnya lupa difoto karena saya sudah sangat laparrr -- rasanya err ya kaya mie godog tapi memakai bahan pasta spagheti. 



3. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 
Eh.. ini bukan di Bandung ya? Gimana ya udah ketulis.. seperti kita semua sudah tahu, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atau biasa disingkat TNGGP ini letaknya ya dekat Sukabumi, kalau dari Bandung ya bisa naik bus atau atau naik angkutan sejenis ELF, jalur aksesnya ada tiga; via Cibodas, Putri, atau Salabintana. Jalur paling mainstream sih jalur Cibodas, paling sepi Salabintana karena pacetnya luar biasa mengerikan. Pendakian kali ini saya berangkat bersama teman-teman lama saya melalui jalur Cibodas. 

Terhitung sudah 3 kali saya mendaki TNGGP, tapi sejujurnya TNGGP tidak pernah jadi favorit saya. Bersebrangan dengan Soe Hok Gie yang menasbihkan kecintaan dalam puisinya "Kucinta kau Mandalawangi.." saya sih kurang suka dengan gunung ini, selain karena jalur batu yang licin dan terjal, menurut saya gunung ini ehehee.. nggak ada indah-indahnya. Ups. Jika kamu ingin mendaki Kerinci, atau Raung, atau Dempo, mungkin TNGGP bisa jadi latihan untuk simulasi pendakian selain persiapan fisik. Selain itu yang paling minus buat saya adalah betapa kotornya gunung ini. Sampah menumpuk dimana-mana, di berbagai spot, belum ditambah kotoran para manusia yang benar-benar malas untuk menggali lubang sedikit saja atau melipir ke semak-semak. Oh ya di gunung ini pula untuk pertama kalinya saya shalat menyembah kotoran manusia. *baca Al-Fatihah sambil nangis*

Ini kisahku ketika naik gunung... aku yang motonya.. *sedih*

Sunday, April 12, 2015

hujan minggu malam

Jakarta hujan deras. Minggu malam, hampir pukul delapan. Suami temanku bolak-balik mengajakku mengobrol dari luar kamar. Dia sedang resah. Istrinya -- yang juga sahabatku -- sedang dalam perjalanan ke Jakarta dengan pesawat yang membawanya dari Bali. 

"Dia sudah boarding tadi sekitar jam setengah 7," katanya. 
"Lalu belum ada kabar? Dia sudah landing apa belum?" 
"Teleponnya ga aktif.." 

Wajahnya nampak lesu. 

"Gw khawatir nih.." tambahnya lagi. 

Lalu kilat menyambar sangat keras sehingga kami berdua terkejut. 

"Astagfirullah.." dia merapal. Aku juga. 

Kami saling berpandangan. 

"Tenanglah, ujannya paling ujan lokal ini mah. Kemarin gw juga gitu. Di bandara ujan deras, eh.. sampai sini kering kerontang," tuturku mencoba menenangkan. 

Tak berhasil nampaknya. Dia masih bulak-balik dengan wajah resah. Aku kembali menekuni buku yang sedang kubaca. Lalu tak lama terdengar suara air dari keran, sedikit suara gaduh lalu hening. Sekitar 10 menit kemudian aku keluar. Kulirik ruangan sebelah. Suami sahabatku itu sedang duduk bersila diatas sajadah. Wajahnya menunduk. Dia sedang berdoa. Menunggu kabar dari istrinya yang tak jua tiba. Aku tersenyum, sedikit iri, tapi juga senang. 

Someone is praying for you, isn't that the sweetest thing? 
...

Friday, April 10, 2015

epik

Dibalik rumitnya komposisi antarmuka dan pola komunikasi, aku percaya, mata yang mendengar tanpa distraksi adalah jenis interaksi yang dinginkan hampir semua penduduk bumi. 

Hari yang sangat panas di Pelalawan. Anak-anak ini menyambut kedatangan kami dengan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. Sebagian dari mereka dengan berani bercengkerama dengan kami, sebagian lagi hanya menatap dari jauh. Dengan dialek Melayu yang kental, seorang anak menyapaku. "Kakak darimana?" katanya. Matanya menyelidik  ke arah kameraku. Sebagian dari mereka memakai kaus kaki, sebagaian lagi tidak, dengan kaki telanjang mereka berlari-lari kesana-kemari. 

"Gubrakk!" 

Seorang anak terjatuh. Lututnya berdarah. Teman-temannya tertawa, sementara ia meringis. Ketika kameraku mengarah ke arahnya, sontak ia menyunggingkan senyumnya. Aku tertawa. Ketika waktu istirahat tiba, mereka bergerombol, berkumpul, saling menjahili -- sembari jajan mie yang dimakan sambil dibagi-bagi. Sebagian duduk di kursi satu-satu, ada yang mengaji, ada yang sibuk makan kuaci. Anak-anak ini -- kulitnya menghitam diterkam sengat cahaya, rambut mereka kemerahan, dan sudah bisa kutebak kalau dengkul mereka satu pun tak ada yang mulus, seragam mereka lusuh, sebagian koyak, tubuh mereka bau matahari. Tapi kau tahu satu hal yang sangat kusenangi dari tempat ini?

Tak ada satu pun yang main iPad disini. 

...