Wednesday, December 26, 2012

new member of sitompul family

Left to right; Pikiwawaw, Kakanya, Gorilla, Sun Go Kong 



These baby boo delivered to the world by Nunung with the help of sperm from Chiko. 

Welcome aboard kittens! Semoga jadi kucing yang soleh!

...


Saturday, December 15, 2012

tentang 5cm, sebuah review asalan


Sebagai preambule, mohon dicatat, bahwa saya bukan ahli sinematografi atau seseorang yang rajin menonton film dan membuat review. Saya senang menonton film, meski tak senang-senang amat. Pemahaman saya pada dunia sinematik ya sebatas yang umum-umum saja. Dengan demikian review berikut adalah seperti yang saya tulis di atas; asalan. Yoi, bro. Asalan. 

Hari kedua setelah film 5cm ditayangkan di bioskop, saya diajak oleh salah seorang teman untuk menonton film tersebut. Berhubung saya sedang tidak ada kerjaan saya iyakan permintaan dia. Otak saya sempat berpikir, yang manakah film 5cm ini yang konon diambil dari novel best seller? Kalau tidak salah saya pernah baca buku ini. Sampulnya berwarna dasar hitam, fontnya bertulis 5cm dicetak dengan warna merah. Tapi kok saya tidak ingat yang seperti apakah ceritanya, ini film tentang apa? Teman saya mengajak dengan berapi-api. "Novelnya kan bagus banget!" katanya. Saya makin penasaran, kalau tidak salah memang bagus buku ini. Yang ternyata, well..  saya salah. Saya adalah orang dengan sistemasi otak yang bekerja dengan prinsip, "I dont remember names, i remember faces. What's in a name if i can't recall your face?" Ya. Saya sering lupa judul buku, tapi kalau buku itu bagus saya selalu ingat jalan ceritanya. 

Ya. Saya salah. Ternyata saya pernah baca buku itu, tapi tidak selesai. Berarti buku itu membosankan (buat saya). Ya baiklah karena saya sudah kepalang duduk di deretan paling atas bioskop Metropole siang itu, terpaksa saya tonton film itu. Oh ya, ingatkan saya untuk tidak lagi menonton di bioskop Metropole Mega Ria. Terlalu banyak ABG, mereka tertawa terlalu keras untuk hal-hal yang tidak lucu-lucu amat, atau menceritakan jalan cerita kala film sedang berjalan dengan lagak senang dan jumawa. Oke, sist bisa diam tidak? 

Jalan ceritanya? Tentang pertemanan lima anak muda yang merasa bosan dengan kehidupan mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bertemu selama tiga bulan. Lalu ketika pertemuan akbar mereka di bulan ketiga, mereka memutuskan untuk merayakannya dengan mendaki Mahameru. Well.. first of all, seriously they need to get socialize. Ga tahu ya, bosan dengan kehidupan lalu memutuskan tidak bertemu teman-teman selama tiga bulan, ga boleh nelpon, ga boleh sms, kaya orang pacaran terus "Kita vakum dulu aja ya, Yang? Apeu. Sounds kinda weird. Kalau ada teman saya yang bilang, "Kita jangan berhubungan dulu tiga bulan ya?" Mungkin saya akan bilang, "Dude, whatever im not your wife,"

Mungkin film ini juga berkisah tentang keinginan, cita-cita, atau tekad yang kuat. Dengan framing "5cm" letakkan cita-citamu itu 5cm dari dahi. Ya bisa jadi. Tapi menurut saya sih alur menuju kesananya agak aneh. Tentang kalah taruhan kek, atau tersesat terlepas dari rombongan tim SAR kala mencari teman yang tejebak di Mahameru kek, atau cerita sekelompok pemuda yang dianggap tidak bisa bertahan di alam lepas lalu ceritanya mereka ingin membuktikan diri mereka berhasil mendaki sampai ke atas. Anehlah pokoknya. 

Secara visualisasi. Oke. Bolehlah dua jempol. Tapi Mahameru memang indah dari sononya. Ibaratnya, lebih gampang motret Luna Maya daripada motret Omas. Sambil nungging aja Luna Maya tetep cakep, bikin horny malah. Nah, apa yang ditawarkan oleh film ini adalah eyegasm keindahan Mahameru yang tersohor, mulai dari Ranu Kumbolo sampai puncak Mahameru. Tapi.. kalau saya mau lihat keindahan Mahameru, ill go watch Discovery Channel, NGC, atau Jejak Petualang, atau apalah acara sejenis. 

Ketiga, detail yang membuat saya gengges. Emang ada ya orang mendaki Mahameru pakai celana jeans? Orang yang pertama terkena hypothermia kala pendakian adalah Arial. Tokoh yang digambarkan rajin fitness dan badannya paling fit. Sementara si Gendut (saya lupa namanya, pokonya gendut lah orangnya) yang tidak pernah olahraga dan setiap hari sarapan Indomie diperlihatkan baik-baik dan bugar-bugar saja. Lalu saya gatal sekali ingin meminjamkan ikat rambut ke Pevita Pearce dan entah siapa namanya, dua perempuan yang turut dalam pendakian. Rambut mereka panjang sepunggung, terurai, dan selalu tampak rapi di ketinggian 3676 mdpl. Padahal muka mereka (ceritanya) sudah coreng-moreng oleh abu Mahameru. Rasanya kaya nonton sinetron silat di Indosiar.

Intinya, hasil diskusi dengan teman saya, film ini ingin menyampaikan pesan cintailah Indonesia, negerimu sendiri. Lebih baik disini, rumah kita sendiri. Gitu katanye. Lalu? Emang perlu ya orang diajarin untuk mencinta? Ketika kita lahir, separuh dari kepala kita isinya cuma rasa cinta. Anak kecil berumur dua tahun sudah tahu yang mana ibunya. Yang mana yang dia cinta. Dia tahu kemana dia harus berlari kala ketakutan dikejar anjing atau kuntilanak. Dia tahu kemana mencari ibunya saat sedih.Cinta tak perlu diajari. Saya yakin 100% persen, kecintaan kita pada Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mendapat gelar nasionalis. Kasih aja pertandingan bola 2x45 menit Indonesia melawan Malaysia. Separuh dari Indonesia sudah dipastikan akan teriak-teriak macam orang kesetanan. IN-DO-NE-SI-A!!! 

No we don't need that. Kita tahu posisi kita, negeri kita, betapa indahnya Indonesia. Kita sudah lebih dari tahu, lebih dari cinta. Kita boleh terpana dengan MRT di Hong Kong yang cepat dan teratur, kita boleh jadi tercengang melihat bule Australia yang bisa bersenang-senang setiap hari berselancar di kepulauan Mentawai hanya dengan mengandalkan tunjangan pemerintahnya. Atau Jepang dengan kecanggihan teknologi dan ekonominya yang maju pesat. But we always know where our home is. Its in here. Dan kita selalu akan ingin pulang.

What we need is, perhaps belajar menjadi warga negara yang baik. Belajar bernegara, bukan berbangsa. Membuat film yang menyampaikan pesan mengantrilah dengan baik, taatilah peraturan dengan baik, sekadar mengucapkan terima kasih, soal kejujuran, tidak mengambil hak orang lain, sederhana saja sih, tapi saya pikir, itulah yang benar-benar kita butuhkan sekarang. Ilmu pengetahuan, belajar beretika, tata krama, sopan santun. Hal-hal yang katanya ciri khas orang Timur saya pikir cuma mitos. Jatuh cinta dengan Indonesia, bukan cuma soal rasa, tapi hmm mungkin lebih menjaga, menata, bukan cuma soal mendaki gunung Mahameru lalu teriak-teriak di atas sana. Mungkin kita lebih butuh manusia-manusia yang tidak setiap hari makan indomie, yang tidak cepat merasa bosan karena terlalu sering nongkrong di cafe-cafe. Yeah, we definitely need something more than that. Bangsat-bangsat di Senayan juga cinta Indonesia kok. Lalu?

Kalau cuma modal cinta, setiap hari ribuan orang bakalan ribut di KUA.

...

Sunday, December 9, 2012

teman sebangku

kala periksa suara. 





Taken with Canon G12, chicken spaghetti with broccoli, and a glass of nut chococino. 

...


Friday, November 16, 2012

Tuesday, November 13, 2012

hello, uncle ho


Don't go back on your default baby 
i know its hurts 
i can see how hard your trying 
don't let go now 

Wait for the morning 
Wait for the morning dawn 
...


Suara empuk Amy Stroup terpaksa terhenti dari sepasang earphone yang saya kenakan di telinga. Sikutan perlahan seorang kawan disebelah kursi pesawat membangunkan saya. "Kita sudah mau mendarat," katanya singkat seraya mengenakan kacamata hitamnya. Saya menoleh ke kiri. Dari jendela terlihat sawah kehijauan lalu Mekong Delta yang dengan gagahnya melintas tegas di tengah hamparan tanah dan tetumbuhan. Lima detik kemudian terbentang pemandangan gugusan permukiman padat yang berhimpitan. Penanda sebuah peradaban.

Ah, Thank God. Saya benci naik pesawat, pada dasarnya saya memang takut ketinggian. Setiap bepergian kemanapun, dua detik setelah pramugari memeragakan aturan keselamatan penumpang, saya sesegera mungkin menutup mata. Mencoba menghayati obat anti mabuk yang tinggi kadar obat tidurnya. Setelah terlelap kurang lebih lima jam plus waktu transit di Singapura, akhirnya terbuka juga mata saya. Menguap sedikit, lalu meregangkan badan yang sedari tadi tertekuk kaku. Mengencangkan sabuk pengaman, menaikan kembali sandaran dan sekarang.. welcome to Vietnam! 


Perjalanan kali ini bukan perjalanan hura-hura dimana saya bisa menentukan itinerary seenaknya. Saya datang bersama kontingen tim putri DKI Jakarta. Kami berencana mengikuti The 5th Vietnam Hockey Festival. Rombongan kami cukup besar, 10 orang atlet dan 12 orang official. Matahari masih tinggi kala kami menjejakan kaki di Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Min City. Perut saya terasa lapar padahal belum jam makan siang. Maklum, atlet. Uhm. Maka mata saya langsung tertuju pada counter Burger King di pelataran bandara. Oh ya, cukup sulit mencari lapak junk food franchise di Vietnam. Ucapkan selamat tinggal pada Starbucks dan Mc Donalds. Berhubung mereka masih sedikit anti-Amerika, ada Burger King dan KFC saja sudah alhamdullilah. Hehe. 

Seorang pemandu berkebangsaan Vietnam sudah menunggu rombongan kami dengan mobil van besarnya. "Hello, welcome to Vietnam! My name is Huynh bla blu ble crott," sapanya ramah. "Uhm.. say it again?" "Huynh blo bli bla prett" ulangnya. "Hyu, what?" tanya seorang teman saya. "Ok, just call me Steven," jawabnya sambil melepas tawa. Hahaha. Bahasa Vietnam cukup rumit, kebanyakan kosakatanya berasal dari Bahasa China, ditulis dengan menggunakan huruf rumi dan dikategorikan sebagai bagian dari rumpun bahasa Austro Asiatik. 

Destinasi pertama kami adalah Halal Saigon, sebuah restoran halal ala Malaysia yang konon cukup terkenal di Ho Chi Min City. Walaupun begitu, rasanya ternyata biasa-biasa saja. Skala satu sampai sepuluh, Halal Saigon dapat nilai 6. Yah, 6.5 deh. Teh tariknya enak, segar, komposisi susu dan tehnya pas, tidak terlalu manis pula. Tapi makanannya, ya gitu deh. Untuk ukuran orang Indonesia yang gemar mengonsumsi MSG dan vetsin, restoran Asia Selatan sudah dipastikan tidak akan mampu memenuhi demand kegurihan yang tinggi dari lidah seorang Indonesia. 

Setelah urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan ke hotel untuk check in. Hotel kami terletak di Thu Khoa Huan, District 1. Hanya dua menit saja dengan jalan kaki menuju Pasar Ben Than yang terkenal itu. Hoho. Insting hunting barang aneh-aneh saya sudah membara tatkala melihat bangunan Ben Than dari kejauhan, sayangnya kami tidak boleh pergi kemana-mana. Pukul tujuh malam, acara Ice Breaker Welcoming Party dari panitia sudah menunggu. Ya, sudahlah.

morning in Vietnam 
breakfast ala Vietnamese
morning newspaper

Atmosfir komunis sangat terasa disini. Dari atribut palu arit hingga warna dasar merah, ucapan terima kasih pada partai-partai komunis di seluruh dunia yang dicetak besar-besar hingga berbagai quotes by Paman Ho, tokoh revolusi sekaligus mantan perdana menteri Vietnam. HCMC, biasa disingkatnya, terlihat seperti kota Jakarta pada tahun 1970. Meski ibukota Vietnam adalah Hanoi, HCMC jauh lebih maju dari Hanoi dalam aspek perekonomian. Maklum saja, pusat perniagaan memang sengaja diletakan di HCMC. Tidak seperti Jakarta yang rakus (pusat pemerintahan disitu, pusat niaga disitu juga, bah!) HCMC meski padat dan cukup macet, tapi masih cukup lenggang saat malam.

 Warisan kolonial dari Perancis sebagai bangsa yang pernah menjajah mereka juga masih tersisa di gaya kehidupan para Vietnamese. Salah satunya adalah baguette rules! Makan telur, pakai baguette, makan mie juga campur baguette, sampai makan steak pun tak disajikan dengan kentang, tapi dengan baguette. Buset. Cafe-cafe yang banyak bertebaran di District 1 juga mengikuti gaya cafe-cafe di Paris dengan teras yang lebar dan pengunjung dapat menikmati kopi sembari santai duduk di luar memandangi jalanan, meski sejujurnya pemandangannya tak indah-indah amat. Hehe. 

meja yang menggelikan
see? all about baguette
salah satu cafe di sudut HCMC

Saya agak kesulitan mencari makanan yang pas di lidah saya. Be-a-be-i is like everywhere and I can smell it appropriately even from a far. Oleh karena itu, mengonsumsi roti adalah pilihan paling tepat. Tapi lama-kelamaan bosan juga makan roti terus-terusan. KFC , Burger King atau Subway letaknya cukup jauh dari hotel maupun dari lapangan hockey tempat kami bertanding, alhasil pilihan lainnya adalah kentang. Untungnya di dekat lokasi pertandingan ada sebuah restoran kecil yang menjual ayam goreng lumayan enak. Lidah saya memang cukup merepotkan. Setiap bepergian ke luar negeri, masalah makanan selalu jadi persoalan besar, untungnya resto junk food yang notabene rasanya selalu sama cukup menolong saya.

Oh ya, orang Vietnam sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris. Meskipun bisa, dialek mereka cukup memusingkan, hampir mirip seperti orang-orang Canton di Hongkong atau Macau. Mereka sering memenggal setengah suku kata terakhir dengan seenaknya. Misal; ex-pen-sive menjadi ex-pen-si. "Its really expensi," katanya. Oke deh.  Di The 5th Vietnam Hockey Festival kami berhasil melaju ke final untuk kategori Cup Round, sayangnya langkah kami terpaksa terhenti di runner up, dikalahkan Emirates Dubai 0-2 dengan formasi tim yang terdiri dari dua pemain import timnas Jerman. Glek. Ya, wajar saja, lah. (Pembelaan) 




Salah satu yang saya sukai dari Vietnam adalah kopinya. Ciri khas kopi Vietnam adalah mereka biasa menyeduhnya dengan saringan logam yang bernama metal drip. Cara menggunakannya adalah dengan menyaring kopi dan air hangat, lalu dibiarkan menetes pelan-pelan dan keluarlah kopi yang berwarna pekat dengan bau yang nikmat. Minum kopi ini sebenarnya adalah budaya yang dibawa oleh Perancis dan turut menjadi warisan budaya Vietnamese. Saya sempat mencobanya di Indonesia, tapi ternyata butuh kesabaran luar biasa untuk menunggu kopi meluncur perlahan dari saringan. Haha. Sungguh saya ini memang jiwanya mental kopi instan. Oh ya, mereka juga terbiasa mencampur kopi dengan susu kental manis. Bhueekk.  Rasanya aneh, manis nggak jelas.

Ada satu pembicaraan yang menarik antara saya dengan Steven. Saat itu saya bertanya perihal mengapa di Vietnam jarang sekali ada restoran cepat saji Amerika, jawaban Steven cukup membuat saya sedikit tergugu. Katanya, "We are the communist, we made our own food. We don't need their food. I think you should try Vietnam food, it's quite delicious," Glek. Penggunaan istilah "their food" semacam afirmasi penolakan sekaligus pengotakan terhadap eksistensi bangsa Amerikah di tanah mereka. Bisa dimaklumi, sejarah kelam bangsa Vietnam memang diwarnai oleh kekejaman Amerikah yang memilukan.Oh ya, semua media massa di Vietnam juga dikontrol ketat oleh pemerintah. Semacam jaman Soeharto begitu. Hihi.

Totalnya lima hari saya berada di HCMC. Waktu bebasnya tidak terlalu banyak. Keseluruhan jadwal dan acara sudah diatur oleh pihak panitia dan official kami. Waktu bebas yang tersisa tentu kami habiskan untuk membeli oleh-oleh. Saya sempat curi-curi waktu untuk keluyuran di night market, jam setengah dua belas malam baru kembali ke hotel dan dueenk.. ternyata pelatih saya sudah menunggu di trotoar depan hotel. Haha. Tidak sempat mengunjungi Mekong Delta dengan traditional boat sambil berpose dengan caping. Hiks. Tapi saya sempat mengunjungi Katedral Notre Dama, Central Post Office, Ladies Temple, serta War Museum. 

Banyak gedung tua di HCMC dan hampir semuanya begitu terawat. Pemerintah mereka rupanya tidak main-main untuk urusan perawatan gedung tua. Seperti Katedral Notre Dame yang dibangun pada tahun 1863-1880. Sebuah bangunan bergaya neo-romanesque yang diapit dua menara lonceng setinggi 58 meter. Di depan katedral, patung Saint Regina Pacis menjulang tinggi dengan indahnya. Tapi yang paling saya suka adalah War Museum mereka. Tata letak koleksi, pengaturan ruang sangat terorganisir dan rapi. Meski koleksinya sebenarnya tidak banyak-banyak amat, tapi pemerintah Vietnam mengemasnya dengan sangat cermat. :D 



Vietnam adalah salah satu negara dengan penduduk pengonsumsi bir tertinggi di dunia. Disini semua orang minum bir. Tak heran, banyak sekali bule-bule yang senang nongkrong berlama-lama di cafe-cafe atau bar. Selain mendapat predikat sebagai negara produsen bir terbanyak di dunia, harga birnya pun termurah di dunia, lho. Setiap district punya bir masing-masing haha. Canggih, ya? Saya masih berencana untuk kembali ke Vietnam. Ke Hanoi, lalu naik kereta api menuju Halong Bay, lalu juga mengunjungi Muey Ne. Kalau bisa sih sekalian melintas Kamboja, Laos, lalu melipir sedikit ke kaki Himalaya dan leyeh-leyeh di Tibet lalu Nepal. Hahaha.


You see, travelling it's not always about get your thing pack in a bag and you know, a runaway. Its more like how you willing to see other people sharing their joy, laugh, hearing their stories, comprehend their distress or even just to learn something from stranger. Hence, sure I will see you at the other side of the world. Soon!

...

Tuesday, October 30, 2012

doa malam

Barisan huruf arab itu tak terlalu kupahami, maka kutuliskan saja apa yang bisa kumengerti. Untuk dia, yang maha sederhana, bersedia dicinta dengan rayuan tanpa kata, yang selalu mengada meski acap terlupa. Untuk dia yang tak perlu diberi aksara dengan kapital, sosokmu melebihi penanda sebuah huruf besar di awal kata. Untuk dia, yang selalu menyambutku di ujung alinea, penutup di setiap pembuka hingga lembar daftar pustaka.  Di langit yang sama atau langit ke tiga puluh lima, terserahlah, tak ada bedanya. Untuk dia, yang begitu rapi, begitu mudah untuk dipahami, dihayati, untuk dicintai. 

Nalarku mengawang. Gamang. Tersesat di ratusan gugus galaksi persepsi yang penuh imajinasi, aku hilang. Aku lelah, sayang kepalaku gentayangan, mencari malam, mencari tenang, aku ingin perhentian. Bosan mendengar ocehan para bajingan yang dicabik serampangan, telingaku pengang. Delusi sempurna yang perlahan menghilang tertelan air comberan. Berjalan, perlahan, mencari landasan, membangun tumpuan untuk bersiap terbang. Katamu, hidup adalah berumah pada sebuah perjalanan pulang. Sebuah pembelajaran. Lalu dimana harus kutemui haluan kesayangan? 

...

Thursday, October 18, 2012

so, run (for your life)

Saya suka lari, kamu? 

Kalau orang sering mengatakan istilah 'lari dari kenyataan', saya lah yang paling sering menerjemahkan (sekaligus mempraktikannya) secara harafiah. Setiap saya sedang kesal, bermasalah, sedih, saya lebih suka lari untuk melupakan masalah tersebut. Bisa di treadmill, di trek lari outdoor, atau di komplek perumahan saya, dimana saja lah yang penting pakai sepatu lari. Lari buat saya seperti memiliki sensasi tersendiri. Seperti hari ini, ketika saya sedang luar biasa kecewa pada diri saya sendiri. Hari ini seharusnya jadwal saya latihan, tapi saya tidak berminat memegang stick hockey, saya cuma kepingin lari. Lari. Lari. Titik. 

Maka berlarilah saya. Dua kali lipat lebih lama dari jarak yang biasa. Satu set, lalu dua set. Saya cuma pingin dengar suara itu. Cukup itu saja. Tapi sampai set kedua selesai, suara itu masih belum datang juga. Akhirnya saya putuskan memulai set ketiga. Putaran pertama, putaran kedua, mata ini mulai terasa berkunang-kunang. Saya kelelahan, tapi saya masih kepingin lari. Otot kaki saya mengencang, tapi saya bersikukuh, otot saya masih kuat. Nafas saya mulai memburu. Putaran keempat. Lalu putaran kelima. Saya semakin menambah kecepatan kaki saya. Sprint! 

Keringat menetes deras dari bagian atas dahi. Punggung saya basah, baju saya kuyup bersimbah. Telapak kaki saya terasa melayang di udara seiring setiap hentakan kaki saya di astro turf lapangan Senayan. Putaran kelima di set ketiga akhirnya saya berhenti. Menyerah. It's finish. Saya berjalan pelan. Merasakan aliran darah di kepala mengalir sangat deras, dada saya terasa sesak, nafas saya habis sudah. Lalu datanglah suara yang ditunggu, suara itu.

Dugdug, dugdug, dugdug. 

Suara jantung yang begitu kuat berdetak di dada saya yang sesak. Terasa menyenangkan sekaligus melegakan. Mengalahkan segala kelelahan. Denyut itu merajai seluruh tubuh, bergetar di sekujur pembuluh darah dan nadi saya, mulai dari telapak kaki hingga ujung kepala. Saya menengadah ke atas, mencari tambahan pasokan udara sembari menikmati bunyi yang semakin kuat dengan nafas megap-megap.

Tepat saat raga terasa melayang kelelahan, mengambang di titik yang terlemah, suara itu justru semakin bertenaga. Bunyinya seperti menyanyikan senandung resistan. Menolak melemah, mencekal kepala, memaksa mata kembali terbuka, betapa perkasa. Disanalah pusat semesta manusia yang sesungguhnya. Berhentilah sejenak, dengarlah ketukan sebuah pergolakan seiring segala letih dan lelah. Bahana lantunan pertahanan, tuturan kekuatan, afirmasi  sebuah denyut kehidupan. Bahwa di dalam diri setiap manusia, ada sebuah mesin penggerak yang lebih kuat dari sekadar perkiraan. And if we think about it, isn't that what really matter the most? 

You are alive. That's it.

 ...

Wednesday, October 10, 2012

fabula manusia kota

Apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh maket-maket megah itu, Pak Menteri? Adakah sebuah cetakan biru, bangunan arsitektur yang begitu teratur dan terukur? Para manusia kota sudah bersorak ramai dari jarak dua meter. Mungkin mereka mencium bau uang, kau tahu? Sebagian lagi mengernyit, mencium bau hanyir ikan yang disembunyikan rapat dalam habung raksasa berlumur gabah.

Dalam dua puluh tahun ke depan, negeri ini akan menjalani operasi plastik besar-besaran. Mulai dari jembatan hingga pelabuhan, untuk sebuah wajah yang lebih cantik dari sekarang.  Demi sebuah kecantikan artifisial, padahal yang namanya artifisial tak pernah baik untuk kesehatan. Negeri ini akan didandani sesuai kehendak pasar atas nama investasi. Masyarakat girang, siapa yang tak suka dengan wajah yang lebih rupawan? Padahal kita sedang bersiap untuk melacurkan diri. Berharap naik pangkat dari tuna susila level kelas teri.

Sejak didorong dengan keras oleh seorang laki-laki di antrian TransJakarta, saya sudah tahu; mental dan moral ternyata tak datang dari tuhan, apalagi dari setan. Mereka datang dari pemahaman, sebuah proses saling pengertian, bahwa manusia lainnya ada, hidup, dan saling berpautan. Demokrasi, teknologi, percepatan informasi untuk masyarakat Indonesia layaknya sebuah kondom yang diberikan pada anak balita, bahkan penisnya saja belum bisa mengeluarkan sperma. Percuma. 

Lima ratus kilometer dari hiruk pikuk kota, sekelompok manusia desa bersenandung. Senang.  Tertawa. Di jalan yang tak kenal aspal mereka berjalan beriringan, sembahyang lalu bercengkerama. Semua ingin pergi ke kota. Di kota ada bahagia. Konon, masih konon. Mereka melihatnya di televisi, foto-foto, di bis-bis besar yang datang dengan membawa berjuta cerita. Program-program percepatan kemajuan desa terpampang angkuh dalam folder-folder hitam raksasa. Penanda masif senarai ketamakan manusia kota yang berbekal segudang pengalaman urban. Tingkat intelektualitas yang rendah harus diberantas, kata mereka. Betapa stereotipikal. 


Asal kau tahu, sebodoh-bodohnya orang desa, tetap saja mereka bahagia tanpa perlu mendengar ocehan Mario Teguh. Omong-omong, kalau kau masih perlu baca buku-buku motivasi itu, kemana kitab sucimu? Buat ganjel pintu?

...

Friday, October 5, 2012

to kill a mockingbird

Kembali ke Alabama 1930. Akhir-akhir ini saya merasa sedang bertransformasi menjadi Scout Finch. Menakar, mengamati, menganalisis, mencoba mengerti dari berbagai sudut persepsi. Media massa gempar, para jurnalis banjir bahan tulisan, seorang anak paruh baya membunuh dalam sebuah tawuran. Di jejaring sosial berlambang burung dara, batin saya termanggu. Sebuah percakapan terlintas di linimasa saya siang itu. "Dalam tawuran, there's no turning back, bro. Kalo sudah di depan, sikat semua!" Meski dia tak sedang orasi dengan pengeras suara, saya bisa merasakan aksaranya begitu membabi-buta. Lagaknya sudah seperti perdana menteri Netanyahu dengan jargon favoritnya; dibunuh atau membunuh! 

Istilah tawuran tak asing bagi saya. Peristiwa gerombolan putih abu yang berlari kalang kabut kesana kesini dan berkelahi sudah sering saya lihat di televisi. Tak ikut berkelahi artinya banci, dan banci -- lelaki yang ingin menjadi perempuan -- dianggap sebagai salah satu bentuk penghinaan kasta tertinggi terhadap harga diri lelaki. Tololnya, kategori banci justru dilabeli oleh manusia yang senang berkelahi secara kolektif, rame-rame, bareng-bareng. Haha. Orang yang aneh. Yang lebih mengherankan lagi (buat saya) adalah prosesi pembunuhannya. Gila, bukan sekedar tonjok-tonjokan, tapi si inisial D juga cukup bernyali untuk menghabisi nyawa seseorang.

Membunuh orang bukan perkara gampang. Ada sepasang tangan, mata, kaki, logika dan intuisi yang akan melawan. Setiap manusia punya gelombang naluri bertahan hidup yang tak mudah ditaklukan. Berlagak tuhan dan mengakhiri hidup seseorang butuh banyak keberanian. Anak ini bahkan usianya belum lagi menginjak 20. Seorang tentara konon harus dicuci otak supaya bisa berlaku sadis ketika menghadapi musuh. Lalu, dimana bocah ini bisa mengupgrade nyalinya jadi sedemikian besar sampai berani membunuh?

Miriam Budiarjo sekali waktu pernah menulis; dalam kelompok, seseorang akan cenderung kehilangan identitasnya. Dalam kelompok pula, opini akan dibentuk lalu munculah para pemain monopoli opini yang mau tak mau harus diikuti. Berani melanggar aturan? Hukumannya bully! Sudahlah, akui saja, mental bhinneka kita nol besar. Sama rata, sama rasa, sama kepala, atau diasingkan sebagai hadiahnya. Dalam kelompok, seorang individu akan mengalami masalah dalam mekanisme pengendalian moral yang berujung pada kerusakan tatanan sosial yang sifatnya ekstrem dan tidak rasional. 

Sadis, singkatnya. Mungkin perkara bunuh-membunuh hanya salah satu sub variabel dari ratusan sub-variabel sadis yang lain. Membeli tas seharga sepuluh juta, menurut saya juga sadis. Konspirasi Bakrie, juragan siaran televisi yang terus-terusan menyuguhi pemirsa dengan sinetron tak layak tayang untuk pembodohan mental dalam alam bawah sadar juga sadis.  Hmm, entahlah. Atau bully secara verbal di jejaring sosial? Yang jelas, orang-orang yang mengaku terheran-heran oleh perbuatan si inisial D di jejaring sosial adalah orang-orang yang sama pula yang menggugat pasukan alay, yang mengaku atheis lalu menertawakan mereka yang sembahyang, yang mengaku liberal lalu mengejek yang perawan. Seriously, have we lost our sensitivity? 

Saya kira kita semua sudah sepakat hidup dengan falsafah pancasila, nyatanya yang kita lakukan hanya mempraktekan hukum rimba dan membangun kerajaan binatang melata. Saya, satu dari sedikit yang masih saja percaya. Alangkah bodohnya.

Does this look familliar? Source: Setneg







  
"Shoot all the blue jays you want, if you can hit ‘em, but remember it is a sin to kill a mockingbird."

...

Wednesday, October 3, 2012

catatan harian nomor satu satu tiga

Butuh sebuah jeda panjang untuk memahami leluconmu. 

Kita semua tahu, sejak kau suruh Ibrahim menyembelih Ismail -- lalu dengan tiba-tiba kau menggantinya dengan seekor kambing -- terhenyak, kita semua sedang diperkenalkan dengan sifat aslimu, si maha melucu. Kepala ini kadang terasa benar bebal, memikirkan dimana sebetulnya letak kelucuanmu. Oh Tuhan, ayolah aku sedang tidak ingin bercanda. Sekeras apapun berpikir, ternyata memang kadar humor kita berentang terlalu panjang. Butuh dua kuintal kecerdasan untuk mengumpulkan logika dan berpikir dengan nalar yang matang. Mencoba menertawai leluconmu adalah sebuah proses pengalaman pemahaman. Sebuah reaksi parade perubahan yang dimaknai oleh para bedebah, bahwa kita, manusia, hanyalah sekumpulan neurosis rasa bersalah. Setahun yang lalu, hari yang penuh sumpah serapah, baru hari ini saya mampu tertawa, memahami unsur komedi dalam sebuah kisah yang pernah membuat kepala ini gelisah.

Matahari sedang asyik berdandan, bersiap melacurkan diri pada malam, bibirnya bergincu tebal. Dibawahnya, manusia yang tampak kerdil sedang makan beling. Nafasnya memburu, berbau sampah di Bantar Gebang. Kelaparan, kecapaian. Tamaknya letih, memuja, bersungut lalu berdoa. Mencoba menangkap senja dan menyembunyikannya dalam kotak kaca. Kenapa hidup terasa tak lucu lagi, padahal ini bukan jelang mentruasi? Semakin dewasa, nyatanya manusia malah semakin sering merasa merana. Kenapa, ya? Semua akan terasa lucu pada waktunya. Tertawalah, meski sedikit saja.

...

Monday, October 1, 2012

adalah keponakan kecil..

..yang suka sekali merusak bunga. Sampai koyak, lalu diinjak. 



Heeee, problem? 

...