Butuh sebuah jeda panjang untuk memahami leluconmu.
Kita semua tahu, sejak kau suruh Ibrahim menyembelih Ismail -- lalu dengan tiba-tiba kau menggantinya dengan seekor kambing -- terhenyak, kita semua sedang diperkenalkan dengan sifat aslimu, si maha melucu. Kepala ini kadang terasa benar bebal, memikirkan dimana sebetulnya letak kelucuanmu. Oh Tuhan, ayolah aku sedang tidak ingin bercanda. Sekeras apapun berpikir, ternyata memang kadar humor kita berentang terlalu panjang. Butuh dua kuintal kecerdasan untuk mengumpulkan logika dan berpikir dengan nalar yang matang. Mencoba menertawai leluconmu adalah sebuah proses pengalaman pemahaman. Sebuah reaksi parade perubahan yang dimaknai oleh para bedebah, bahwa kita,
manusia, hanyalah sekumpulan neurosis rasa bersalah. Setahun yang lalu, hari yang penuh sumpah serapah, baru hari ini saya mampu tertawa, memahami unsur komedi dalam sebuah kisah yang pernah membuat kepala ini gelisah.
Matahari sedang asyik berdandan, bersiap melacurkan diri pada malam, bibirnya bergincu tebal. Dibawahnya, manusia yang tampak kerdil sedang makan beling. Nafasnya memburu, berbau sampah di Bantar Gebang. Kelaparan, kecapaian. Tamaknya letih, memuja, bersungut lalu berdoa. Mencoba menangkap senja dan menyembunyikannya dalam kotak kaca. Kenapa hidup terasa tak lucu lagi, padahal ini bukan jelang mentruasi? Semakin dewasa, nyatanya manusia malah semakin sering merasa merana. Kenapa, ya? Semua akan terasa lucu pada waktunya. Tertawalah, meski sedikit saja.
...
No comments:
Post a Comment