Thursday, July 19, 2012

pertanyaan yang itu-itu juga

Dua tahun lalu, pertengahan bulan maret, saya sedang merokok santai di ruangan merokok lantai dua sebuah penginapan yang sederhana di Singapura. Baru saja satu batang saya habiskan, seorang pria setengah baya asal Rumania datang. Hi, katanya, menyapa sembari mengeluarkan sebungkus rokok. A filipino? Dia melemparkan pertanyaan membuka obrolan. "Nope, Indonesian, and you are?" jawab saya.  Dia lalu memperkenalkan diri sembari bercerita bahwa dia sedang menemani istrinya yang sedang melakukan penelitian selama dua bulan di singapura. Entah penelitian apa, saya sudah lupa. 

Dia mengaku sudah dua minggu berada di singapura dan berniat untuk jalan-jalan mengunjungi negara-negara asia sementara istrinya sibuk bekerja. Curhatan hari pria ras kauskasia itu berakhir dengan pertanyaan yang membuat dahi saya sedikit berkeringat. "So, i think i might book a flight to jakarta, is there any good cultural attractions or any interesting places i should visit?" Saya menerawang, berpikir, mungkin hampir sepuluh detik, sampai si lawan bicara mengernyitkan mata. "Well uhm.. I dont know..," hampir terdengar seperti gumaman, saya menjawab. Merasa bodoh sekaligus bingung. Saya harus jawab apa? Beda urusan kalau dia ingin mengunjungi Bali atau Yogyakarta? I dont think anyone should go to jakarta if they were in search for a real nice holiday. 

Dua hari kemudian di tempat yang sama, seorang pria asal Yokohama merokok bersama saya. "So tell me something about Jakarta," kata dia, dengan bahasa Inggris patah-patah dan logat Jepang yang kental. "Hmm i can describe jakarta in a very short phrases," jawab saya. "It i the capital of Indonesia, one of the busiest cities, killer traffic, and crowded." Saya menjelaskan dengan lancar. "Oh, so it's pretty much similar like Tokyo! It is also the capital of japan," dia menimpali dengan mata sipit yang berbinar. 
"You know Galuh-san, Tokyo also very crowded. And the traffic jam.. Sucks."
"Still it's different, Jakarta is one polluted city and with all the humidity, it's totally different."
"Aah same as tokyo, it also polluted."
"Aaah, you know what? i think you should just come and see by yourself."
Lalu tepat dua hari lalu, kala tengah menikmati makan siang yang nikmat di sebuah restoran perancis yang manis, seorang jurnalis Vietnam bertanya pada saya, "One day, I would love to go visit Indonesia, maybe to Jakarta? Please tell me more about Jakarta." Oh hell, oke bumi, tolong telan aku sekarang juga! Why it's always another same damn question? E-very-time! Jurnalis Vietnam itu teras terang menganggu kenikmatan soup du jour yang seharusnya menjadi apetizer saya siang itu. Sialan. Lalu disebelahnya seorang jurnalis Thailand dan Singapura mengomentari. "Do you know that many of poor people in indonesia are incredibly creative?" Hmm oke what is that supposed to mean? Sendok sup saya menggantung di udara. "If you go through some street in Jakarta, you would see bunch of people standing in the side ofthe street, raising their hands like asking to get in the car." kata Joanne , sembari memeragakan dengan tangannya. Well, baiklah ternyata mereka sedang membicarakan joki 3-1. Alangkah lucunya. Saya ketawa pait dalam hati. 

Mungkin memang sudah saatnya saya mengeksplor habis-habisan kehebatan kota Jakarta. Lain waktu kalau bertemu dengan orang-orang asing yang ngebet sekali pingin diceritain soal jakarta, i could go blabbing like, "Yeah sir, you should come to Glodok. We have a set of cheap sound system that you would not find it anywhere in the world. Or would you like to take a tour by ojek? We don't have MRT but we have ojek, it is the fastest public transportation in Jakarta. It is fast, cheap and you could go blow drying your wet hair in a short minute. Or wait, this is good, "Come to Jakarta if you want a cheap nice cigarette, you wouldn't regret, sir!" Next time some stranger throwing a question about Jakarta, i really do hope he is a smoker.

And.. here it is, a few photos from Mary Mccartney photograph exhibition held in Singapore.





turkish proverb

diambil di sebuah cafe di bilangan cikini
 Jadi begini baginda, bagaimana kalau ternyata kematian adalah satuan aliran nafas yang semakin merapuh, perlahan terhenti karena kehabisan stimuli tak lagi mampu berevokasi. Dalam hitungan detik, jantung yang menjadi inisiator pun melambat, melemah lalu merepih tak lagi memiliki daya. Lalu cinta.. ternyata berwujud algojo bengis yang pintar sekali menikam dari sudut punggung belakang, sungguh terasa perih kala belatinya mengiris. Bagaimana kalau surga ternyata berwarna hitam pekat gelap bahkan nyaris tersembunyi dan siapa sangka neraka yang dianggap hitam ternyata penuh dihiasi warna pelangi? Bukankah seringkali kita terjebak dalam jendela imajinasi yang kita karang sendiri? 

ps. untuk mereka yang sering ribut dalam diskusi, tak lelahkah kalian memperkarakan asumsi?

...

catatan random nomor tiga puluh dua

Saya pikir, kita tak perlu berseteru di meja konferensi berbentuk persegi panjang untuk menyepakati bahwa kesepian adalah stigma yang mengerikan. Dia bisa muncul dimana saja, bahkan ketika kita sedang terbahak keras tenggelam dalam riuhnya sekumpulan kawan. Sepi, bisa jadi adalah salah satu situasi yang mengadiksi, tapi imbuhan ke- dan -an adalah awalan suatu epidemi  yang menakutkan. Belajar dari mereka yang bekerja keras mengodifikasi rasa dalam angka yang berbahasa matematika, atau mereka yang berlari bersembunyi, mencari ketenangan dalam rengkuhan dogma, saya lalu tersadar bahwa selamanya manusia tidak akan pernah menjadi individu-individu yang merdeka, bahkan bagian dari dirinya sendiri yang paling asasi pun tak mampu menghalau sepi, menyakiti diri sendiri selalu menimbulkan sensasi tersendiri. Betulkah? 

Namun serupa seperti iblis, kesepian tak pernah mudah ditepis. Lalu sampai dititik mana kita harus selalu berteduh dari riak gerimis? Walau derasnya hanya beberapa tetes yang tipis, gesekannya ternyata mampu merampakan satu bongkah batu besar masif yang akhirnya terkikis.  Apakah cukup dengan meneteskan beberapa air mata atau butuh berlembar-lembar arta yang meraja? Lebih baik berlari sampai kehabisan energi atau mengerahkan puluhan batalyon infanteri? Ditengah himpitan sunyi yang meradang, ketika jawaban dan pertanyaan tak lagi berpasangan, dan keseimbangan bukan lagi sebuah tujuan, akankah sepi meretas di setengah perjalanan?

sendiri. di bandara changi, july 2012

Dan tuhan bertanya: Kau mau apa? Mau kemana? Untuk apa kau kesana? 
Dasar bebal. 

...