Thursday, July 19, 2012

catatan random nomor tiga puluh dua

Saya pikir, kita tak perlu berseteru di meja konferensi berbentuk persegi panjang untuk menyepakati bahwa kesepian adalah stigma yang mengerikan. Dia bisa muncul dimana saja, bahkan ketika kita sedang terbahak keras tenggelam dalam riuhnya sekumpulan kawan. Sepi, bisa jadi adalah salah satu situasi yang mengadiksi, tapi imbuhan ke- dan -an adalah awalan suatu epidemi  yang menakutkan. Belajar dari mereka yang bekerja keras mengodifikasi rasa dalam angka yang berbahasa matematika, atau mereka yang berlari bersembunyi, mencari ketenangan dalam rengkuhan dogma, saya lalu tersadar bahwa selamanya manusia tidak akan pernah menjadi individu-individu yang merdeka, bahkan bagian dari dirinya sendiri yang paling asasi pun tak mampu menghalau sepi, menyakiti diri sendiri selalu menimbulkan sensasi tersendiri. Betulkah? 

Namun serupa seperti iblis, kesepian tak pernah mudah ditepis. Lalu sampai dititik mana kita harus selalu berteduh dari riak gerimis? Walau derasnya hanya beberapa tetes yang tipis, gesekannya ternyata mampu merampakan satu bongkah batu besar masif yang akhirnya terkikis.  Apakah cukup dengan meneteskan beberapa air mata atau butuh berlembar-lembar arta yang meraja? Lebih baik berlari sampai kehabisan energi atau mengerahkan puluhan batalyon infanteri? Ditengah himpitan sunyi yang meradang, ketika jawaban dan pertanyaan tak lagi berpasangan, dan keseimbangan bukan lagi sebuah tujuan, akankah sepi meretas di setengah perjalanan?

sendiri. di bandara changi, july 2012

Dan tuhan bertanya: Kau mau apa? Mau kemana? Untuk apa kau kesana? 
Dasar bebal. 

...

No comments:

Post a Comment