Saya pikir, kita tak perlu berseteru di meja konferensi berbentuk persegi panjang untuk menyepakati bahwa kesepian adalah stigma yang
mengerikan. Dia bisa muncul dimana saja, bahkan ketika kita sedang
terbahak keras tenggelam dalam riuhnya sekumpulan kawan. Sepi, bisa jadi adalah
salah satu situasi yang mengadiksi, tapi imbuhan ke- dan -an adalah awalan suatu epidemi
yang menakutkan. Belajar dari mereka yang bekerja keras mengodifikasi
rasa dalam angka yang berbahasa matematika, atau mereka yang berlari
bersembunyi, mencari ketenangan dalam rengkuhan dogma, saya lalu
tersadar bahwa selamanya manusia tidak akan pernah menjadi
individu-individu yang merdeka, bahkan bagian dari dirinya sendiri yang
paling asasi pun tak mampu menghalau sepi, menyakiti diri sendiri selalu
menimbulkan sensasi tersendiri. Betulkah?
Namun
serupa seperti iblis, kesepian tak pernah mudah ditepis. Lalu sampai
dititik mana kita harus selalu berteduh dari riak gerimis? Walau derasnya hanya beberapa tetes yang tipis, gesekannya ternyata mampu merampakan
satu bongkah batu besar masif yang akhirnya terkikis. Apakah cukup dengan meneteskan beberapa
air mata atau butuh berlembar-lembar arta yang meraja? Lebih baik
berlari sampai kehabisan energi atau mengerahkan puluhan batalyon
infanteri? Ditengah himpitan sunyi yang meradang, ketika jawaban dan
pertanyaan tak lagi berpasangan, dan keseimbangan bukan lagi sebuah
tujuan, akankah sepi meretas di setengah perjalanan?
sendiri. di bandara changi, july 2012 |
Dan tuhan bertanya: Kau mau apa? Mau kemana? Untuk apa kau kesana?
Dasar bebal.
...
No comments:
Post a Comment