Wednesday, September 5, 2012

untuk si titik titik

Dunia, nyatanya, hanyalah sebuah bingkai dua dimensi untuk perempuan Indonesia. Seperti yang terlihat di depan etalase kaca, semacam fatamorgana. Berdecak memandangi bianglala tanpa pernah menungganginya. Sebuah mimpi indah yang tak berkesudah, resah, setengah, sekadar singgah. Kartini mungkin akan sakit hati bila dia hidup kembali. Tribhiwana Tunggadewi, atau Ratu Sima, atau Christina Martha Tiahahu, merekalah desing peluru. Yang menghidupkan, yang mematikan, layaknya Tuhan, tapi tentu saja bukan. Lalu, apalah emansipasi? Eskalasi harga diri? Insubordinasi? Demarkasi? Apa? Menjadi laki-laki? Mengapa mengebiri?  Bukankah kita semua berasal dari letupan yang sama? Dimensi yang sewarna? Pahatan yang serupa? Bisakah sejenak berhenti menyalak padaku? Atau maaf, terpaksa  kusarangkan sebutir peluru di ususmu.

"Jadi perempuan ga usah sekolah tinggi-tinggi, nanti susah cari suami," Kalimatmu yang ini akan selalu jadi catatan hati. 

...


Besakih, 2010