Monday, March 7, 2022

enam bulan setelah papa meninggal

 Does it gets any better? 

ya tentu saja tidak hahaha. 

Karena ini pengalaman pertamaku ditinggalkan oleh orang yang sangat dekat, moment ini sangat membekas. Semacam, aku tidak pernah benar-benar sadar bahwa kematian itu dekat sampai papaku sendiri meninggal. Beda ya melihat jenazah orang lain dan jenazah keluarga terdekat, rasanya aneh. Apalagi kalau sampai menyaksikan sendiri proses sakratulnya. Dan di moment ini juga aku menyadari bahwa siapa saja akan mati. Tentu kita tahu bahwa semua makhluk hidup akan mati, tapi dulu, rasanya itu cuma sebuah keniscayaan saja, sebuah pengetahuan, dan mungkin aku akan mengalaminya tapi ya nanti, mungkin masih lama. Tapi hari yang kukira masih lama itu ternyata tiba juga. 

Banyak artikel menulis seiring berjalannya waktu, kesedihan itu akan hilang. Time always kill the pain. Benarkah? Iya betul, tapi ternyata bukan waktu yang berperan tapi kita sendiri. Setiap sudut restoran yang dulu pernah kukunjungi bersama Papa itu akan tercetak jelas setiap aku mengunjunginya kembali. Setiap sudut kota tempat kami pergi berlibur, ketika sedang berjalan di tempat ramai lalu ada orang asing yang figur fisiknya mirip, semua kesedihan itu akan kembali lagi. Lagi dan lagi. Dan tiba-tiba rasanya seperti baru kemarin dia meninggal. Seperti tidak maju-maju, stuck. Tapi ya hidup jalan terus. 

Dan lalu rangkaian kesedihan-kesedihan itu juga yang membentuk aku sampai di titik ini. Kalau di program angkat beban itu namanya progresive overload, ketika kita bisa mengangkat 30 kg sampai 12 kali repetisi, maka satu bulan kemudian kita harus menambah beban, mungkin di 32 kg atau 35 kg, sedikit demi sedikit menambah beban sampai kemudian ketika kita mengangkat kembali 30 kg, wah kok ringan sekali ya. Kira-kira seperti itu analoginya. 

So no, it does not gets any better, but maybe i am just getting stronger. 

Hopefully.. 

Thursday, March 3, 2022

hockey

Kayanya kok belum pernah tulis satu pun dedicated post tentang hockey. Padahal kasarnya ive been playing my whole life. Beneran. Kalau saya hitung sudah 23 tahun hahaha. Setelah kupikir-pikir, mungkin penyebabnya karena saya selalu berpikir bahwa saya akan terus bermain sampai tua. Jadi saya merasa ga perlu menuliskan memori di sini, karena akan selalu ada memori baru. Gimana enggak, bahkan sampai tahun kemarin pun 2021, saya masih main untuk memperkuat tim DKI, meski pun akhirnya tidak manis haha. But anyway... mungkin aku perlu tulis one dedicated post tentang hockey. Nanti kalau Ozzu sudah besar, dia bisa membaca dan memahami, kenapa Ibunya bisa tergila-gila main hockey. 😀

Tahun 1996 

Tahun pertama di SMP Taruna Bakti. Lapangan olahraga Suci. 

Ada sebuah kotak besar bentuknya mirip peti. Kotak itu sudah usang dan tua. Baunya tidak enak. Bau khas kayu lapuk. Kotak itu tersimpan dalam gudang di lapangan Suci. Kutanya pada pelatih olahragaku waktu itu. Namanya Bang Kimang. "Itu apa bang?" ternyata isi kotak itu adalah stick hockey yang sudah lama tidak dipakai dan juga beberapa glove softball yang sudah lapuk. 

Saya baru tahu jenis hockey lapangan waktu di SMP itu. Sebelumnya yang saya tahu ya hockey itu hanya ice hockey atau roller hockey. Ternyata ada juga hockey lapangan, jadi kita bermain sambil berlari. Menarik. Waktu itu yang tersedia untuk kelas eksul adalah basket, pencak silat dan softball. Wah kok seru ya sepertinya belajar hockey? Entah bagaimana prosesnya, sayangnya memori itu hilang banget, hukss i shouldve write it sooner, pokonya tiba-tiba saja aku belajar main hockey, dilatih oleh Bang Kimang. 

Waktu itu hockey cukup menyedot perhatian. Mungkin karena beberapa anak membaca novel Enid Blyton yang sering sekali menceritakan tentang olahraga lacrose - hockey ya mirip-mirip lacrose, sedikit. Peminatnya cukup banyak, kami semua berkumpul di lapangan Suci dan diperkenalkan dengan stick hockey. Dan ternyata... cukup sulit. Hahaha. Permainan pertama kami sangat kasar dan kurang lebih kami lebih lelah tertawa daripada lelah berlari. Dribble yang seenaknya, bola ditendang oleh kaki, ngehit tanah dan rumput padahal bolanya sudah lari kemana tau, seru sekali. 

Seiring berjalannya waktu, peminat hockey semakin sedikit. Mungkin karena ternyata tekniknya sulit. Tidak bisa sekali berlatih langsung bisa. Sama seperti bermain roller blade, harus berlatih terus-menerus baru bisa lancar. Yang tersisa hanya ada beberapa, saya lupa persisnya, namun yang saya ingat adalah Nur Maliyanti, Dwitiya Ariani (Winnie), Susilowati, Sandriani Azizi dan Katrina Gupita Nindya (Ninil) karena bersama merekalah saya bermain hockey dalam jangka waktu yang lama. Lima orang ini lah yang waktu itu jadi pemain kunci hahaha. Kami semua entah kenapa bisa langsung cocok mengisi semua formasi yang dibutuhkan. Semacam sudah ditakdirkan bersama saling melengkapi kekurangan masing-masing hahaha.. Sandri dan Ninil striker, saya dan Nur di tengah, Winnie sebagai defender di belakang, setelah itu ada Susi yang jadi goalkeeper. 

Bersama mereka ini kami jatuh bangun sebagai sebuah tim. Banyak pemain baru yang masuk dalam tim ini, Asri Arifah, Elvire Tanjaya, lalu ada juga adik kelas, Nova Ahadiarti alias Pengo, namun selalu ada lima orang ini dalam tim saya. Yang seru dari perjalanan sebagai satu tim yang isinya perempuan semua tentu saja DRAMANYA hahaha. Saya si emosional dan sumbu pendek paling akur kalau sama si Nur yang adem, pernah beberapa kali bertengkar dengan Winnie dan Sandri. Atau Ninil yang cool atau Susi pemantau suasana. Penyebabnya bisa apa saja, mulai dari kalah tanding dan berujung saling menyalahkan (lucunyaaa hahahaha) atau persoalan laki-laki wkwkwk.. 

Untuk selanjutnya hari-hari sekolah saya selalu diisi dengan obrolan tentang hockey, janjian untuk berkumpul sebelum berangkat latihan, gosip tentang pemain lawan dll. Pulang sekolah, dimana anak-anak lain pergi untuk les matematika, atau langsung pulang, kami sudah siap-siap untuk ke latihan hockey di Cikutra. 

Lapangan Cikutra 

Lapangan ini jelek sekali. Tanahnya tidak rata. rumputnya tinggi. Kalau Federasi Hockey Internasional melihat lapangan ini mungkin mereka menangis. Haha. Oh dan jangan sampai saya ceritakan detail mengenai toiletnya. Benar-benar nista. Hahaha. Tapi entahlah, kami justru senang sekali kalau sudah berada di lapangan ini. Its like our 2nd home. Galuh kalau tidak ada di rumah atau di sekolah, ya berarti sudah pasti di Cikutra. Kami bisa menghabiskan berjam-jam di lapangan ini, bahkan ketika hujan datang dan membuat genangan besar di lapangan, kami tetap turun main. Rasa-rasanya hidup lebih indah kalau bisa main di Cikutra bersama teman-teman, rasa-rasanya, tidak ada yang perlu disedihkan kalau sudah sampai di Cikutra. Cikutra adalah jawaban dari semua permasalahan kala itu. :))) 

Lebih dari 10 tahun bermain di Lapangan Cikutra, baru sekarang aku sadar, kok bisa-bisanya ya bertahun-tahun itu benar-benar tidak ada pemugaran atau renovasi lapangan hahaha..  kan pasti ada anggarannya, ya, sebagai salah satu fasilitas publik? Ya mungkin ada, tapi entahlah kemana perginya uangnya. Benar-benar pembinaan olahraga yang buruk. Oleh karena itu benar-benar sulit menjaring atlet hockey. Tidak banyak orang yang mau main hockey, hanya yang benar-benar suka main hockey yang masih mau berlatih, sisanya lebih memilih olahraga yang lebih bergengsi. :)) 

Tahun 1997

Centre Point, Braga Bandung 


Satu tahun kemudian, saya memutuskan untuk serius menekuni hockey. Saatnya saya membeli stick sendiri. Waktu itu (ya mungkin sampai saat ini juga ya hahaha), hockey sama sekali tidak populer, tidak ada e-commerce yang menjual stick hockey. Boro-boro e-commerce, lihat situs friendster saja sudah amaze setengah hati. Saya membeli stick hockey pertama saya di Centre Point, Braga Bandung. Sebuah toko olahraga yang sangat terkenal karena sudah sangat tua, sudah ada sejak tahun 1925. Diantar bapak saya waktu itu, saya membeli sebuah stick hockey kayu merk Grays. Duhhh andaikan saat itu sudah ada instagram, mungkin insta story saya kala itu akan penuh dengan foto-foto stick itu hahaha. Pulang dari sana, saya langsung mencoba main sendiri di jalan depan rumah dengan bola tennis. Rasanya senang setengah mati dan tidak sabar untuk menunjukan stick baru saya pada teman-teman.  

Banda 11 B 

Alamat rumah yang hampir diingat semua anak Ikatan Hockey Taruna Bakti di angkatan saya kala itu. Boleh dibilang rumah ini adalah basecamp kami hahaha. Ini adalah rumah Nur, jaraknya dekat sekali dengan sekolah kami. Hanya tinggal berjalan kaki sedikit. Sering sekali kami berkumpul satu team di sini dan membicarakan strategi untuk pertandingan berikutnya. Atau membahas kelemahan skill masing-masing dan bagaimana cara menutupinya.  Rumahnya tidak besar tapi entah kenapa homey sekali. Bahkan saya masih ingat persis interior dan exterior rumah itu sangking seringnya saya nongkrong di sana.  

Rumah ini bangunannya tua dan mungkin sama seperti ciri khas bangunan tua lainnya, mau sepanas apapun di luar, kalau sudah masuk ke rumah ini selalu adem, ubinnya dingin hihi, dan kalau ngelamun di sini pasti nggak lama aku suka jadi ngantuk. Entah kenapa. 

Di dalamnya ada sofa bunga-bunga motif shabby chic (dulu belum trend shabby chic padahal hahaha) yang nyaman sekali untuk ditiduri sambil leyeh-leyeh sepulang sekolah. Ada dua piano, satu di ruang tamu warna hitam, satu di belakang warna coklat. Yang coklat sudah harus distem karena tutsnya banyak yang masuk ke dalam dan suaranya agak sumbang. Lalu ada monitor komputer dengan tabung untuk kami main video game lalu di belakang ruangan itu adalah kamar si Nur yang gelap banget karena kayanya tidak ada jendelanya, deh. 

Persis di depan rumah Nur ada pedagang mie yang menyewa lapak. Namanya Mie Nursijan, saya baru tahu setelahnya bahwa mie itu sangat terkenal. Dan memang mie nya enak. Kadang jika uang jajan saya berlebih, saya akan memesan yamien manis lengkap dengan es jeruk dan bakso goreng. Tapi tentu tidak bisa tiap hari karena harganya cukup mahal untuk kantong uang jajan anak SMP. 

Rasanya seminggu bisa beberapa kali ramai-ramai berkumpul di rumah Nur sepulang sekolah, lalu bersama-sama berangkat ke Cikutra naik angkutan umum. Naik angkot putih lalu turun di Surapati lalu sambung naik angkot warna pink. Ketika masuk angkot kami harus berhati-hati sekali karena sering stick kami menyenggol penumpang lain. 

Lalu selesai latihan saya akan kembali ke Banda 11 B, menunggu dijemput Papa di rumah Nur sambil kembali ngalor-ngidul dan leha-leha di sana. Lalu nggak lama kemudian Papaku datang, kadang dia cuma klakson, kadang dia turun dan berbasa-basi sedikit dengan Tante Wiwik, ibunya Nur yang ramah dan baik hati. Keduanya sudah nggak ada sekarang... yah jadi sedih kan :') 

Anyway... 

(to be continued.. tiba-tiba dipanggil meeting)