Saturday, December 15, 2012

tentang 5cm, sebuah review asalan


Sebagai preambule, mohon dicatat, bahwa saya bukan ahli sinematografi atau seseorang yang rajin menonton film dan membuat review. Saya senang menonton film, meski tak senang-senang amat. Pemahaman saya pada dunia sinematik ya sebatas yang umum-umum saja. Dengan demikian review berikut adalah seperti yang saya tulis di atas; asalan. Yoi, bro. Asalan. 

Hari kedua setelah film 5cm ditayangkan di bioskop, saya diajak oleh salah seorang teman untuk menonton film tersebut. Berhubung saya sedang tidak ada kerjaan saya iyakan permintaan dia. Otak saya sempat berpikir, yang manakah film 5cm ini yang konon diambil dari novel best seller? Kalau tidak salah saya pernah baca buku ini. Sampulnya berwarna dasar hitam, fontnya bertulis 5cm dicetak dengan warna merah. Tapi kok saya tidak ingat yang seperti apakah ceritanya, ini film tentang apa? Teman saya mengajak dengan berapi-api. "Novelnya kan bagus banget!" katanya. Saya makin penasaran, kalau tidak salah memang bagus buku ini. Yang ternyata, well..  saya salah. Saya adalah orang dengan sistemasi otak yang bekerja dengan prinsip, "I dont remember names, i remember faces. What's in a name if i can't recall your face?" Ya. Saya sering lupa judul buku, tapi kalau buku itu bagus saya selalu ingat jalan ceritanya. 

Ya. Saya salah. Ternyata saya pernah baca buku itu, tapi tidak selesai. Berarti buku itu membosankan (buat saya). Ya baiklah karena saya sudah kepalang duduk di deretan paling atas bioskop Metropole siang itu, terpaksa saya tonton film itu. Oh ya, ingatkan saya untuk tidak lagi menonton di bioskop Metropole Mega Ria. Terlalu banyak ABG, mereka tertawa terlalu keras untuk hal-hal yang tidak lucu-lucu amat, atau menceritakan jalan cerita kala film sedang berjalan dengan lagak senang dan jumawa. Oke, sist bisa diam tidak? 

Jalan ceritanya? Tentang pertemanan lima anak muda yang merasa bosan dengan kehidupan mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak bertemu selama tiga bulan. Lalu ketika pertemuan akbar mereka di bulan ketiga, mereka memutuskan untuk merayakannya dengan mendaki Mahameru. Well.. first of all, seriously they need to get socialize. Ga tahu ya, bosan dengan kehidupan lalu memutuskan tidak bertemu teman-teman selama tiga bulan, ga boleh nelpon, ga boleh sms, kaya orang pacaran terus "Kita vakum dulu aja ya, Yang? Apeu. Sounds kinda weird. Kalau ada teman saya yang bilang, "Kita jangan berhubungan dulu tiga bulan ya?" Mungkin saya akan bilang, "Dude, whatever im not your wife,"

Mungkin film ini juga berkisah tentang keinginan, cita-cita, atau tekad yang kuat. Dengan framing "5cm" letakkan cita-citamu itu 5cm dari dahi. Ya bisa jadi. Tapi menurut saya sih alur menuju kesananya agak aneh. Tentang kalah taruhan kek, atau tersesat terlepas dari rombongan tim SAR kala mencari teman yang tejebak di Mahameru kek, atau cerita sekelompok pemuda yang dianggap tidak bisa bertahan di alam lepas lalu ceritanya mereka ingin membuktikan diri mereka berhasil mendaki sampai ke atas. Anehlah pokoknya. 

Secara visualisasi. Oke. Bolehlah dua jempol. Tapi Mahameru memang indah dari sononya. Ibaratnya, lebih gampang motret Luna Maya daripada motret Omas. Sambil nungging aja Luna Maya tetep cakep, bikin horny malah. Nah, apa yang ditawarkan oleh film ini adalah eyegasm keindahan Mahameru yang tersohor, mulai dari Ranu Kumbolo sampai puncak Mahameru. Tapi.. kalau saya mau lihat keindahan Mahameru, ill go watch Discovery Channel, NGC, atau Jejak Petualang, atau apalah acara sejenis. 

Ketiga, detail yang membuat saya gengges. Emang ada ya orang mendaki Mahameru pakai celana jeans? Orang yang pertama terkena hypothermia kala pendakian adalah Arial. Tokoh yang digambarkan rajin fitness dan badannya paling fit. Sementara si Gendut (saya lupa namanya, pokonya gendut lah orangnya) yang tidak pernah olahraga dan setiap hari sarapan Indomie diperlihatkan baik-baik dan bugar-bugar saja. Lalu saya gatal sekali ingin meminjamkan ikat rambut ke Pevita Pearce dan entah siapa namanya, dua perempuan yang turut dalam pendakian. Rambut mereka panjang sepunggung, terurai, dan selalu tampak rapi di ketinggian 3676 mdpl. Padahal muka mereka (ceritanya) sudah coreng-moreng oleh abu Mahameru. Rasanya kaya nonton sinetron silat di Indosiar.

Intinya, hasil diskusi dengan teman saya, film ini ingin menyampaikan pesan cintailah Indonesia, negerimu sendiri. Lebih baik disini, rumah kita sendiri. Gitu katanye. Lalu? Emang perlu ya orang diajarin untuk mencinta? Ketika kita lahir, separuh dari kepala kita isinya cuma rasa cinta. Anak kecil berumur dua tahun sudah tahu yang mana ibunya. Yang mana yang dia cinta. Dia tahu kemana dia harus berlari kala ketakutan dikejar anjing atau kuntilanak. Dia tahu kemana mencari ibunya saat sedih.Cinta tak perlu diajari. Saya yakin 100% persen, kecintaan kita pada Indonesia sudah lebih dari cukup untuk mendapat gelar nasionalis. Kasih aja pertandingan bola 2x45 menit Indonesia melawan Malaysia. Separuh dari Indonesia sudah dipastikan akan teriak-teriak macam orang kesetanan. IN-DO-NE-SI-A!!! 

No we don't need that. Kita tahu posisi kita, negeri kita, betapa indahnya Indonesia. Kita sudah lebih dari tahu, lebih dari cinta. Kita boleh terpana dengan MRT di Hong Kong yang cepat dan teratur, kita boleh jadi tercengang melihat bule Australia yang bisa bersenang-senang setiap hari berselancar di kepulauan Mentawai hanya dengan mengandalkan tunjangan pemerintahnya. Atau Jepang dengan kecanggihan teknologi dan ekonominya yang maju pesat. But we always know where our home is. Its in here. Dan kita selalu akan ingin pulang.

What we need is, perhaps belajar menjadi warga negara yang baik. Belajar bernegara, bukan berbangsa. Membuat film yang menyampaikan pesan mengantrilah dengan baik, taatilah peraturan dengan baik, sekadar mengucapkan terima kasih, soal kejujuran, tidak mengambil hak orang lain, sederhana saja sih, tapi saya pikir, itulah yang benar-benar kita butuhkan sekarang. Ilmu pengetahuan, belajar beretika, tata krama, sopan santun. Hal-hal yang katanya ciri khas orang Timur saya pikir cuma mitos. Jatuh cinta dengan Indonesia, bukan cuma soal rasa, tapi hmm mungkin lebih menjaga, menata, bukan cuma soal mendaki gunung Mahameru lalu teriak-teriak di atas sana. Mungkin kita lebih butuh manusia-manusia yang tidak setiap hari makan indomie, yang tidak cepat merasa bosan karena terlalu sering nongkrong di cafe-cafe. Yeah, we definitely need something more than that. Bangsat-bangsat di Senayan juga cinta Indonesia kok. Lalu?

Kalau cuma modal cinta, setiap hari ribuan orang bakalan ribut di KUA.

...