Thursday, August 30, 2012

two before thirty

Sudirman, F City. 

18.32 
Membereskan cubicle. Bergegas, berkemas, mengancingkan jaket yang terbuka setengah. Hari ini saya sudah janji akan datang sore hari. 

18.52
Gila-gilaan. Barat memang lebih sadis dari Selatan. Merayap padat di sepanjang Slipi dengan pikiran yang setengah melayang. Si makhluk liminal hari ini menyebalkan. Tapi ada satu hal yang membuat mata ini sedari tadi terasa nyalang. 

Pelataran Pusat Jantung Nasional, Harapan Kita

19.21
"Worst birthday, huh? Waiting at the hospital."
"Tidak juga. Saya cuma kepingin merokok."  
"Merokok saja. Tokh Bapakmu ga tahu. Asal jangan depan dia aja." 
"I made a promise. To myself."
"Lalu?" 
"Tidak ada lalu. Semacam self-respect-kind-of-thing. 
"Prett." 

19.45
"Bapakmu baik. Semua stabil. Tinggal tunggu besok, untuk tindakan lanjutan." 
"Baguslah." 
"Hari tanpa tembakau, day 1? Eh, selamat ulang tahun ya." 
"Pertama selalu terasa sangat berat. Puasa pertama, haid pertama.."
"Besok lebih mudah.."
"Atau lebih susah.."
"Puff!"

20.22
"Mau permen? Lumayan daripada asem."
"Ga. Makasih. Nanti jadi malah ketergantungan sama permen."
"Still, better than ciggie."
"Tahu kok. Tapi candu itu palsu." 
"Hahaha. Belum tentu." 

Tenang saja, semua akan mati rasa pada waktunya. 

Tenang tenang, tenanglah seperti karang. Sebab persoalan bagai gelombang. 
Tenanglah tenang tenanglah sayang.. 
(Iwan Fals - Lagu Satu)

...

Monday, August 27, 2012

cari jodoh

Perkenalkan, namanya Benny si landak mini. Umurnya lupa, yang jelas sudah cukup dewasa untuk beranak pinak. Benny sedang pusing, dia pingin kawin. Kalau ada betina yang tertarik untuk jadi istri Benny dan lokasinya di Jakarta, silakan tinggalkan pesan. Kalau berkenan, mungkin bisa jadi besan. :)





Monday, August 20, 2012

re-renovasi

Dari Parnassus, Cenote Sagrado, hingga Jabal Al-Nour, lalu kembali ke Olympus.

Untuk kesekian kali, kepala ini memang sudah seharusnya terkena re-renovasi. Dalam perjalanan pulang kembali ke rumah, terjebak di jalan (yang seharusnya) bebas hambatan sepanjang 130 kilometer dalam waktu sepuluh jam. Dan lihatlah mereka yang lebih gila, berdesak-desakan nyaris saja mengorbankan nyawa. Angin pun menghembus gusar, menangkap lontaran makian dari para objek lawakan semesta di sepanjang jalan raya. Megah pesta ini akan segera berakhir dalam hitungan jam. Para penghuni laut merah pun meringis, terkerjap dalam festival satu syawal dan euforia sebuah kemeriahan religi. Iman yang terlekang ternyata tidak butuh revolusi apalagi renovasi, dia hanya perlu ber-evolusi. 

Selamat pagi Tuhan yang maha memotret lagi maha menulis, apa kabar? Terima kasih atas kejutan-kejutan yang tak pernah bisa diperkirakan dan skema-skema yang kadang membuat kepala ini lintang pukang. Berbahagialah mereka yang tahu betul hidup memang sangat berharga dan sudah sepantasnya selalu dirayakan. Hari ini sudah habis, tapi adamu si maha kekal akan selalu datang dalam riang atau pekik kekecewaan, jadi terima kasih untuk selalu mengingatkan. Simpan gelasmu, pesta kali ini  hanya untuk mereka yang mengerti benar bagaimana caranya tetap bertahan dalam tenang.

Selamat lebaran kawan seperguruan.

... 


Khairunnas anfa’uhum linnas  atau sebaik-baik di antaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain. Sunnah rasul untuk (calon opor) ayam. 

...

Thursday, August 9, 2012

puisi yang tak jadi-jadi

Manusia itu makhluk paling absurd sepanjang masa. Dibilang mamalia, tidak juga, dibilang karnivora, bukan juga. Lalu dengan pongahnya dia memaknai semua makhluk hidup yang ada, mulai dari iblis sampai kura-kura. 

Saya sedang kesal. Saya ingin buat puisi. Tapi menulis puisi bukan spesialisasi yang saya miliki. "Tulisan lu aneh. Kaya bukan tulisan perempuan." Memangnya ada karakterisasi tulisan perempuan dan laki-laki? Bah. Tulisan iseng-iseng pun juga kena sasaran diskriminasi. Teman saya bilang saya kurang sense of sensitivity untuk menulis puisi. Nulis puisi itu pakai perasaan, bukan pakai kepala. Setahu saya, perasaan adalah manifestasi dari pergolakan yang tak tertampung di kepala, lalu dia meleleh, meluber keluar, karena kepala merasa ini sudah bukan ranahnya.

Siang ini saya tiba-tiba berpikir, apa sekiranya yang membuat ras manusia ini sulit sekali dipunahkan? Apa yang membuat makhluk hidup ini menjadi pintar sekali sekali beradaptasi di segala kondisi. Apakah karena akalnya? Atau karena dia memiliki nurani, perasaan, sensitivitas, intuisi? Yang jelas, tentu bukan karena manusia makhluk paling sempurna, karena ternyata masih ada manusia yang (kelakuannya) lebih buruk dari gorila. 

Gurita raksasa dari Afrika Utara konon adalah salah satu binatang paling cerdas tapi lambat-laun banyak dari mereka yang mati tak mampu bertahan dalam seleksi. Pemerintah Afrika juga sudah mulai keringatan pantat dengan isu kepunahan mereka yang sudah diambang mata. Wah, lalu apa yang membuat manusia dengan gagahnya bisa terus bertahan? Karena manusia (seharusnya) punya perasaan? Yah, tak tahu lah.

Setiap saya memberanikan diri membuat puisi, yang keluar adalah rentetan kalimat cheesy yang terdengar seperti soundtrack cerita yang dikemas oleh Raam Punjabi. Hih. Tapi, satu hal yang tiba-tiba saya mengerti, akal dan pikiran ternyata berbanding lurus dengan keleluasaan yang berujung pada keegoisan. Cuma karena merasa kepala kita bisa memuat banyak hal, kita menyamakan kebesaran alam semesta dengan alam pikiran.  Seringkali kita terlalu sibuk berpikir, merumuskan, memberi arti, mendefinisi, mencoba mengerti, sehingga kita sudah lupa bagaimana caranya belajar menggunakan perasaan. 

Ya, persis seperti yang saya lakukan sekarang.  

...


Cipularang, 2012


"Biar cuma perasaan, tapi ini kan perasaan.." Kabut Sutra Ungu (Sjuman Djaya, 1979)

Monday, August 6, 2012

(bukan) tentang jerawat

Saya tidak pernah tahu apa yang benar-benar diinginkan oleh jerawat ini. Jerawat lain rasa-rasanya paling lama cuma dua minggu bertengger di pipi atau di dahi, jerawat yang satu ini benar-benar tidak bisa dikasih ampun. Sudah hampir satu bulan rasanya dia menghiasi pipi kanan saya. Terus saja dia disitu, setiap pagi sehabis bangun tidur saya langsung berkaca memperhatikan pergerakannya. Dia tidak pernah tumbuh menjadi matang lalu mengempis seperti normalnya jerawat-jerawat lain. Sungguh ini adalah jerawat terkonsisten yang pernah mampir di hidup saya.

Dilihat dari jenisnya, dia memang sepertinya berbeda dengan jerawat-jerawat yang sering hinggap. Mungkin ini yang namanya jerawat batu. Jerawat marjinal, yang terpinggirkan karena memang jenisnya cuma sedikit, mungkin, dan sering kalah pamor dengan jerawat-jerawat normal lainnya. Tapi hal itu lah yang membuat saya menaruh perhatian padanya lebih dari jerawat-jerawat yang lainnya. Sialan, kenapa ya dia bisa bertahan kekeuh disana tanpa ada perubahan yang signifikan?

Sesuai dengan namanya 'jerawat batu', sifatnya ternyata memang nyaris sama seperti batu. Ini jerawat yang paling sulit dikalahkan dalam adu argumentasi, apalagi meminta sedikit toleransi. Wah, seringkali saya keder dibuatnya. Menjengkelkan sekali. Sesuatu yang sulit sekali diatur memang selalu menarik perhatian saya, tapi lama-kelamaan kenapa rasanya jadi begitu memuakan? 

Hari itu entah kenapa saya kesal sekali dibuatnya. Jerawat ini harus lenyap dari kehidupan saya. Saya pun bergegas mencari solusi penghilang jerawat batu yang benar-benar mujarab, konsultasi sana, konsultasi sini, tantangan berikutnya yang harus saya taklukan adalah menyingkirkan kamu dari kehidupan saya. Huh. Akhirnya ketemu, satu obat yang ampuh. Malam itu juga saya oleskan tebal-tebal pada jerawat batu sialan itu. Lihat saja nanti, besok pagi kamu sudah harus pergi dari tempat ini. 

Selamat tinggal. Tempatmu sekarang di kolom obituary.

...

menulis bagian dua

Semiskin-miskinnya seorang manusia, saya pikir, dia harus punya alat tulis. Atau mungkin, sebodoh-bodohnya manusia, dia tetap harus bisa menulis. Karena (menurut saya) cuma dengan menulis kita bisa bertemu dengan diri sendiri tanpa perlu banyak permisi dan basa-basi. Mengeluarkan yang bau, membersihkan yang kotor, atau menyimpan hal-hal yang menyenangkan. Menulis (menurut saya lagi) adalah salah satu manifestasi kebutuhan akan teritori, sebuah wahana area eksplorasi tersendiri.

Saya pernah bertanya pada diri saya sendiri, siapa yang lebih kamu kenal, Karl Marx atau kakek buyutmu sendiri, Ompung Syekh Ibrahim Sitompul? Saya menjawab pilihan yang pertama. Kenapa? Karena dia menulis. Ya, sesederhana itu. Pak Pramoedya pun suatu waktu pernah menulis begini, "Sesederhana cerita yang ditulis, tetap saja dia akan mewakili pribadi suatu individu."  Saya ingin dikenali secara personal oleh (calon) cucu-cucu saya, keponakan-keponakan saya, atau mungkin anak teman-teman saya, siapa saja lah dari tulisan-tulisan saya. Mungkin mereka akan tertawa, akan tersenyum, atau mungkin merasa jijik haha, apapun itu, yang jelas mereka akan memiliki keterikatan emosional dengan saya. 

 Beberapa hari yang lalu, seorang teman sempat berkomentar, "Galuh sekarang produktif banget di blog." Saya nyengir, setelah saya pikir -pikir ada benarnya juga. Blog ini sebenarnya sudah ada dari tahun 2009, tapi saya mengisinya jarang-jarang. Kalau sedang mood, lagipula saya menulis juga di beberapa tempat yang berbeda. Ada kemungkinan karena sekarang saya memang tidak punya lagi 'area kebebasan berekspresi'. Dulu saya punya Garage Store, proyek iseng-iseng yang ternyata menghasilkan uang. Disitu saya bebas melakukan apa saja, mendandani dan memotret model sesuai keinginan dan imajinasi saya, sekarang setelah saya ganti profesi yang berbeda 180 derajat, saya kehilangan area teritori dimana saya bisa menjadi diri sendiri.

 Menulis adalah salah satu bentuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Jika dipahami dari teori pragmatisme William James, menulis merupakan sebuah gerakan atau bentuk tindakan berpikir manusia. Sekali waktu Albert Einstein mengatakan, "Aku menulis untuk memenuhi kebutuhan berpikir.”  Menulis itu seperti ibadah yang diperintah oleh sebuah agama. Suatu aktivitas rendah hati yang sangat personal, tak perlu berisik membuat gaduh yang menganggu. Apresiasi pembaca adalah bentuk pahala bagi penulisnya. Tak jelas rupa dan bagaimana mendapatkannya, namun cukup menumbuhkan rasa bahagia. Yang jelas saat ini untuk saya, menulis adalah bentuk pelarian yang sangat sempurna dari dunia nyata. (Sama seperti agama juga, bukan?) Hehehe. Peace, ah.

...

Sunday, August 5, 2012

memory, my ass

It's funny how melody sounds like a memory. No, it's actually scary. Hari minggu ini terasa sangat panjang. Selain jadwal menyikat kamar mandi dan mengepel lantai, dalam dua puluh empat jam ini tidak ada yang benar-benar perlu saya lakukan. Saya masih terbujur seperti mayat kaku di atas kasur, mencoba mengingat-ngingat apa yang perlu saya kerjakan sampai playlist notebook saya tiba-tiba memutarkan sebuah lagu. 

I remember…The way you glanced at me, yes I remember
I remember…When we caught a shooting star, yes I remember
I remember.. All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember.. All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Brakkk. Memori tiba-tiba saja menabrak, menyeruak dan saya terlempar ke dalam mesin waktu. Bajingan. Saya selalu benci saat-saat seperti ini, ketika tiba-tiba saja kepala saya bisa sedemikian cerdasnya merangkai kenangan dan peristiwa. Seperti dipaksa duduk dalam sebuah  bioskop yang menayangkan rekaman-rekaman di masa lalu yang membuat lidah ini kelu, sekelu-kelunya. Andai otak bisa dibongkar pasang, mungkin saya akan bergegas cari obeng kembang, lalu mengencangkan skrup-skrupnya yang goyang. Shit. Saya harus segera keluar dari tempat ini.

Do you remember?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember..When my father thought you were a burglar
I remember.. All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember.. All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Sialan, penyanyi perempuan itu terus-menerus berkoar dari dalam speaker vaio putih berukuran 15 inci.  Apa kamu masih ingat? katanya genit. Ya, teriak saya kesal dalam hati. Ya, betul saya masih ingat, tenang saja, saya masih ingat semuanya. Saya masih ingat tepat tanggal, bulan, dan tahunnya. Lekuk wajahnya, gaya bicaranya sampai suara tawanya yang menstimuli naluri kompetitif saya untuk memiliki dia, hanya buat saya. Kenapa tiba-tiba saya jadi ingin sekali salto? Saya menerawang, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Berharap tiba-tiba saja menemukan satu perangkat alat angkat besi atau apalah, yang penting saya bisa sesegera mungkin mendistraksikan energi.

I remember.. the way you read your books,
Yes I remember.. the way you tied your shoes,
Yes I remember, the cake you loved the most,
Yes I remember, the way you drank you coffee,
I remember, the way you glanced at me, 
Yes I remember, when we caught a shooting star,
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember 

Jemari ini seperti terkena ayan, bergerak terus-terusan. Salah, ternyata perasaan yang kena ayan, meminta paksa untuk ditenangkan. Ah kenapa ingatan ini terus memburu saya sampai di saat-saat saya sudah berdamai dengan perasaan? Malaikat pengontrol kenangan pasti sedang cuti pergi liburan, atau jangan-jangan dia malah sedang kurang kerjaan, lalu dicarinya manusia-manusia bodoh seperti saya, yang mudah sekali terkatalis dengan beberapa larik lagu roman picisan. Saya tidak tahu, apakah ini rindu, yang jelas ada suatu pretensi tak mendasar yang tiba-tiba saja muncul, minimal-minimal saya ingin tahu apakah dia masih bernafas dan hidup.

 Akhirnya saya menyerah, pendirian mulai goyah. Sempat bersikukuh ingin berdiam diri saja, sembari mengingat-ingat pesan Mario Teguh, tapi yang ada saya malah menjadi bernafsu ingin menempeleng kepala botaknya. Saya turuti kemauan sisi impulsif saya yang bersorak-sorak senang merasa menang. Saya bangkit, mencari-cari telepon genggam yang terselip dibalik selimut. Lalu saya kirimkan sebuah pesan, kepada dia si pembawa ingatan yang meluluh-lantakan semua pertahanan. Entah apa reaksinya, saya juga tidak begitu perduli. 'Sedang apa' atau 'apa kabar' mungkin akan terdengar terlalu tawar. Saya mengetik kalimat yang lain. Singkat saja, cuma tiga kata.

"Saya habis muntah." 

 Pesan terkirim.

... 

Saturday, August 4, 2012

pengakuan nomor dua belas delapan

Setiap bulan ramadhan saya sering merasa beribadah dengan cara dipaksakan.

Kopiah, jilbab, ketupat, sinetron religius, khotbah, hingga ring tone dan RBT yang serba muslimin dan muslimah, semua seperti mendadak Islamiyah. Sejak saya kecil dan belajar puasa, guru agama saya di sekolah kalo tidak salah pernah bilang "Bulan ramadhan ini ibarat big sale dari Alloh, ayo lebih rajin lagi sholatnya." Saya masih belum paham konsep big sale tersebut, apakah pahala jadi lebih murah, begitu? Karena terus terang saya tidak pernah berniat membeli pahala. Saya selalu percaya, konsep barang murah kalau bukan second pasti kualitasnya jelek. Oleh karena itu, tentu saya tidak mau dapat pahala setengah harga dengan kualitas nomor dua.

Kedua, konsep maaf-maafan yang (maaf) menurut saya basi dan dan tidak beresensi. Masak mau maaf-maafan aja harus nunggu lebaran? Kalau orangnya keburu meninggal, gimana? Kan kasihan. Semakin saya besar, saya semakin merasa bulan ramadhan ini maknanya sudah meluntur, lebih seperti festival religi besar-besaran yang dikonsumsi secara kolektif, bukan lagi sebuah ritual proses penyucian diri yang sifatnya ekslusif.

Ketiga, entah karena teknologi yang semakin mencirikan kebesaran ego manusia, atau hmm pencitraan diri? Saya semakin positif merasa bulan ramadhan tidak lagi memberikan saya suatu etape yang mampu menjadikan saya sebagai seorang pribadi yang semakin agamais, yang ada malah mereduksi keinginan saya untuk berlomba-lomba mencari pahala seperti yang diserukan oleh para alim ulama. Lagi pula konsep pahala itu apa dan bagaimana cara mendapatkannya juga masih belum jelas seperti apa.

Dua hari lalu saat saya mengunjungi tempat karaoke di bilangan Sarinah, saya mengamati si mbak-mbak yang biasanya memakai rok mini sekarang jadi memakai rok panjang serba tertutup. Ironi sekali. Ramadhan seperti jadi ajang lucu-lucuan, mungkin dianggapnya laki-laki Islam itu pria-pria mental tempe yang tidak boleh dikasih liat pemandangan bagus sedikit, atau puasanya bisa batal nanti. Kenapa ga sekalian aja pakai kostum onta dan jualan korma? Terus terang, untuk saya itu adalah sebuah penghinaan.

Keempat, seperti yang sudah saya sebut di atas, ramadhan di jaman modern adalah sebuah festival religi yang megah dengan kembang api yang meriah. Pusat perbelanjaan yang berlomba-lomba meraup keuntungan dari para muslimin dan muslimah yang berlomba-lomba pula membelanjakan uangnya. Lalu masyarakat yang rela membeli tiket seharga dua kali lipat dari harga aslinya hanya untuk pulang ke kampungnya di hari raya. Saya paham dan mengerti konsep puasa, yang saya tak paham, pembungkus edisi kegiatan manusia selama satu bulan yang dengan gamblangnya dilabeli 'edisi ramadhan'.

Salah satu akibatnya? Saya sering merasa tak enak hati ketika kelupaan shalat ashar akibat keasikan nonton film atau baca buku, akibat lagi, saya jadi sering shalat dengan setengah hati, bukan karena saya memang ingin shalat, tapi lebih karena, "Hey goblok ini bulan ramadhan." Lucu ya? Enggak juga sih. Seperti belum juga mendengar lagu baru peterpan di tengah lautan penggemar yang sibuk berdiskusi, saya jadi merasa kampungan sendiri. Karena semua orang melakukan dengan berlebihan, saya jadi merasa tidak enak kalau tidak ikut-ikutan. Intinya, saya jadi sering merasa tertekan kalau tidak beribadah lebih rajin di bulan suci yang konon ditunggu-tunggu seluruh umat Islam.

Hari lebaran buat saya bukan lagi sebuah hari kemenangan dimana saya seharusnya bertransformasi menjadi seseorang yang lebih baik, melainkan sekadar euforia romantisme berbasis memori, seperti suara takbir yang bersahut-sahutan (ya, ini cukup menggugah rasa keTuhanan), berbagai macam kue-kue dan masakan, letupan atmosfer rasa senang ketika bertemu dan berkumpul bersama sanak saudara, dan tentu tak lupa; dapat uang serta libur panjang.

Kemarin saya menguping pembicaraan dua teman kantor saya, entah apa pula yang mereka bicarakan, tiba-tiba teman saya nyeletuk, "Eh lagi bulan puasa ga boleh bohong lho!" dan saya langsung menimpali, "Kalau lagi ga puasa juga ga boleh bohong, tolol." Dia bilang saya kasar lalu saya sengaja tertawa, berusaha mengubah konteks percakapan menjadi bercanda sembari tetap merutuk dalam hati.

Rasa-rasanya tidak ada yang perlu dibesar-besarkan di bulan ramadhan, karena menurut saya bulan itu sendiri sudah memiliki makna yang sangat akbar. Seperti mendandani kayu jati, kayu kelas satu yang terkenal karena keawetan dan keindahannya, atau sederhananya, seperti memasok air ke dalam lautan.

Terasa palsu dan percuma.

...

sepatu

Perempuan gila sepatu itu biasa. 
 Tapi apa kau tahu? Kita, perempuan lah yang dipilih oleh sepatu.

Silakan pilih kelir acak corak, kata penjualnya. Selalu seperti itu. Pantofel, ankle boots, rain boots, flat, stiletto, ayo apa lagi? Perempuan, bisa jadi akan jatuh cinta berkali-kali pada banyak sepatu. Namun tetap saja, pada akhirnya sepatu lah yang memilih pasangan kakinya, yang paling sesuai ukurannya. 36, 37, 37.5 sampai hmmm 42? Sepatu mungkin cuma bisa berdiam diri menunggu dipilih, tapi dia memiliki hak prerogatifnya sendiri, menentukan ukuran kaki yang tepat dengan kapasitas yang dimiliki.

Kamu tidak akan pernah bisa memanipulasi ukuran kakimu sendiri. Tumitmu akan menjadi bagian yang protes paling keras ketika kamu mencoba menipu. Yang paling sesuai ukurannyalah yang bisa membuatnya nyaman dipakai. Salah sedikit kaki bisa jadi lecet, tidak enak dipakai, dan sepatu itu pun  akhirnya jadi terbuang percuma, teronggok di sudut lantai kamar. Modelnya cantik luar biasa, warnanya cocok sekali dengan dress yang baru dibeli di mangga dua, lalu bahannya? Kulit sapi asli yang sempurna. Ahh, sayang ukurannya tidak pas. Berapapun uang yang kamu punya, silakan pulang dengan hati meradang. 

Sama halnya seperti memilih pasangan. Ada yang ganteng, yang pintar, yang tajir, yang tajir beut, yang soleh, yang romantis, wow begitu banyak pilihan, katakanlah, kamu sangat jatuh cinta padanya. Namun pada akhirnya, cuma yang sesuai gelombangnya, yang sesuai unsur kimiawinya, yang sesuai porsinya yang membuat nyaman. Tidak lebih, tidak kurang. Memaksakan kehendak sama saja seperti memaksa memakai sepatu yang terlalu kecil ukurannya..  bikin hati lecet.

Oke, lagu Anang Ashanti nya bisa gak kalau diputar sekarang?

...


Friday, August 3, 2012

the art of living alone

Uluwatu, Bali 2011

Aristoteles pernah bilang, manusia yang bisa hidup sendiri itu kalau bukan malaikat ya berarti hewan. Kata terakhir memang terdengar sangat peyoratif, atau sebaliknya sangat amelioratif. Merujuk pada kontekstual kajian historis, Aristoteles saat itu mungkin sedang PMS, lalu mendadak nyinyir. Intinya dia menekankan, manusia adalah makhluk sosial, titik tidak bisa koma.

Tapi dalam Into The Wild, Alexander Supertramp memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mapannya, meninggalkan keluarga, teman-teman, uang, lalu pergi ke utara Alaska, sendirian. Untuk menemukan dirinya, untuk menemukan kebahagiaan di tengah kesendiriannya.  Tapi di akhir proses perjalanan tersebut dia malah merumuskan, "Happiness only real when shared." Jiahh.

Di awal tahun 1990-an Jepang mulai ramai dilanda penyakit sosial; Hikikomori, semacam gejala autis yang dibikin sendiri. Dengan sengaja menarik diri dari lingkungan pergaulan, lalu tidak keluar rumah sampai berbulan-bulan. Di Jepang, Hikikomori bahkan bisa terjadi sampai sepuluh tahun lebih. Sinting? Bisa jadi. Tapi apa bukan berarti faktor kesintingan itu justru disebabkan karena terlalu banyak bergaul dengan manusia yang sinting-sinting?

 Buddha Shakyamuni konon memutuskan pergi mengembara seorang diri untuk mencari ketenangan batin.  Muhammad bin Abdullah juga sering digambarkan menyepi di gua hira sampai berhari-hari. Menyendiri, mungkin adalah kebutuhan fundamental dari setiap manusia untuk mencapai sesuatu yang sifatnya 'sejati'.

Sepanjang hidup saya, ada kalanya saya benar-benar merasa ingin sendiri. Saat sedang sangat lelah, atau marah, rasanya ingin bicara sendirian saja. Saya jadi ingat obsesi melakukan perjalanan seorang diri yang sampai saat ini belum terlaksana. Tapi dipikir-pikir, sekarang pun saya hidup sendiri. Melakukan perjalanan seorang diri, sahur sendiri, tidur sendiri, cuci sendiri, sakit urus sendiri, belanja sendiri, persis lirik lagu dangdut Caca Handika. Sekarang ini.. ya sendiri juga, nulis sendiri, ngomong sendiri. Haha.

Saya sendiri belum tahu apa yang saya cari dengan menjadi sendiri, tapi yang saya tahu, sendiri bisa jadi adalah proses pertama menemukan kemauan diri, mau kemana? mau bersama siapa? mau bagaimana? Mudah-mudahan tidak akan lama.

Wahai tua, tolong jangan datang dulu ya.

...

"Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian." - Ir. Soekarno dalam Indonesia Menggugat. (asal jangan kesepian, ya)

can you really guarantee?


a piece of crap.

...

(hampir) setahun lalu

Aku percaya Muhammad dan kau percaya Isa. Hati kita bertaut pada dua konsep teologi yang berbeda. Lalu kita berdebat, memperkarakan sesuatu yang berbeda tahun produksinya. Dan di atas sana, Tuhan tersenyum, mungkin sedikit masam, mungkin sedikit gila.

Tuhan yang itu-itu juga.

untuk mantan pacar dan mantan pacarnya.
 ...

Wednesday, August 1, 2012

sekolah kartini


Bahagia ternyata mau juga mampir di pinggir rel kereta.




Ada yang aneh dari anak-anak ini, mereka tidak ada yang cengeng. Jangan bayangkan baby sitter ras melayu dengan kulit terbakar yang membawa tas sekolah serta botol air minum yang selalu siap sedia, berlagak manja tak ada jatahnya untuk mereka. Makan siang mereka cukup tempe dan telur yang dimasak bersama dalam kuali raksasa. Gadget mereka adalah pinsil dan buku yang harus mereka ulik terus-menerus, mampu membaca dan menulis adalah suatu terobosan besar yang membanggakan keluarga.

Gaya bercanda mereka adalah, 'bego lu' atau 'anjing lu' disusul bogem mentah yang mendarat manis di pinggul sebelah kiri. Ajaibnya, mereka tetap punya sorot mata yang sama, mata yang bersih dan sederhana, menatap lugas tanpa penuh prasangka, lalu ada tawa istimewa entah macam apa, saya tak mampu menerjemahkannya.  Esensi edukasi untuk mereka adalah berlatih mengasah nyali, memberanikan diri untuk tetap belajar bermimpi di sebuah koloni yang tak dianggap ada lagi. Di sudut utara ibukota yang terabai kepala mereka ditempa; ingat ya, kamu tidak boleh berhenti di nyaris saja.

Sekolah darurat; (noun) satu ruang pengap yang disesaki jutaan harap.

...