Lelucon yang tak lucu membuat kita bertemu. Pada suatu waktu di penghujung tahun, mungkin hari rabu atau hari minggu. Kamu terkekeh di
ujung sana dengan gurau parau yang kau kirimkan melalui udara. Kering,
tapi tokh gundah mau juga mengelana. Musim berlalu lalu kau mulai
merayu. Yang kau tak pernah tahu, rayuanmu adalah pelajaran pertamaku.
Garis
isoglosmu terpahat tajam di keseluruhan lingkarmu.Titik jarumnya tepat berada di tengah antara hidung
dan kedua matamu, berputar lalu berpendar. "Aku ini
bajingan," pekik punggung belakangmu keras dalam vokal yang radikal. Aku tertawa. Lingkaran
pinsilmu terlalu rumit untuk dibuat bersimetri, meski tambat kerap menyergap seraya menggenapkan gravitasi.
Kita menanam kelakar dalam peta jaring laba-laba besar yang keloknya berakar. Menguji berani untuk menyusuri tanpa berbekal sistem navigasi. Kompas andalan adalah rasa yang kita gunakan bersama; kamu, saya, dan begitu banyak dia yang menyimpan tanda seru dan tanda tanya. Kamu dan saya terlalu gegap untuk disumpal dalam satu definisi, kita selalu terafiliasi dalam banyak interpretasi.
Satu
titik tak pernah cukup buatmu, kau butuh banyak sekali konjungsi dan
preposisi. Ceritamu terekam dalam ribuan alinea yang berenik-renik
ketika kita bertukar kepala, menstimuli distorsi yang mencalar segala panca indera. Dalam diametral kita bicara dalam mata angin yang berbeda. Kau percaya, yang ada tak selalu kasat mata,
sayangnya aku tidak. Baris-barismu penuh dengan cerita romansa,
sayangnya aku tidak. Kau reaktif dengan struktur yang terukur dalam observasi, aku tidak. Kau kecewa dengan sesuatu yang melembaga dan penuh dogma, aku tidak juga. Kita tidak pernah berada dalam satu kalimat dengan titik yang sama,
akhirnya berdua kita menggantung harap pada koma yang memberi jeda.
Kepalamu adalah satu perpustakaan gelap dan akulah pembacamu yang lahap.
...