Friday, November 16, 2012

Tuesday, November 13, 2012

hello, uncle ho


Don't go back on your default baby 
i know its hurts 
i can see how hard your trying 
don't let go now 

Wait for the morning 
Wait for the morning dawn 
...


Suara empuk Amy Stroup terpaksa terhenti dari sepasang earphone yang saya kenakan di telinga. Sikutan perlahan seorang kawan disebelah kursi pesawat membangunkan saya. "Kita sudah mau mendarat," katanya singkat seraya mengenakan kacamata hitamnya. Saya menoleh ke kiri. Dari jendela terlihat sawah kehijauan lalu Mekong Delta yang dengan gagahnya melintas tegas di tengah hamparan tanah dan tetumbuhan. Lima detik kemudian terbentang pemandangan gugusan permukiman padat yang berhimpitan. Penanda sebuah peradaban.

Ah, Thank God. Saya benci naik pesawat, pada dasarnya saya memang takut ketinggian. Setiap bepergian kemanapun, dua detik setelah pramugari memeragakan aturan keselamatan penumpang, saya sesegera mungkin menutup mata. Mencoba menghayati obat anti mabuk yang tinggi kadar obat tidurnya. Setelah terlelap kurang lebih lima jam plus waktu transit di Singapura, akhirnya terbuka juga mata saya. Menguap sedikit, lalu meregangkan badan yang sedari tadi tertekuk kaku. Mengencangkan sabuk pengaman, menaikan kembali sandaran dan sekarang.. welcome to Vietnam! 


Perjalanan kali ini bukan perjalanan hura-hura dimana saya bisa menentukan itinerary seenaknya. Saya datang bersama kontingen tim putri DKI Jakarta. Kami berencana mengikuti The 5th Vietnam Hockey Festival. Rombongan kami cukup besar, 10 orang atlet dan 12 orang official. Matahari masih tinggi kala kami menjejakan kaki di Bandara Tan Son Nhat, Ho Chi Min City. Perut saya terasa lapar padahal belum jam makan siang. Maklum, atlet. Uhm. Maka mata saya langsung tertuju pada counter Burger King di pelataran bandara. Oh ya, cukup sulit mencari lapak junk food franchise di Vietnam. Ucapkan selamat tinggal pada Starbucks dan Mc Donalds. Berhubung mereka masih sedikit anti-Amerika, ada Burger King dan KFC saja sudah alhamdullilah. Hehe. 

Seorang pemandu berkebangsaan Vietnam sudah menunggu rombongan kami dengan mobil van besarnya. "Hello, welcome to Vietnam! My name is Huynh bla blu ble crott," sapanya ramah. "Uhm.. say it again?" "Huynh blo bli bla prett" ulangnya. "Hyu, what?" tanya seorang teman saya. "Ok, just call me Steven," jawabnya sambil melepas tawa. Hahaha. Bahasa Vietnam cukup rumit, kebanyakan kosakatanya berasal dari Bahasa China, ditulis dengan menggunakan huruf rumi dan dikategorikan sebagai bagian dari rumpun bahasa Austro Asiatik. 

Destinasi pertama kami adalah Halal Saigon, sebuah restoran halal ala Malaysia yang konon cukup terkenal di Ho Chi Min City. Walaupun begitu, rasanya ternyata biasa-biasa saja. Skala satu sampai sepuluh, Halal Saigon dapat nilai 6. Yah, 6.5 deh. Teh tariknya enak, segar, komposisi susu dan tehnya pas, tidak terlalu manis pula. Tapi makanannya, ya gitu deh. Untuk ukuran orang Indonesia yang gemar mengonsumsi MSG dan vetsin, restoran Asia Selatan sudah dipastikan tidak akan mampu memenuhi demand kegurihan yang tinggi dari lidah seorang Indonesia. 

Setelah urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan ke hotel untuk check in. Hotel kami terletak di Thu Khoa Huan, District 1. Hanya dua menit saja dengan jalan kaki menuju Pasar Ben Than yang terkenal itu. Hoho. Insting hunting barang aneh-aneh saya sudah membara tatkala melihat bangunan Ben Than dari kejauhan, sayangnya kami tidak boleh pergi kemana-mana. Pukul tujuh malam, acara Ice Breaker Welcoming Party dari panitia sudah menunggu. Ya, sudahlah.

morning in Vietnam 
breakfast ala Vietnamese
morning newspaper

Atmosfir komunis sangat terasa disini. Dari atribut palu arit hingga warna dasar merah, ucapan terima kasih pada partai-partai komunis di seluruh dunia yang dicetak besar-besar hingga berbagai quotes by Paman Ho, tokoh revolusi sekaligus mantan perdana menteri Vietnam. HCMC, biasa disingkatnya, terlihat seperti kota Jakarta pada tahun 1970. Meski ibukota Vietnam adalah Hanoi, HCMC jauh lebih maju dari Hanoi dalam aspek perekonomian. Maklum saja, pusat perniagaan memang sengaja diletakan di HCMC. Tidak seperti Jakarta yang rakus (pusat pemerintahan disitu, pusat niaga disitu juga, bah!) HCMC meski padat dan cukup macet, tapi masih cukup lenggang saat malam.

 Warisan kolonial dari Perancis sebagai bangsa yang pernah menjajah mereka juga masih tersisa di gaya kehidupan para Vietnamese. Salah satunya adalah baguette rules! Makan telur, pakai baguette, makan mie juga campur baguette, sampai makan steak pun tak disajikan dengan kentang, tapi dengan baguette. Buset. Cafe-cafe yang banyak bertebaran di District 1 juga mengikuti gaya cafe-cafe di Paris dengan teras yang lebar dan pengunjung dapat menikmati kopi sembari santai duduk di luar memandangi jalanan, meski sejujurnya pemandangannya tak indah-indah amat. Hehe. 

meja yang menggelikan
see? all about baguette
salah satu cafe di sudut HCMC

Saya agak kesulitan mencari makanan yang pas di lidah saya. Be-a-be-i is like everywhere and I can smell it appropriately even from a far. Oleh karena itu, mengonsumsi roti adalah pilihan paling tepat. Tapi lama-kelamaan bosan juga makan roti terus-terusan. KFC , Burger King atau Subway letaknya cukup jauh dari hotel maupun dari lapangan hockey tempat kami bertanding, alhasil pilihan lainnya adalah kentang. Untungnya di dekat lokasi pertandingan ada sebuah restoran kecil yang menjual ayam goreng lumayan enak. Lidah saya memang cukup merepotkan. Setiap bepergian ke luar negeri, masalah makanan selalu jadi persoalan besar, untungnya resto junk food yang notabene rasanya selalu sama cukup menolong saya.

Oh ya, orang Vietnam sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris. Meskipun bisa, dialek mereka cukup memusingkan, hampir mirip seperti orang-orang Canton di Hongkong atau Macau. Mereka sering memenggal setengah suku kata terakhir dengan seenaknya. Misal; ex-pen-sive menjadi ex-pen-si. "Its really expensi," katanya. Oke deh.  Di The 5th Vietnam Hockey Festival kami berhasil melaju ke final untuk kategori Cup Round, sayangnya langkah kami terpaksa terhenti di runner up, dikalahkan Emirates Dubai 0-2 dengan formasi tim yang terdiri dari dua pemain import timnas Jerman. Glek. Ya, wajar saja, lah. (Pembelaan) 




Salah satu yang saya sukai dari Vietnam adalah kopinya. Ciri khas kopi Vietnam adalah mereka biasa menyeduhnya dengan saringan logam yang bernama metal drip. Cara menggunakannya adalah dengan menyaring kopi dan air hangat, lalu dibiarkan menetes pelan-pelan dan keluarlah kopi yang berwarna pekat dengan bau yang nikmat. Minum kopi ini sebenarnya adalah budaya yang dibawa oleh Perancis dan turut menjadi warisan budaya Vietnamese. Saya sempat mencobanya di Indonesia, tapi ternyata butuh kesabaran luar biasa untuk menunggu kopi meluncur perlahan dari saringan. Haha. Sungguh saya ini memang jiwanya mental kopi instan. Oh ya, mereka juga terbiasa mencampur kopi dengan susu kental manis. Bhueekk.  Rasanya aneh, manis nggak jelas.

Ada satu pembicaraan yang menarik antara saya dengan Steven. Saat itu saya bertanya perihal mengapa di Vietnam jarang sekali ada restoran cepat saji Amerika, jawaban Steven cukup membuat saya sedikit tergugu. Katanya, "We are the communist, we made our own food. We don't need their food. I think you should try Vietnam food, it's quite delicious," Glek. Penggunaan istilah "their food" semacam afirmasi penolakan sekaligus pengotakan terhadap eksistensi bangsa Amerikah di tanah mereka. Bisa dimaklumi, sejarah kelam bangsa Vietnam memang diwarnai oleh kekejaman Amerikah yang memilukan.Oh ya, semua media massa di Vietnam juga dikontrol ketat oleh pemerintah. Semacam jaman Soeharto begitu. Hihi.

Totalnya lima hari saya berada di HCMC. Waktu bebasnya tidak terlalu banyak. Keseluruhan jadwal dan acara sudah diatur oleh pihak panitia dan official kami. Waktu bebas yang tersisa tentu kami habiskan untuk membeli oleh-oleh. Saya sempat curi-curi waktu untuk keluyuran di night market, jam setengah dua belas malam baru kembali ke hotel dan dueenk.. ternyata pelatih saya sudah menunggu di trotoar depan hotel. Haha. Tidak sempat mengunjungi Mekong Delta dengan traditional boat sambil berpose dengan caping. Hiks. Tapi saya sempat mengunjungi Katedral Notre Dama, Central Post Office, Ladies Temple, serta War Museum. 

Banyak gedung tua di HCMC dan hampir semuanya begitu terawat. Pemerintah mereka rupanya tidak main-main untuk urusan perawatan gedung tua. Seperti Katedral Notre Dame yang dibangun pada tahun 1863-1880. Sebuah bangunan bergaya neo-romanesque yang diapit dua menara lonceng setinggi 58 meter. Di depan katedral, patung Saint Regina Pacis menjulang tinggi dengan indahnya. Tapi yang paling saya suka adalah War Museum mereka. Tata letak koleksi, pengaturan ruang sangat terorganisir dan rapi. Meski koleksinya sebenarnya tidak banyak-banyak amat, tapi pemerintah Vietnam mengemasnya dengan sangat cermat. :D 



Vietnam adalah salah satu negara dengan penduduk pengonsumsi bir tertinggi di dunia. Disini semua orang minum bir. Tak heran, banyak sekali bule-bule yang senang nongkrong berlama-lama di cafe-cafe atau bar. Selain mendapat predikat sebagai negara produsen bir terbanyak di dunia, harga birnya pun termurah di dunia, lho. Setiap district punya bir masing-masing haha. Canggih, ya? Saya masih berencana untuk kembali ke Vietnam. Ke Hanoi, lalu naik kereta api menuju Halong Bay, lalu juga mengunjungi Muey Ne. Kalau bisa sih sekalian melintas Kamboja, Laos, lalu melipir sedikit ke kaki Himalaya dan leyeh-leyeh di Tibet lalu Nepal. Hahaha.


You see, travelling it's not always about get your thing pack in a bag and you know, a runaway. Its more like how you willing to see other people sharing their joy, laugh, hearing their stories, comprehend their distress or even just to learn something from stranger. Hence, sure I will see you at the other side of the world. Soon!

...