Showing posts with label the summit story. Show all posts
Showing posts with label the summit story. Show all posts

Sunday, August 27, 2017

the honeymoon: mendaki gunung kinabalu


*A very very late post! Udah setaun lebih dan baru sempet nulis tentang Kinabalu sekarang. Tapi tetep diposting akhirnya meski udah basi. Mudah-mudahan bisa membantu siapapun yang mau mendaki Kinabalu. Enjoy! :) 

Senin 15 Agustus 2016

Subuh. Saya sudah bertolak menuju bandara Soekarno Hatta lengkap dengan suami dan dua carrier besar. Ciyee suami. Kami baru saja dua hari menikah. Badan rasanya masih pegal-pegal dan lelah, tapi dari semua rangkaian acara pernikahan kami kemarin, ini yang paling saya tunggu-tunggu, honeymoon... ke gunung... Kinabalu!

"Ngebut, Pak!" kata saya ke supir taksi.

Thursday, September 1, 2016

bagaimana cara mendaftar untuk mendaki gunung kinabalu?



Tahun 2013 saya pernah terpaku melihat gallery photo seorang teman di laman facebook. Lanskap gunung berbatu dengan kontur dan bentuk peak yang sangat khas. Gunung Kinabalu. Yeps. Sejak saat itu, saya bermimpi pingin menginjakan kaki ke sana. 

Tapi ya, mimpi aja. 
Karena apa? 
Karena mahal. 
Haha. 

Tuesday, April 1, 2014

menyerang puncak

Jumat di akhir Maret yang sudah lama aku tunggu. Aku berjalan terburu masih dengan baju kerjaku, dress batik coklat setengah hitam. Kugendong carrierku, berpasangan dengan sepasang sandal jepit merah jambu yang baru kusikat bersih semalam. Rupaku berantakan. Duduk mengangkang dengan rok span di kursi belakang motor Supra milik abang ojek yang kupaksa kebut-kebutan menuju tempat pertemuan, betapa memalukan. Perjalanan panjang Jakarta-Wonosobo yang memakan waktu hampir 16 jam, sungguh mati pantatku keram.

Kurnia Jaya AKAP. Pukul sepuluh malam dan hujan deras yang membasahi Kampung Rambutan. Cuaca benar-benar kacau -- atau kita yang kacau? Aku duduk di kursi berbaris tiga dalam bus ekonomi tanpa pendingin udara.  Pria separuh baya duduk di sebelahku, kami berbicara layaknya teman lama, satu hal yang sudah jarang kulakukan di Jakarta. Interaksi berbudaya. Bus kelas ekonomi dengan segala kekacauan dan hiruk pikuknya selalu berhasil memaksaku kembali menjadi manusia. Untuk saling sapa, bicara, atau minimal mengenal siapa namanya. Gap itu luntur seketika, untuk beberapa jam ke depan, kami akan bersama-sama menggantungkan nasib ke pengemudi di depan sana. Bon voyage!


Thursday, February 20, 2014

i look for joy in a strange place

 I was surprised, as always, be how easy the act of leaving was, and how good it felt. 
The world was suddenly rich with possibility. 


Maybe I like too many things and get all confused and hung up running from one falling star to another til I drop.  I had nothing to offer anybody but my own confusion. There was nowhere to go but everywhere, so I just keep on rolling under the stars.  Somewhere along the line, I knew there'd be visions, everything; somewhere along the line the pearl would be handed to me. 


They danced down the streets like dingledodies, and I shambled after as Ive been dong all my life after people who interest me, because the only people for me are the mad ones, the ones who are mad to live, to talk, mad, to be saved, desirous of everything at the same time, the ones who never yawn or say a commonplace thing, exploding like spiders across the stars. 


I woke up as the sun was reddening; and that was the one distinct time in my life, the strangest moment of all. I was far away from home. Why think about something afflicted when all the golden land’s ahead of you and all kinds of unforeseen events wait lurking to surprise you and make you glad you’re alive to see? 


Because in the end, you won't remember the time you spent working in the office or mowing your lawn, you know? Just climb that goddamn mountain.

*Seluruh narasi diambil dari buku On The Road yang ditulis oleh John Kerouac. 
Dalam pendakian Papandayan, pertengahan Februari 2014.

...

Wednesday, January 29, 2014

happy people don't complain

Maka aku tak berani lagi protes kala dinginmu menggerus tulangku dan panasmu menyapa ketiakku. Kala lansekapmu mendadak kelabu dan kabut tebal menyapa pagi saat aku begitu mengharapkan matahari. Kala langitmu tiba-tiba memuntahkan dua kubik air tanpa permisi dan aku baru saja menaruh jas hujanku di carrier bagian bawah yang sulit dijamah. Atau kala jalurmu terasa begitu panjang, terjal dan menanjak hingga kedua kakiku keras berteriak. 

Tolong ingatkan aku bahwa keluh-keluh yang tercecer di setiap tanjakan adalah pesan yang ditolak cakrawala lalu terlempar kembali di udara, dan menghabisi siapapun yang berdiri di sebelahnya. Betapa beratnya perjalanan dengan mulut penuh omelan. Karena gerutumu bukan lagi kata, melainkan daya -- yang menghabisi sekaligus memberi. Perjalanan mendaki adalah prosesi saling mengisi. Kau dan aku adalah stimuli. Aku ingin berkelana bersama mereka yang selalu tertawa. Yang terduduk dalam lelah, diam dengan hembusan nafas panjang lalu tersenyum setelahnya. 

Wednesday, January 8, 2014

senang di burangrang

"It seems to me that this world has a serious shortage of both logic and kindness." - Murakami  (IQ84) 
Ini kali pertama aku menginjakan kakiku di gunung yang jaraknya hanya satu jam dari Kota Bandung. Aneh. Padahal ini adalah kampungku yang sebenar-benarnya. Gunung ini bahkan tidak pernah menjadi salah satu target pendakianku --  sampai aku bertemu orang ini. Orang aneh yang selalu mengaku tidak punya apa-apa, nyatanya dia selalu punya banyak cerita. Kepalanya sungguh kaya. 

Aku menghabiskan waktu hampir tiga hari dua malam di tempat ini. Waktu yang cukup lama untuk sebuah gunung dengan ketinggian 2.057 mdpl, padahal aku pun tidak mencapai puncaknya. Anehnya, aku tidak merasa bosan. Aku senang disini. Bertemu sepasang suami istri yang sungguh baik hatinya. Tipikal manusia yang rela memberikan tempat tidurnya untuk tamunya. Bayangkan, tempat tidurnya! Bukan saja dia memasak yang enak-enak, dia juga rela, bahwa aku -- orang yang baru saja dia kenal -- tidur di ranjangnya. Dan lalu, dia sendiri tidur di luar, padahal dia sedang batuk parah. Dan kau tahu kan, angin macam apa yang akan menyapamu di gunung ketika malam hari? 

Di tempat ini, bulan lalu bencana baru saja bertamu. Longsor yang dahsyat disertai banjir bandang yang membawa hanyut banyak harta benda mereka. Ketika aku melihat bekas longsorannya, aku bergidik. Pohon-pohon serta batu-batu besar luluh lantah terbawa air menerjang rumah-rumah mereka. Anehnya lagi, tak kutemui pula kemurungan disini. Semua terlihat biasa-biasa saja, makan dengan lahap, tidur dengan  nyenyak. Rupa manusia yang merasa tidak punya apa-apa -- dan lalu tidak pernah merasa kehilangan apa-apa. Betapa ringan hatinya. Dan sepulangnya dari sana aku tiba-tiba berpikir, "Sejak kapan aku berubah menjadi begitu transaksional, sejak kapan kita berubah menjadi begitu transaksional?"

...









Wednesday, November 13, 2013

suatu waktu di prau


Apa tujuanmu naik gunung? Ke puncak?
Ya,
Lalu? Supaya bisa posting foto di path, instagram, facebook? Begitu?
Bukan, jawabku, sedikit kasar. Aku suka melihat matahari terbit -- atau terbenam. Di pantai, mungkin kamu bisa dengan mudahnya melihat matahari terbenam ataupun terbit, cukup berbekal bangun pagi buta, ataupun duduk santai sembari minum soda menunggu senja tiba. Tapi di gunung? Beda persoalan. Kamu harus mendaki dulu sekian jam, bersusah-susah, dan lalu – terpukau kemudian. Itu indah. Sudah cukup. Itu saja. Indah.
***

Wednesday, October 16, 2013

setelah amuk reda



Ibuku protes. "Sering-sering amat ke gunung," katanya. Dia masih tidak terima dengan alasan saya, "Supaya waras, Ma" menurutnya justru orang yang ke gunung itu adalah orang-orang waras yang menjadi tidak waras. Yang banyak orang tidak pahami, mungkin, ke gunung untuk saya adalah untuk membuat segala sesuatunya menjadi sederhana. Kepala saya ini, kadang isinya terlalu banyak kutu busuk.

Bau asap knalpot Damri yang khas serta bau keringat calo kepanasan bercampur garam filter menyambutku malam itu di terminal dua bandara Soekarno Hatta. Ada dua kota yang akan kusambangi minggu ini. Pertama, Medan, untuk urusan pekerjaan, lalu secepatnya kembali ke Jakarta dan berputar haluan ke Yogyakarta. Aku sudah punya janji dengan Merapi minggu ini. 


Friday, September 6, 2013

ancala

Orang Tibet percaya, semakin tinggi dataran tempat mereka berdoa, maka semakin besar pula kemungkinan doa mereka akan di dengar oleh yang kuasa. Bagi mereka mayapada adalah segala, partikel yang menghidupi buana, mereka menyebut Everest sebagai sumber jagat raya. Maka para Lamaisme banyak yang melakukan perjalanan demi sebuah ketenangan spritiual. Mereka menyusuri Himalaya, melewati Annapurna, singgah di Pokhara, lalu mengunjungi Awalokiteswara di Potalaka.

Aku sedang punya banyak permintaan. Maka dari setahun lalu, aku sudah merencanakan perjalanan di hari ulang tahunku. Aku akan berdoa dari tanah tertinggi di pulau Jawa. Aku pergi ke Bromo, lalu ke pulau Sempu dan berakhir dengan mendaki Semeru. Aku bahkan sudah merancang kerangka doa yang akan kulontarkan, kupikir, akan bagus sekali kalau nanti di atas sana aku bisa meneriakan doaku sekeras mungkin, atau mungkin dalam hati saja. Tapi entah kenapa, sesampainya di atas sana, bodohnya aku malah tidak ingat sama sekali permintaan-permintaanku yang banyak itu. Aku tidak berdoa. Seingatku, satu-satunya doa yang kupanjatkan adalah aku minta agar perjalanananku ini dilindungi dan aku tidak celaka karena agenda perjalananku cukup gila. Aku cuma punya waktu tiga hari untuk tiga tempat ini. Di bandara sesampaiku di Jakarta, aku baru teringat kemana perginya permintaanku yang banyak itu?

Jadi dengan merasa sangat goblok, aku merunut kembali cerita perjalanan ulangtahunku kemarin, kenapa aku bisa sampai lupa tujuan utama aku pergi kesana. Karena tertawa sepanjang jalan, menatap megahnya deret pegunungan, memandang ribuan bintang berwarna perak yang berserakan di pekatnya bumantara, samudera Indonesia dengan arusnya yang mengamuk perkasa, birunya lanskap hingga ke titik terjauh yang kupandang dari seberang, dibuatkan sereal jahe oleh orang yang baru saja aku kenal di dinginnya suhu pintu semeru yang menusuk tulang, letih karena otot kaki terasa menegang sepanjang pendakian, lalu melihat semburat sinar matahari terbit yang memecah gagah semua spektrum warna di cakrawala. Alasannya ternyata singkat saja. Bahagia. Dan ketika kita bahagia, entah kenapa semua terasa cukup, semua terasa genap. Tiba-tiba saja aku tidak ingin apa-apa.  Untuk yang Maha Mulia, terima kasih sudah meminjamkan sepasang kaki yang sempurna. 


...

Tuesday, April 2, 2013

a little propane, a little firewood

 To mountain Arjuno we go. (10.955 ft)

“You never know what's around the corner. It could be everything. Or it could be nothing. You keep putting one foot in front of the other, and then one day you look back and you've climbed a mountain.” - Hiddleston

...  




Thought of being utterly useless within the forest, facing the never ending rugged track, a monstrous darkness and frostily weather state completely scares the hell out of me, but as the wind's whistles have stopped being blown, surprisingly I become useful, at last.. to myself. It is not the mountain i conquer. But hell yes, It's me. It's me.

While listening to: 


Iron and Wine - Sunset Soon Forgotten 

Iron an Wine - Naked as We Came
One Republic - Good Life 
Edward Sharpe & The Magnetic Zeros - Om Nashi Me 
Benjamin Francis Leftwich - Box of Stones 
Red Hot Chili Peppers - Scar Tissue 
Radical Face - Wandering 
We Are Trees - Sunrise Sunset 
Greg Laswell - Comes and Goes 
Ingrid Michaelson - Keep Breathing
Lucia - Silence
Sepultura - Ratamahatta 
Snow Patrol - You Could be Happy
Nina Simone - I Put a Spell on You 

...

Photos taken by Maulana Marjuki, Bayu Adhi, Ivo Nofian, Zudha & Me