Jumat di akhir Maret yang sudah lama aku tunggu. Aku berjalan terburu masih dengan baju kerjaku, dress batik coklat setengah hitam. Kugendong carrierku, berpasangan dengan sepasang sandal jepit merah jambu yang baru kusikat bersih semalam. Rupaku berantakan. Duduk mengangkang dengan rok span di kursi belakang motor Supra milik abang ojek yang kupaksa kebut-kebutan menuju tempat pertemuan, betapa memalukan. Perjalanan panjang Jakarta-Wonosobo yang memakan waktu hampir 16 jam, sungguh mati pantatku keram.
Kurnia Jaya AKAP. Pukul sepuluh malam dan hujan deras yang membasahi Kampung Rambutan. Cuaca benar-benar kacau -- atau kita yang kacau? Aku duduk di kursi berbaris tiga dalam bus ekonomi tanpa pendingin udara. Pria separuh baya duduk di sebelahku, kami berbicara layaknya teman lama, satu hal yang sudah jarang kulakukan di Jakarta. Interaksi berbudaya. Bus kelas ekonomi dengan segala kekacauan dan hiruk pikuknya selalu berhasil memaksaku kembali menjadi manusia. Untuk saling sapa, bicara, atau minimal mengenal siapa namanya. Gap itu luntur seketika, untuk beberapa jam ke depan, kami akan bersama-sama menggantungkan nasib ke pengemudi di depan sana. Bon voyage!
Awan hitam menggantung di terminal Mendolo yang selalu sepi penumpang. Cuaca tidak terlalu baik, tapi seperti yang digagas oleh para serdadu militer yang siap berperang, we are locked and loaded. Tas kami penuh terisi, tekad kami terkunci. Pendakian Gunung Sumbing 3371 mdpl dimulai dari gerbang Bowongso. Jalur sepi yang dihindari pendaki.
Awan hitam menggantung di terminal Mendolo yang selalu sepi penumpang. Cuaca tidak terlalu baik, tapi seperti yang digagas oleh para serdadu militer yang siap berperang, we are locked and loaded. Tas kami penuh terisi, tekad kami terkunci. Pendakian Gunung Sumbing 3371 mdpl dimulai dari gerbang Bowongso. Jalur sepi yang dihindari pendaki.
Bukan main rindunya dengan aroma hutan tropis di belantara hijau dengan udara yang bebas polusi selain dari kentut teman sendiri. Menerabas tumbuhan dan ilalang di jalur yang begitu sempit, meraba-raba permukaan tanah yang tak terlihat agar kaki tak selip. Tiga jam pendakian dan aku sudah paham kenapa tak banyak pendaki yang memilih jalur ini. Tanjakan tiada henti, bukan hanya fisik dan mental yang di uji, sepatu tapak vibrammu juga di uji. Senja menyeruak meski hanya sesaat. Kami beristirahat di pos tiga, mendirikan tenda tepat pukul 7 malam dan tertawa terbahak-bahak di suhu 16 derajat, malam ini hangat.
Pukul dua pagi teriakan seorang teman sudah cukup untuk membuatku kembali terjaga di dalam tenda. Summit attack. Kupanaskan satu teko air untuk menghangatkan tubuhku. Perjalanan ini tidak akan mudah. Headlamp, senter tambahan, kutarik resleting jaket penahan anginku, kukaitkan tali sepatuku dengan kencang. Gear set up. Kabut tebal, langit tak berbintang. Tiga puluh menit pendakian dan puncak Sumbing mulai menampakan wujudnya dalam kegelapan.
Terseok-seok aku mendaki. Keringatku bercucuran, udara dingin mengecup kedua pipiku dengan brutal. Menyerang puncak adalah bagian tersulit dari sebuah pendakian. Titik tertinggi itu terpampang begitu dekat di depan mata, namun nyatanya, kakiku malah terasa lebih berat dari biasanya. Kedua tungkaiku tenggelam dalam rasa ketidaksabaran yang meraung kencang. Antara lelah, nafsu, dan ambisi, distraksi akbar yang membuat kakiku terhenti. Aku tidak akan bisa mendaki dengan beban sebanyak ini.
"Sepuluh menit lagi sampai!" teriak seorang teman. Tentu itu cuma impian. Seorang pendaki yang berjalan paling depan harus berlagak jadi pedagang multi level marketing dengan gombalan kelas kacang. Salah satu yang paling aku sukai dari mendaki gunung adalah keajaiban yang ditawarkan untuk berjumpa dengan diri sendiri dalam keadaan remuk redam. Bukan urusan siapa kalah dan siapa yang menang, ini adalah perihal berdamai dengan keadaan. Maka aku menundukkan diri, berhenti, memberi spasi. Mencoba memahami kaki yang enggan berkompromi dan aku mengerti dalam kantuk dan letih, di serangan fajar ini tak ada yang bisa diserang selain diri sendiri.
Summit. Siapa yang bisa lupa akan siluetmu pagi itu? Perlahan matahari datang dan langit bercahaya. Cakrawala merengkuh dengan pesonanya yang hangat. Puncak Sumbing membentang luas, sementara ujung lainnya tak terjangkau mata, satu ujungnya begitu mudah terlihat. Sebuah perasaan yang begitu istimewa, pengalaman yang harus kalian rasakan dengan segala indera. Dan aku.. telah tiba disana.
Markah pengenang, selamat datang.
...
No comments:
Post a Comment