Sunday, August 5, 2012

memory, my ass

It's funny how melody sounds like a memory. No, it's actually scary. Hari minggu ini terasa sangat panjang. Selain jadwal menyikat kamar mandi dan mengepel lantai, dalam dua puluh empat jam ini tidak ada yang benar-benar perlu saya lakukan. Saya masih terbujur seperti mayat kaku di atas kasur, mencoba mengingat-ngingat apa yang perlu saya kerjakan sampai playlist notebook saya tiba-tiba memutarkan sebuah lagu. 

I remember…The way you glanced at me, yes I remember
I remember…When we caught a shooting star, yes I remember
I remember.. All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember.. All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Brakkk. Memori tiba-tiba saja menabrak, menyeruak dan saya terlempar ke dalam mesin waktu. Bajingan. Saya selalu benci saat-saat seperti ini, ketika tiba-tiba saja kepala saya bisa sedemikian cerdasnya merangkai kenangan dan peristiwa. Seperti dipaksa duduk dalam sebuah  bioskop yang menayangkan rekaman-rekaman di masa lalu yang membuat lidah ini kelu, sekelu-kelunya. Andai otak bisa dibongkar pasang, mungkin saya akan bergegas cari obeng kembang, lalu mengencangkan skrup-skrupnya yang goyang. Shit. Saya harus segera keluar dari tempat ini.

Do you remember?
When we were dancing in the rain in that december
And I remember..When my father thought you were a burglar
I remember.. All the things that we shared, and the promise we made, just you and I
I remember.. All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn

Sialan, penyanyi perempuan itu terus-menerus berkoar dari dalam speaker vaio putih berukuran 15 inci.  Apa kamu masih ingat? katanya genit. Ya, teriak saya kesal dalam hati. Ya, betul saya masih ingat, tenang saja, saya masih ingat semuanya. Saya masih ingat tepat tanggal, bulan, dan tahunnya. Lekuk wajahnya, gaya bicaranya sampai suara tawanya yang menstimuli naluri kompetitif saya untuk memiliki dia, hanya buat saya. Kenapa tiba-tiba saya jadi ingin sekali salto? Saya menerawang, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Berharap tiba-tiba saja menemukan satu perangkat alat angkat besi atau apalah, yang penting saya bisa sesegera mungkin mendistraksikan energi.

I remember.. the way you read your books,
Yes I remember.. the way you tied your shoes,
Yes I remember, the cake you loved the most,
Yes I remember, the way you drank you coffee,
I remember, the way you glanced at me, 
Yes I remember, when we caught a shooting star,
Yes I remember, when we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me, yes I remember 

Jemari ini seperti terkena ayan, bergerak terus-terusan. Salah, ternyata perasaan yang kena ayan, meminta paksa untuk ditenangkan. Ah kenapa ingatan ini terus memburu saya sampai di saat-saat saya sudah berdamai dengan perasaan? Malaikat pengontrol kenangan pasti sedang cuti pergi liburan, atau jangan-jangan dia malah sedang kurang kerjaan, lalu dicarinya manusia-manusia bodoh seperti saya, yang mudah sekali terkatalis dengan beberapa larik lagu roman picisan. Saya tidak tahu, apakah ini rindu, yang jelas ada suatu pretensi tak mendasar yang tiba-tiba saja muncul, minimal-minimal saya ingin tahu apakah dia masih bernafas dan hidup.

 Akhirnya saya menyerah, pendirian mulai goyah. Sempat bersikukuh ingin berdiam diri saja, sembari mengingat-ingat pesan Mario Teguh, tapi yang ada saya malah menjadi bernafsu ingin menempeleng kepala botaknya. Saya turuti kemauan sisi impulsif saya yang bersorak-sorak senang merasa menang. Saya bangkit, mencari-cari telepon genggam yang terselip dibalik selimut. Lalu saya kirimkan sebuah pesan, kepada dia si pembawa ingatan yang meluluh-lantakan semua pertahanan. Entah apa reaksinya, saya juga tidak begitu perduli. 'Sedang apa' atau 'apa kabar' mungkin akan terdengar terlalu tawar. Saya mengetik kalimat yang lain. Singkat saja, cuma tiga kata.

"Saya habis muntah." 

 Pesan terkirim.

...