Saturday, September 15, 2012

catatan kehidupan nomor tiga puluh delapan

Seingat saya, Karl Marx pernah cerita begini: 

Alam tidak memberikan makanan kepada manusia seperti halnya binatang yang bisa langsung main sikat tanpa perlu mengolahnya atau -- memasaknya terlebih dahulu. Alam hanya memberikan bahan makanan yang harus diolah kembali oleh manusia, selanjutnya? Ya terserah anda. Dengan demikian tak berlebihanlah bila Marx menasbihkan manusia sebagai mahluk yang harus bekerja karena alam pun sudah mengaturnya demikian rupa.

Pada dasarnya, manusia memang harus bekerja, tujuannya ya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, untuk mempertahankan hidupnya. Tapi bertahun-tahun kemudian uang diciptakan dan peradaban pun mengalami percepatan. Manusia kini bekerja bukan lagi untuk mendapatkan sejumlah nonimal uang yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan dirinya, tapi juga mencakup kebutuhan pandangan orang lain akan dirinya (misalnya; membeli gengsi), untuk memenuhi tuntutan kelas sosial (yang bodohnya kelas tersebut juga diciptakan oleh dirinya sendiri) dan pandangan Tuhan tentang dirinya (misalnya; untuk biaya naik haji). Ya, kira-kira demikian yang bisa saya simpulkan.

***

Sudah hampir dua bulan saya bekerja di sebuah perusahaan software yang memproduksi tools untuk media filtering dan monitoring. Kebanyakan orang yang -ketika saya memberitahu pekerjaan saya- akan melontarkan pertanyaan kedua; "Apaan tuh?" Jadi mungkin saya akan jelaskan saja disini pekerjaan saya, sehingga teman-teman saya yang kebanyakan wartawan (dan sangat kepo sekali orang-orangnya) tidak perlu repot-repot lagi bertanya, "Apaan tuh?"

Intinya sih begini, saya bertugas untuk memonitor, menganalisis, membaca grafik dan data, lalu menyimpulkan, apa-apa saja yang ditulis oleh wartawan media anu, media ono, basically semua media sih, terutama yang sering sekali menuliskan berita dengan negative sentiment yang berlebihan untuk client saya. Berhubung sekarang sedang jelang pilpres 2014, maka client saya pun adalah orang-orang yang sedang melakukan pre-campaign untuk calon RI satu.

Saya tidak terlalu paham politik. Dari angka satu sampai sepuluh, mungkin saya dapat nilai tujuh. Itu berarti B yang hampir ke C, it's B minus, and i wanna get an A.  Itu salah satu alasan saya menerima pekerjaan ini. Saya ingin belajar. Di kantor baru ini saya bertemu dengan orang-orang yang paham sekali carut-marutnya dunia politik. Mereka yang memiliki analisis tajam membaca strategi propaganda dari perspektif media, dan saya belajar sangat banyak dari mereka. Middle boss saya adalah redaktur-redaktur majalah terkemuka yang sudah sangat berpengalaman. Sejujurnya saya senang bisa mengenal dan bekerja bersama mereka. 

Tapi setelah dua bulan berlalu, rasa itu datang lagi. Rasa yang sering hinggap ketika saya sedang menjalani sesuatu yang membutuhkan komitmen jangka panjang; rasa bosan. Rasa bosan ini memiliki variable pula, saya rindu jadi wartawan (alah). Sekitar dua minggu yang lalu, sebuah perusahaan grup media menghubungi saya, menawarkan pekerjaan sebagai wartawan untuk sebuah majalah. Grup media ini sebenarnya memang sudah saya incar sejak saya lulus kuliah satu tahun lalu. Oh sungguh bimbang hati anakmu ini, Mak. 

Hari kamis kalau saya tidak salah ingat, saya mendatangi juga kantor media tersebut. Jadwalnya hari ini adalah test tulis. Ini dia kantor yang sempat menjadi kantor impian saya dulu. Saya menunggu di lobby sampai resepsionis mempersilakan saya naik ke lantai empat, yang ternyata adalah ruang redaksi majalah tersebut. Lima detik setelah saya melangkah keluar dari lift, saya tergugu. Kantor ini penuh dengan monitor berkonde jaman megalitikum. Hehe. Saya jadi curiga pc mereka masih level pentium. Alamak. Terus-terang saja, saya langsung membandingkan dengan kantor saya yang serba Mac, serba canggih.

Lalu sesi selanjutnya, offering salary. Saya bertemu dengan pemimpin redaksi sekaligus vice president media grup tersebut. Sialnya, angka yang mereka tawarkan lebih rendah dari angka di kantor saya sekarang. Saya berusaha melobi mereka, mencoba menggugat angka yang lebih rendah itu, tapi mereka bersikukuh. Intinya, rate salary level di perusahaan mereka memang seperti itu. Hmmm.. 

Logikanya, seorang pekerja akan mencari angka yang lebih besar bukan ketika mereka harus berpindah kerja? Ya, saya paham itu. Tapi ditempat itu saya bisa jadi wartawan, bisa menulis, bisa mengeluarkan ide-ide di meja redaksi, ahh betapa menyenangkan. Tapi.. tapi.. ahh betapa banyak 'tapi' yang keluar di kepala saya siang itu sampai akhirnya saya memutuskan untuk mentraktir diri saya sendiri segelas kopi. 

***

Kembali ke cerita Marx, saat itu dia juga meramalkan bahwa ketika uang sudah menguasai peradaban, manusia akan melakukan apa saja demi uang. Mereka akan bekerja demi uang - bukan untuk memuaskan diri sendiri, bukan untuk aktualisasi diri, bukan pula untuk kebutuhan. Manusia - tak ada bedanya dengan robot pencari uang, yang bisa disetel sedemikian rupa untuk terus menghasilkan tanpa memerhatikan kebutuhan. Jadi, sekarang mana yang kau pilih? Uang atau kepuasan? Karena meski kerap disamakan atau dianggap saling bersinggungan, ternyata dua hal itu adalah hal yang sangat berbeda dan tidak memiliki korelasi antara satu dan yang lainnya.

Oke Marx, cukuplah kau berkicau. Kepala ini pening dibuatnya. 

***

Dia: Jadi mau pindah?
Saya: Belum tahu. Banyak pertimbangan, terutama soal salary. 
Dia: Tapi jadi wartawan itu kan kaya ilmu..
Saya: ... *tiba-tiba hening

Maka dengarkanlah ini sebentar; bila kau punya mimpi maka kejarlah. Sampai jatuh, sampai memar sikutmu, sampai biru dengkulmu, sampai lebam kepalamu, sampai mampus.

...

di petak sembilan bagian dua


Setelah tertunda sekian lama, akhirnya saya berhasil juga menyambangi kedai es kopi Tak Kie di Gang Gloria, Petak Sembilan. Menjajal Gang Gloria bagian pertama lihat disini ya. Saya cuma mencoba es kopinya. Teman saya, Sandri, memesan es lidah buaya, dan yang bikin saya penasaran sama tempat ini pun memang cuma kopinya. Walaupun begitu tempat ini menjual berbagai macam makanan, seperti bakmi, bubur, hingga nasi tim. Sayangnya, semua masakannya diolah pakai si binatang berkepala empat yang jalannya suka nunduk, jadi terpaksa saya skip deh. Hehe..

Mungkin karena saya terlalu bersemangat clingak-clinguk di kedainya sambil foto-foto, si pemilik Tak Kie, Koh Latief jadi ikut duduk di meja kami dan mengajak ngobrol panjang lebar. Orangnya baik dan suka curhat. Haha. Kami bicara tentang segala rupa, mulai dari curhatnya soal nama kedai kopinya yang tidak mau diganti pasca Soeharto naik jadi presiden, soal rasa kopi Starbucks yang menurut dia sangat 'berantakan', soal rasa kopi instan yang katanya memakai terlalu banyak beverage essence, soal pilkada Jakarta, sampai tips and trick cara membuat mie dari bambu, cara membersihkan daging babi supaya steril -__- hingga bagaimana cara memasak swike supaya dagingnya tidak hancur.

Saya suka kopinya, tidak terlalu manis, aroma dan rasanya juga sangat kuat. Segelas es kopi susu dibanderol Rp. 10.000,- "Sekarang sih enak yah, saya ga pernah pasang iklan, tapi banyak yang tahu Tak Kie dari internet," tuturnya. Biji kopinya diambil dari biji kopi Lampung, ramuannya didapatkan dari resep turun-temurun. "Tak kie itu artinya bijaksana dalam bahasa Mandarin," katanya. Usaha kedai kopi ini ternyata sudah berjalan sejak tahun 1927. Pasca G30S/PKI, plang kedai kopi Tak Kie sengaja disembunyikan, pokoknya dia bersikeras tidak mau nama kedai kopinya diubah menjadi bahasa Indonesia. Kalau ada ras di dunia yang sangat kuat identitasnya dan paling sulit dikenai doktrin asimilasi, ya ras Cina juaranya. Dibelahan dunia manapun, ketika ada ras Cina yang menetap, maka dia akan segera merapatkan barisan, membentuk lingkaran, dan lahirlah Pecinan. Haha.

 "Dulu Pak Bondan suruh saya suplai bakmi untuk warung kopinya, tapi saya ga mau. Soalnya dia mintanya ga pake babi, rasanya kan jadi ga enak," ceritanya panjang lebar. Selain mengurus kedainya, Koh Latief juga sibuk jadi suhu barongsai. "Saya ga suka sama pengamen barongsai, seenak-enaknya aja main-mainin barongsai buat cari uang," katanya sambil memperlihatkan fotonya semasa muda dan menjadi pemain barongsai. Hasil oceh-mengoceh dengan Koh Latief, kami jadi ditawari kue hasil bikinan dia, namanya kue Maco. Semacam onde-onde tapi dengan ukuran yang jauh lebih besar dan lembut, dalamnya berisi kacang. "Yang ini ga pake babi kok. Muslim kan? Assalamualikum.." katanya sambil tersenyum simpul. Hahaha. Kamsiah ya, Koh Latief.



...