Friday, April 10, 2015

epik

Dibalik rumitnya komposisi antarmuka dan pola komunikasi, aku percaya, mata yang mendengar tanpa distraksi adalah jenis interaksi yang dinginkan hampir semua penduduk bumi. 

Hari yang sangat panas di Pelalawan. Anak-anak ini menyambut kedatangan kami dengan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. Sebagian dari mereka dengan berani bercengkerama dengan kami, sebagian lagi hanya menatap dari jauh. Dengan dialek Melayu yang kental, seorang anak menyapaku. "Kakak darimana?" katanya. Matanya menyelidik  ke arah kameraku. Sebagian dari mereka memakai kaus kaki, sebagaian lagi tidak, dengan kaki telanjang mereka berlari-lari kesana-kemari. 

"Gubrakk!" 

Seorang anak terjatuh. Lututnya berdarah. Teman-temannya tertawa, sementara ia meringis. Ketika kameraku mengarah ke arahnya, sontak ia menyunggingkan senyumnya. Aku tertawa. Ketika waktu istirahat tiba, mereka bergerombol, berkumpul, saling menjahili -- sembari jajan mie yang dimakan sambil dibagi-bagi. Sebagian duduk di kursi satu-satu, ada yang mengaji, ada yang sibuk makan kuaci. Anak-anak ini -- kulitnya menghitam diterkam sengat cahaya, rambut mereka kemerahan, dan sudah bisa kutebak kalau dengkul mereka satu pun tak ada yang mulus, seragam mereka lusuh, sebagian koyak, tubuh mereka bau matahari. Tapi kau tahu satu hal yang sangat kusenangi dari tempat ini?

Tak ada satu pun yang main iPad disini. 

...