Showing posts with label thoughts. Show all posts
Showing posts with label thoughts. Show all posts

Wednesday, August 4, 2021

hardwork (does not) always pays off

Siapa yang merinding melihat kesuksesan Greysia Polii sama Apriyani? Aku! Siapa yang engga terharu lihat kisahnya yang jatuh bangun mulai dari Olympic di London dimana dia diskualifikasi dan dapat kartu hitam sampe akhirnya bisa dapat emas di Olympic Tokyo 2020? Sure it is a heartwarming story, inspiration, tapi pada faktanya engga semua kerja keras berbuah manis. 

Aku yakin banyak atlet bulutangkis yang even try harder than Polii or Apri, tapi ya engga kemana-kemana, di situ aja. Cerita-cerita yang jarang tersentuh, cerita-cerita yang jarang jadi headline, karena ya kurang menarik, kurang seksi, cerita kegagalan mana enak didengar? Cerita orang-orang yang santai aja ketika gagal adalah cerita yang paling susah dicari. Figur-figur terlupakan yang sebenarnya punya banyak kekuatan. 

Dan sekarang aku lagi nyari itu. 

Tuesday, July 14, 2020

requiescat in pace


Between life and death.. 

There is a minuscule gap, a gap of a moment
The previous moment you are there,
And the next you are gone

Tuesday, May 19, 2020

ramadan paling menyedihkan (sekaligus paling benar)

Sebenarnya tidak sedang ingin menulis, tapi kepala ini rasanya sudah sangat suntuk. Empat hari lagi lebaran.  Sedang tidak ingin menulis yang runut dan indah, jadi seadanya saja. 

1. Agak kurang suka dengan kultur kirim-kiriman hampers di hari raya dan mempostingnya di instagram. Sungguh riya. Sekaligus menyebalkan bagi orang yang mungkin tidak ada yang mengirim. Plus.. kalau buatku pribadi, agak merepotkan ketika seseorang mengirimiku hampers, lalu atas unsur tidak enak, maka aku akan mengiriminya hampers juga, mending kalau sekota, kalau beda kota. Sungguh repot. Tidak bisa ya kalau ucapannya via whatsapp saja? Uang biaya hampers kasi aja ke orang miskin. Lebih banyak gunanya. 

Thursday, November 14, 2019

hari raya yang masuk akal

Saya tumbuh dengan mengenal lebaran sebagai the ultimate hari liburan yang menyenangkan. Kembang api, baju baru, ketupat. Oh ya, sepatu baru tentunya. Semua harus baru. The festive day, hari raya! HARI RAYA! Semua harus serba mewah, makanan berlimpah, serba meriah, serba WAH!

Tapi kemudian saya belajar lagi mengenai filosofi puasa. Bukan ngomongin ibadah, nanti dulu, itu versi advance. Kita mulai dari yang paling basic saja: permainan kontrol diri. Game paling hardcore, paling susah! Dimulai dari menyederhanakan lidah dan selera. Percayalah, apapun yang dimakan pertama saat buka puasa itu rasanya paling enak di dunia!  Mau gorengan dari minyak jelantah murah meriah di pinggir jalan, atau bubur sumsum hotel bintang lima, SEMUA PASTI ENAK! Maaf, revisi, semua jadi enak! 

Lesson no 1: selera itu halusinasi dunia. Tipu muslihat paling biadab. Kalau sudah terlalu kenyang, lalu cari-cari lagi, cari-cari lagi, ingin makan apa, ya? Yang enak apa, ya? Padahal nasi putih aja terasa banget manisnya kalau habis puasa. Karena sesungguhnya, lidah tidak banyak minta jika kita latih dengan puasa. 

Thursday, November 7, 2019

lho, hijabnya kemana? ada kok, cuma lihatnya harus pakai kacamata 3D

Aku kalau lagi main hockey. Masih pakai manset, pakai legging, cause i don't wanna show too much skin. Engga pakai hijab, tapi masih sholat lima waktu, insya Allah. 

Galuh unhijab? 

WOW! SATU DUNIA HARUS TAHU! WKWK... 

Dulu saya sempat bingung, waktu artis Rina Nose lepas hijab, satu dunia kayanya rusuh, sibuk ramai-ramai meninggalkan pesan di kolom komentar. Isinya ga jauh-jauh dari: Saya doakan supaya Mbak Rina kembali ke jalan yang benar.. 

LOL mau doain apa mau ngejek sih? 

Sampai kemudian saya mengalaminya sendiri. Hahaha. 

Wednesday, July 3, 2019

things i wish people would've told me before i got married


Udah lama banget ga nulis blog. Pingin nulis, tapi nulis apa? Ya udah ini aja. 

Setelah tiga tahun menikah, dengan segala ups and downs nya, saya jadi kepikiran pengen nulis tentang kehidupan pernikahan. The dirty laundry about being in a marriage. Seingat saya, setiap saya baca artikel tentang pernikahan, yang disebut pertama adalah rata-rata bahwa pernikahan itu menyempurnakan ibadah. Kita semua tahu, hampir semua orang selalu senang dengan sesuatu yang diiming-imingi pahala. 


Yang mungkin jarang dibahas, helawwww you gaes, ibadah itu ga gampang hahahh.. ibadah itu somehow melelahkan.. surga itu jauuhhh dan berliku-liku. Jangan seneng dulu.. 

Wednesday, October 10, 2018

tentang charlie hebdo dan khabib nurmagomedov: tidak ada seorang pun yang berhak untuk marah


Paris, 7 Januari 2015 gempar. Kantor sebuah majalah satire bernama Charlie Hebdo diserang dua penembak brutal. 12 orang meninggal dalam kejadian itu, apa pasal? Majalah Charlie Hebdo adalah majalah kontroversial yang kerap memuat kartun-kartun satir, laporan, polemik hingga lelucon. Media tersebut dikenal anti-agama dan sayap kiri. Terhitung sejak diterbitkan perdana di tahun 1969, entah sudah berapa kali Charlie Hebdo memasang kartun Nabi Muhammad sebagai covernya. Tak hanya Islam, tim redaksi Charlie Hebdo juga pernah mengejek Paus dan skandal seks di gereja. 

Sesaat setelah berita penembakan ini naik di berbagai media sosial. Aku termasuk yang mengamininya. Meski sebagian besar orang menentang tegas penembakan itu dengan memasang tagar #JeSuisCharlie (yang artinya I am Charlie), aku tidak sedikitpun ingin menyalahkan si penembak. Alasannya? Pertama, well.. sebenarnya aku pun tidak bisa dikategorikan muslimah yang taat, tapi realitanya, Charlie Hebdo sangat keterlaluan dan luar biasa menyebalkan. Kedua, sedari dulu, aku tidak pernah paham (baca: tidak setuju) dengan konsep Kebebasan Berekspresi. Konsep ini cenderung bias dan karena ehm.. aku adalah Sartre groupie (untuk pemahaman mengenai teori kebebasan Sartre, silakan gunakan Google). 

Tuesday, January 31, 2017

suka berpetualang, perlukah bergabung dengan mapala?

Kalo aku sih, NO. 😆

Semenjak heboh kasus tiga orang mahasiswa meninggal di Mapala UII saat sedang mengikuti pendidikan dasar (diksar). Saya jadi banyak membaca komentar orang-orang di media sosial. Ada yang memang dia anak Mapala, ada juga yang bukan anggota Mapala. Komentarnya tentu bermacam-macam. Ada yang pro, ada yang kontra. Tentunya, yang pro kebanyakan adalah anggota Mapala, yang kontra ya sudah pasti lebih banyak masyarakat awam yang memandang kegiatan mapala (yang sebagian besar) seperti naik gunung itu adalah buang-buang waktu dan kerjaan orang stress. 

"Mending sekolah yang bener lalu nyari kerja nyari duit, lebih berguna," kira-kira gitu, lah, ya. 

Saya sendiri sih meskipun belum mengetahui betul apa yang terjadi saat diksar Mapala UII, fakta bahwa ada peserta yang meninggal sampai tiga orang bukan hal yang main-main lagi, kalau ga boleh dibilang PARAH BANGET. Setau saya, Pendidikan Dasar Wanadri aja yang bisa memakan waktu sampai 3 minggu untuk latihan survival di hutan engga pernah sampai memakan korban jiwa sampai segitu banyaknya. Ini diksar yang bahkan ga sampai seminggu, tapi kok bisa banyak korban? Apa yang salah? 

Gue ga tahu, bro..

*salahkan saja oknum 
*oknum is always the bad guy
*oknum is the new bastard
*oknum adalah koentji   
*ok gw ga komen lagi
*Takut disambit anak Mapala 
*dibilang sotoy 
*aku mah apa?
*cuma pacet di semak-semak

Wednesday, December 14, 2016

perempuan and how they spend their money

Pada suatu hari teman perempuan saya curhat. Intinya, dia bilang dia sedang sedih karena saat itu dia sedang dekat dengan seorang laki-laki yang bermaksud untuk meminangnya. Lalu, apa masalahnya? Masalahnya tidak ada, sampai suatu ketika teman dekat si lelaki yang juga mengenal teman saya berkomentar bahwa sebaiknya si lelaki itu tidak meminang teman saya. Alasannya? Karena teman saya ini katanya high maintenance dan gemar belanja. 

Heh? Come again? 

Monday, November 28, 2016

hijab saya: petanda yang melebihi penandanya

 "Galuh pake hijab sekarang?" 
"Errr... enggak.. belum!" 
Iya karena yang saya pakai itu bukan hijab, tapi cuma kain yang dipake buat tutupin kepala. Tapi untuk selanjutnya, kita sebut saja itu hijab. Udah ampir 4 bulan saya pakai hijab. Sebelumnya, setahun terakhir saya lepas-pasang hijab. Biasanya dipakai saat weekend. Masalahnya, kantor saya saat itu ga ngebolehin pegawainya untuk pakai hijab. Dan sebagai newbie dalam dunia perhijaban, saya memang merasa perlu untuk trial and error. (Baca: pake, terus lepas lagi). 

Banyak yang nanya apakah saya pakai hijab setelah menikah alias karena disuruh suami? Jawabannya, enggak. Saya sendiri memang pingin pakai. Dari awal, orang-orang di inner circle saya engga ada yang pernah nyuruh saya pakai jilbab. Baik bapak saya, atau calon suami saya waktu itu yang notabene level keimanannya jauh di atas saya. Hahaha. Pakai jilbab itu berat, jadi kalo cuma karena disuruh orang lain, beratnya bisa nambah dua kali lipat. I did it for myself, simply just because I wanted it to. 

Kenapa saya bilang berat dan kenapa saya baru (belajar) pakai sekarang?

Tuesday, July 12, 2016

kenapa sih harus menikah?

The word 'love' in the Quran appears around 90 times. Anehnya, ga ada satu pun kalimat yang mendeskripsikan apa itu cinta, tapi di setiap ada kata 'cinta' keluar, selalu disambung dengan penjelasan konsekuensi mengenai 'cinta', yakni: to commit. Islam talks about commitment, if you truly love, then you commit, if you do not commit, then your claim of love is not real. - Sheikh Yassir Fazaga


Foto milik Mba Anda Marie 

Rasul katanya pernah bilang, pintu berkah dari langit itu akan terbuka dalam empat situasi; pertama, saat turun hujan, kedua, saat pintu ka'bah dibuka which is ini kayaknya rare moment banget ya? Secara kalau sekarang ka'bah hanya bisa dibuka untuk dimasuki oleh golongan-golongan tertentu (baca: pejabat). Tapi konon jaman dahulu, pintu ka'bah itu dibuka dua kali dalam seminggu dan orang-orang bisa bebas masuk dan shalat di dalam situ. Tapi lagi, entah ka'bah yang mana pula yang dimaksud, jangan-jangan maksudnya adalah baitul makmur, ka'bahnya para malaikat di langit. *mikir* Anyway.. yang ketiga adalah saat seorang anak memandangi orangtuanya dengan penuh kasih. Ini kayanya saya sering dapet, deh. Memandangi dengan kasihan lebih tepatnya, kikikikikk.. Kasian bapak saya batuk mulu sekarang, hiks. Dan yang terakhir, adalah saat dua orang menikah..

Tapi itu kan konon. *facepalm*

Wednesday, December 30, 2015

dan lalu, tahun baru

Gema adzan subuh yang memecah kelam, lamat-lamat tapi gegap, perlahan merayap cahaya yang begitu terang. Sudah empat bulan ga pelesir. Pelesir dalam artian pergi ke satu kota yang asing untuk bangun siang, haha hihi, mandi, lalu pergi semau kaki.  Pingin pergi ke tempat yang tak terjangkau tukang tiki atau signal simpati. Pingin pergi ke tempat betis meraung terasa nyeri, tapi hati kok happy? Ke tempat yang jauh, berbukit-bukit dan tak seramai di pasar pagi. Cukup makan indomie, tapi bisa bilang 'Haloo.. this is my happy tummy'. Menapak gang-gang sempit sebagai perjalanan pembuka di sepanjang kebun warga. Menatap spanduk besar setengah koyak bergambar pria berkopiah dengan gombalan terindah. Menghirup udara dingin sampai hidung perih, lalu terselamatkan oleh secangkir kopi dengan air mendidih. 

Coba bilang, mana bisa mataku terpejam menatap pemandangan yang sedemikian jarang?

Friday, September 25, 2015

everest the movie (2015): leave nothing but footprint?

Gambar dari sini 
Sebagai seorang penikmat gunung tropis sejati, saya tidak pernah tertarik dengan gunung bersalju. Tapi menonton film Everest yang dibintangi oleh Jason Clarke menurut saya adalah suatu keharusan bagi seorang penikmat atau pendaki gunung. Efenerr menulis reviewnya dengan sangat apik disini.  
Film ini memberikan banyak sekali insight tentang naik gunung, teknik pendakian, teknik survival, teknik persiapan sampai manajemen pendakian. Seharusnya penonton tidak hanya terkagum-kagum menyimak bagaimana gagahnya Everest dan berbungah hati ingin mendaki, simak juga bagaimana detail dan rapinya pembagian yang dilakukan dalam pendakian. Ya, karena pendakian itu tak semata soal puncak. -www.effener.com

Wednesday, September 2, 2015

a best friend wedding

Salah satu cerita romantis yang melekat dalam ingatan saya adalah kisah milik Nabi Muhammad dan Siti Aisyah. Konon pada suatu hari, Muhammad bin Abdullah pulang larut malam. Lalu karena takut membangunkan Aisyah, maka dia tidak mengetuk pintu dan akhirnya tidur di depan pintu di teras rumah. Ketika pagi tiba, siapa sangka bahwa ternyata Aisyah pun tertidur tepat di balik pintu karena takut dia tidak mendengar ketika Muhammad pulang dan mengetuk pintu. Jadi sepanjang malam itu, sebenarnya mereka berdua tidur bersebelahan, cuma terhalang pintu aja. Romantis banget, ga sih? 


Friday, August 21, 2015

kun

Soe Hok Gie pernah berceloteh tentang manusia. Mungkin wacana ini didapatkannya setelah pulang dari pendakian yang terlalu melelahkan -- lalu alih-alih beristirahat -- dia malah membaca jurnal seorang filsuf Yunani. Intinya, dia mengatakan, nasib tersial adalah berumur panjang, yang kedua, dilahirkan tapi mati muda, dan mereka yang paling beruntung -- adalah mereka yang tidak pernah dilahirkan. 

Yaa.. mungkin dia lelah. 

Maaf, koreksi, dia pasti lelah.

Sebenarnya aku juga belum paham apakah kita beruntung atau tidak karena terlahir sebagai manusia. Makhluk yang punya kehendak dan keinginan yang begitu membabi-buta. Tapi konon jauh sebelum kita diberikan 'ketidakberuntungan' ini, nyatanya kita pula yang memilih untuk lahir di dunia ini. Dalam surat cintanya kepada Muhammad, Tuhan pernah bilang, bahkan gunung-gunung pun tak mau memikul sedemikian besar beban untuk menjadi manusia.  "Indeed, he was unjust and ignorant," tuturnya. 

Hari ini aku mengunjungi seorang teman yang baru saja melahirkan anak yang ditunggu hampir bertahun-tahun lamanya. Keadaanya tidak terlalu baik, beratnya 2.2 kilogram, kurang berisi untuk seorang bayi yang baru saja lahir. Temanku kepayahan. Kondisi kesehatannya pun tak terlalu baik. Tapi lalu aku melihat ibunya, melihat suaminya, mereka seperti membentuk satu tim yang solid dan menggalang kekuatan. Kau tahu? Kupikir, itu adalah salah satu kelebihan menjadi manusia. Kita tidak pernah dibiarkan benar-benar sendirian. Kita berinteraksi lalu membentuk koneksi dan tiba-tiba saja kita bisa menjadi begitu berenergi.

Mari kuceritakan tentang kisah manusia terlahir di dunia. Ini adalah cerita yang turun temurun disampaikan oleh manusia-manusia sebelumnya. Kabarnya cerita ini sudah teruji di berbagai zaman dan realita. Konon, jauh sebelum kamu bersemayam di dalam perut ibumu yang nyaman itu, kamu sudah ditanya, "Apakah kamu yakin kamu mau menjadi manusia? Apa tidak mau jadi malaikat saja?" mungkin kira-kira begitu. Lalu setiap manusia yang akhirnya terlahir ke dunia akan menjawab dengan bodohnya, "Tentu aku mau menjadi manusia." Dan lalu, "Kun", dia bilang begitu dan lalu lahirlah kau ke dunia.

Aku tidak ingat pernah ditanya hal sedemikian rupa. Mungkin jika aku ingat, aku akan dengan segera menyesali jawabanku waktu itu. Bukankah nampaknya lebih enak jadi malaikat daripada menjadi manusia? Tapi kau tahu? Setelah kupikir-pikir lagi, Itulah satu lagi kelebihan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya. Kita diberikan kesempatan untuk menyesal. Aku, kamu, kita bisa berpikir ulang untuk memperbaiki kesalahan. Kita diperbolehkan untuk menata strategi kembali, jatuh lalu berdiri lagi, tidur lalu bangun lagi, getir lalu bahagia lagi. Maka itu, sepertinya aku kurang setuju dengan ucapan filsuf Yunani yang dikutik Soe Hok Gie.

Seringkali kesadaranmu ingin menyerah saja, seringkali kau ingin halusinasi mengalahkan realita, tapi tunggu dulu, benarkah semua yang dirasa itu nyata? Welcome to the very new exciting journey. Sure there is still so much more to learn and see. The never ending story of confusion, rebuild your new model of rule and morality, reconstruct your own view of faith and personality, it is  going to be a wild ride, but hey, you made it out alive. And at this very moment, your face alight, look at the bright side, and everything's going to be alright.

Untuk Dwi Angraeni, happy motherhood. :)

Monday, August 10, 2015

hal-hal tentang gunung yang perlu kamu tahu

Setiap perjalanan menuju kantor, saya selalu berpikir ada dua hal yang harus dihindari. Pertama, Kopaja ugal-ugalan yang ga sadar body. Yang kedua, ibu-ibu yang pakai motor matic. Kenapa? karena ibu-ibu pakai motor matic itu biasanya cuma tahu cara pakai motor aja, tapi kayaknya dia sama sekali tidak paham kapan kita seharusnya  bunyikan klakson, kalau mau belok kiri kapan kita harus nyalakan lampu sein, dsb. Oleh karena itu saya selalu kesal sama orang yang beranggapan, "Ah matic, gampang bawanya." Karena bukan itu yang seharusnya dipelajari pertama, tapi bagaimana cara berkendara. The rules, the do's and the don'ts, how you get along with other, etc.

Nah, biasanya saya sering ditanya sama teman-teman yang belum pernah naik gunung atau akan naik gunung, tentang apa dan bagaimana persiapan naik gunung. Lalu saya mikir, kalau teknis kayanya sudah banyak sekali artikel yang membahas, di bawah ini adalah hal-hal non teknis, hal-hal yang saya tahu, saya alami, kalau ada yang salah atau ada yang kurang, semoga bisa dimaklumi. Selamat naik gunung! :D 


Tuesday, July 28, 2015

bulan ke sembilan

Mereka yang lemah biasanya dibangun dari nostalgia, beberapa dibangun dari pemikiran, dan sisanya - yang nyaris saja langka - adalah mereka yang dibangun dengan iman. Hari ini Idul Fitri. 

Ini hari yang katanya suci, tapi kita seperti kuda liar yang baru saja dilepaskan dari penjara besi. Semakin banyak saja pertanyaan yang tidak terjawab, semakin banyak pemahaman yang melenyap. Seberapa bagus dan mahal mukenamu, percayalah kau akan terlihat biasa saja di lautan manusia yang bertumpuk-tumpuk itu. Dari sebuah pesawat tanpa awak yang diterbangkan seorang juru kamera di jalanan, kau terlihat seperti kerikil. Baju kita bersih, tapi mengapa sorotmu begitu dekil?   

Mimik muka yang itu itu saja, pikiran yang begitu-begitu saja, tanda tanya yang belum kutemukan jawabnya, sialnya kita semakin menua. Sungguh tidak ada yang istimewa, tapi kenapa? Entahlah, mungkin imanku makin tipis saja.

Untuk pengingat arah pulang di setiap bulan sembilan. Ar-ramad, merci beaucoup.  

***

Monday, June 1, 2015

tentang si mpok yang tak sempat kutanya siapa namanya

"Laughing at yourself is a good thing to do. You may be the fool, but you're the fool in charge."  C. Reiner 

Minggu siang, aku terbangun dengan perut kelaparan. Aku mengintip ke dalam lemari tempat menyimpan logistik. Tidak ada satupun yang siap saji. Mau tak mau aku harus keluar, membeli makanan. Tanpa mandi dan berbaju piyama yang lusuh, aku melangkahkan kaki keluar dengan mata menyipit diterpa matahari Jakarta yang sengit. Jakarta Selatan, tempatku tinggal selama hampir dua tahun ini sepi sekali di hari minggu. Warung langganan yang menjual ayam bakar kesukaanku itu tutup. Si pemilik juga mungkin sedang ingin berlibur. Kulirik warung yang menjual kwetiaw goreng gurih yang biasa kubeli untuk makan malam. Tidak buka juga. 

Aku berjalan kaki hingga langkahku terhenti di sebuah warung Indomie. Minggu adalah hari MSG, mau tak mau. Sungguh aku malas sekali mencari tempat makan yang buka dan bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Aku lalu masuk dengan pikiran yang bimbang harus memutuskan; antara indomie goreng atau indomie rebus lengkap dengan sawi segar dan telur setengah matang. Warungnya sepi, kebetulan saat itu pengunjungnya hanya aku. Penjualnya seorang ibu-ibu, kutaksir umurnya empat puluh sekian, dia menyapaku dengan ramah. Aku duduk dan memesan dengan mantap, "Mie rebus pakai telor, Mpok, setengah matang."

Dia dengan sigap menyiapkan makanan yang kupesan. Namun kuperhatikan, sesekali matanya menatap ke luar, menyelidik, seperti sedang mengamata-matai sesuatu, lalu dia seperti bergumam sesuatu hal yang tak kutangkap jelas maksudnya. "Kenapa, Mpok?" tanyaku dengan kadar kekepoan yang naik 50 %, pandanganku mengikuti arah mata si Ibu. 

"Noh.. anak saya, tapi dari istri bapak yang kedua," agak bisik-bisik beliau bercerita padaku. "Kayaknya mu minta uang. Kemaren minta, sekarang minta. Minta uang terosss," tambahnya. Masih dengan volume bisik-bisik. 

"Dari Istri bapak yang kedua? Emangnya, Mpok yang pertama? Apa ketiga?" selidikku dengan alis yang sedikit naik. 

"Enak aja, saya nihh yang pertama, taun lalu bapak kawin lagi sama janda, anaknya dua, udah gede dua-duanya, noh yang satu yang itu noh, yang minta duit mulu. Emaknya kemana tau dahh," dia menuturkan sembari memotong sawi, logatnya antara campuran Tegal dan Betawi.

"Kok dikasih kawin lagi, Mpok? Emang dari Mpok ga dapet anak?" tanyaku lagi. 

"Wehhhh.. dari saya anak udah empat, Mbak, itu juga ga keurus, katanya udah cinta sama si janda. Daripada zina. Kalau saya ga mau, nanti saya dicerai, ya gimana yaa, abisnya saya udah gendut ga keruan gini hahahaa, kalau si janda itu beuhh....hahahaa," dia menjawab sambil membentuk bayangan postur tubuh seorang perempuan seksi dengan kedua tangannya. 

Tertawa. 
Dia tertawa. 

Teh tawar yang kupesan ini tiba-tiba terasa sangat pahit di kerongkonganku. Tapi cerita Ibu ini lebih pahit. Dia mengenakan daster agak kebesaran yang lima kali lebih kusam daripada piyamaku. Rambutnya berantakan, diikat buntut kuda dengan seenaknya. Dia memang agak kelebihan berat badan, tapi rasanya tak gendut-gendut amat. Kulitnya hitam dan penuh gurat-gurat, entah kelelahan atau karena tidak pernah memakai pelembab. Aku terus terang tidak bisa menyebutnya cantik, tapi dia juga tidak jelek-jelek amat untuk ukuran seorang ibu beranak empat. Sesaat matanya berkaca ketika membicarakan suaminya, lalu setengah detik kemudian tertawa ketika membicarakan berat badannya. Ibu ini aneh. 

"Terus sekarang bapak tinggal dimana?" tanyaku lagi. 

"Sekarang lagi sering di si janda. Paling seminggu dua kali sama saya. Ahh itu juga udah seneng banget hihihihi..." dia tertawa seraya tersipu agak malu-malu. 

Tawanya lepas. Sungguh lepas. 

"Tapi bapak masih ngasih nafkah, gak?" naluri kewartawananku bergemuruh. 

"Ahh boro-boro, mbak, selama ini juga yang nyari duit saya. Kemaren bantu angkut-angkut brangkal di komplek, tapi sekarang udah engga. Kalo si janda jualan juga di pasar." 

Lalu wajahnya sedih lagi. Menunduk. 

"Trus kok Mpok masih mau aja sama Bapak? Emang ganteng apa?" 

"Hihihihi..ganteeeng laaah," lagi-lagi dia tersipu malu. "Lagian saya kan udah tua, sedih kalau dicerai bapak, hiiii.. ga mau saya Mbak, amit-amit, lagian saya cintanya sama bapak hahahaa.." lanjutnya, dia tertawa lagi. 

"Emang yang mana sih si Bapak? Ada di dalem?" aku mengangkat pantatku sedikit dari kursi, melongok ke dalam warungnya. Sungguh aku penasaran, seperti apa sosok sang Don Juan. 

"Ituuu noh.. yang lagi nongkrong di depan sambil ngeroko," dia menunjuk lelaki tua di luar warung yang sedang duduk di bangku kayu di pinggir jalan. 

Hampir saja mie rebus itu keluar dari mulutku. Hidungnya pesek, kulitnya hitam nyaris keriput, dan menurutku lagi, dia sama sekali tidak tampan. I repeat. Sama sekali tidak tampan. 

Aku menelan suapan terakhir mie rebusku. Lalu beringsut dari kursi. 

"Mpok..." panggilku. "Mudah-mudahan Bapak juga cinta mati sama Mpok yaa! Nih ambil aja kembaliannya," tuturku sembari mengeluarkan uang dua puluh ribu. 

Lagi-lagi dia tertawa, kali ini cekikikan, sepertinya bahagia betul dia. "Amieeenn, waahhh Mbak, beneran ini? Hihihii... Alhamdulillaaahhh, makasi mbakkk," hampir saja dia teriak sangking senangnya.

Pertama-tama kupikir Ibu ini aneh. Tapi setelah sendok mie terakhir habis kulahap, aku baru sadar dan berubah pikiran. Secara emosional, Ibu ini sangat cerdas. David Cohen dalam bukunya Humor, Irony and Self Detachment pernah menasbihkan; kemampuan manusia untuk menertawakan diri sendiri dapat dipandang sebagai kualitas manusiasi yang sangat baik. Dia memiliki kemampuan untuk memisahkan diri sendiri (self detachment) dan membedakan diri sebagai subjek (yang menertawakan) dan sebagai objek (yang ditertawakan) sekaligus. 

Mungkin karena terlalu sering menggunakan hati, lama-lama hati itu jadi kuat, lama-lama hati jadi terbiasa, lama-lama dia jadi perkasa, lalu dia menganggap semua hanya hal-hal biasa, remeh-temeh, kadang kita tertawa, kadang menelan duka, ya sudah saja, tidak apa-apa. Betapa sederhana. Dia menceritakan kisah hidupnya yang lebih mirip drama tragedi dengan cara komedi. Hebat betul perempuan itu. Aku memandang dengan tajam lelaki yang disebut si "Bapak" di seberang jalan, mengumpat dalam hati dengan berang, lalu berjalan pulang dengan perut kenyang. 

But then again, if you can't laugh at yourself, then what's the point of living, right? 

Right? 

***

Tuesday, May 26, 2015

fear him, whom you hate

Satu waktu, Ummar bin Al-Khattab, si mantan pemabuk yang insyaf pernah bilang, "Ucapan itu ada empat jenis," tuturnya. 

"Pertama, membaca Alquran," lanjut dia. Tapi terus terang saja, baca Alquran sering membuatku mengantuk dan bosan. Aku lebih suka membaca tafsir atau membaca sejarah riwayat dan literatur perjalanan para nabi dan istri, the do's and don'ts, what's right and what's not, the why, the who and how? Apakah aku berdosa? Aku tidak tahu. "Kedua, membaca hadits nabi, ketiga membaca ucapan-ucapan penuh hikmat dari para ulama. Keempat, berbicara hal yang penting dalam soal keduniaan. Selain itu, coba kau ingat kawan - semuanya hanya sampah belaka." Tentu aku tidak mendengarnya bicara secara langsung, tapi kurasa ada penekanan intonasi nada yang mengandung banyak arti saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. 

*Kutipan ini ditulis sambil mendengar ocehan serampangan tentang teman yang melepas jilbabnya, tentang aku yang belum juga mau memakai jilbab, tentang melecehkan iman orang lain, tentang kebiasaan buruk seorang teman, tentang artis yang kawin lalu cerai, lalu kawin lagi, lalu cerai lagi, tentang prilaku dan korelasinya dengan frekuensi shalat -- tentang dunia dan segala keburukannya. 

Aren't you tired, people? Seriously, aren't you? 

...

Friday, April 10, 2015

epik

Dibalik rumitnya komposisi antarmuka dan pola komunikasi, aku percaya, mata yang mendengar tanpa distraksi adalah jenis interaksi yang dinginkan hampir semua penduduk bumi. 

Hari yang sangat panas di Pelalawan. Anak-anak ini menyambut kedatangan kami dengan malu-malu namun penuh rasa ingin tahu. Sebagian dari mereka dengan berani bercengkerama dengan kami, sebagian lagi hanya menatap dari jauh. Dengan dialek Melayu yang kental, seorang anak menyapaku. "Kakak darimana?" katanya. Matanya menyelidik  ke arah kameraku. Sebagian dari mereka memakai kaus kaki, sebagaian lagi tidak, dengan kaki telanjang mereka berlari-lari kesana-kemari. 

"Gubrakk!" 

Seorang anak terjatuh. Lututnya berdarah. Teman-temannya tertawa, sementara ia meringis. Ketika kameraku mengarah ke arahnya, sontak ia menyunggingkan senyumnya. Aku tertawa. Ketika waktu istirahat tiba, mereka bergerombol, berkumpul, saling menjahili -- sembari jajan mie yang dimakan sambil dibagi-bagi. Sebagian duduk di kursi satu-satu, ada yang mengaji, ada yang sibuk makan kuaci. Anak-anak ini -- kulitnya menghitam diterkam sengat cahaya, rambut mereka kemerahan, dan sudah bisa kutebak kalau dengkul mereka satu pun tak ada yang mulus, seragam mereka lusuh, sebagian koyak, tubuh mereka bau matahari. Tapi kau tahu satu hal yang sangat kusenangi dari tempat ini?

Tak ada satu pun yang main iPad disini. 

...