Wednesday, August 4, 2021

hardwork (does not) always pays off

Siapa yang merinding melihat kesuksesan Greysia Polii sama Apriyani? Aku! Siapa yang engga terharu lihat kisahnya yang jatuh bangun mulai dari Olympic di London dimana dia diskualifikasi dan dapat kartu hitam sampe akhirnya bisa dapat emas di Olympic Tokyo 2020? Sure it is a heartwarming story, inspiration, tapi pada faktanya engga semua kerja keras berbuah manis. 

Aku yakin banyak atlet bulutangkis yang even try harder than Polii or Apri, tapi ya engga kemana-kemana, di situ aja. Cerita-cerita yang jarang tersentuh, cerita-cerita yang jarang jadi headline, karena ya kurang menarik, kurang seksi, cerita kegagalan mana enak didengar? Cerita orang-orang yang santai aja ketika gagal adalah cerita yang paling susah dicari. Figur-figur terlupakan yang sebenarnya punya banyak kekuatan. 

Dan sekarang aku lagi nyari itu. 

3 tahun lalu aku memutuskan untuk meneruskan (lagi) karier jadi atlet. Setelah sebelumnya tahun 2016 aku uda bertekad mau gantung stick hockey dan fokus kerja dan urus keluarga, eh ndilalah.. aku malah beli stick baru hahaha.. di tahun 2018 aku mulai gabung untuk persiapan PON 2020 di Papua. Sampai akhirnya pandemi datang. 

Banyaknya waktu luang di rumah dan home training membuat aku jadi orang ambisius. Aku beli banyak sekali alat olahraga untuk menunjang latihan aku di rumah. Aku jogging lebih banyak dari teman yang lain karena aku ingin meningkatkan endurance aku. Aku angkat beban lebih banyak dari yang lain karena aku perlu muscle mass lebih banyak. Motivasinya sederhana, teman-teman setimku muda-muda, aku tua hahaha.. karena itu aku merasa perlu lebih banyak effort dari yang lain. 

I was so fine. Setiap pagi aku lari pagi, lalu sore angkat beban. Aku kuat dan sehat. Sampai negara api menyerang. Pada suatu hari aku main sepatu roda. Bukan sepatu roda biasa, aku ikut main di arena. Aku sudah lama sekali tidak main sepatu roda. Nyaliku terlalu banyak, tapi skill kurang hahaha.. Melihat teman-teman di arena main agresif, aku pun terpacu, sampai akhirnya aku jatuh. 

Bukan jatuh biasa, karena saat jatuh ternyata MCL ligamentku strain. Sekitar 2 minggu aku tidak bisa berjalan normal. Akhirnya aku datang ke salah satu dokter lutut paling handal di Jakarta. Setelah hasil MRI keluar, aku patah hati. MCL ku ternyata bisa sembuh dengan sendirinya dalam 3 bulan, tapi dokter malah menemukan sobek lain di bagian meniskus, yang harus dioperasi secepatnya mengingat aku berprofesi sebagai atlet. Bagian meniskus ini ternyata sudah sobek sejak lama, penyebabnya overtraining tanpa nutrisi dan recovery yang cukup. 

Yang aku kecewa, kabar menyebar dengan cepat bahwa lututku dioperasi karena bermain sepatu roda. Semua seperti menyalahkan kenapa aku seperti tidak bisa menjaga badanku sendiri dan malah main olahraga yang berisiko? Padahal aku sedang dipersiapkan untuk PON di Papua. Hanya saja aku terlalu malas untuk mengkoreksi kabar yang beredar. Fokusku saat itu hanya satu; SEMBUH. 

Akhirnya demi kesembuhan yang hakiki, aku langsung minta dijadwalkan operasi. Yang orang banyak tidak tahu, operasi lutut itu tidak sakit, yang sakit adalah proses fisionya. Jujur saat mau operasi, aku sama sekali tidak tegang, aku pikir akan sama seperti operasi C-sectio yang sudah pernah aku jalani.Well its true tho, tidak sakit. Tapi setelahnya? MASYA ALLAAHHHHHHHHHHHHH! 

Di hari kedua setelah operasi, aku merasa seperti ada batu besar di dalam lutut, dan tak cukup itu, setiap aku bergerak, seperti ada pisau yang mengiris-iris. Dalam keadaan itu aku disuruh untuk latihan berjalan. Rasanya gimana luh? INGIN SEKALI KU NGOMONG KASAR. Tapi ya sudah, aku telan saja, demi KESEMBUHAN YANG HAKIKI, the sooner the better. Setelah itu aku rutin selama 2 bulan fisio di rumah sakit. Perasaan sakit itu berangsur-angsur menghilang. Tapi dua minggu pertama jangan ditanya. Ingin rasanya aku kabur saja hahahaha.. 

Ok now lets cut this story. Intinya dengan perjuangan like literally sweat, blood and tears, aku berhasil dinyatakan lulus dari fisio dan boleh kembali ke lapangan. I was so happy. Aku mulai belajar lari lagi, mulai mengejar endurance lagi, dalam 2 bulan, aku sudah bisa dribble, hit and all those basic skills. Aku mulai lagi membangun my spirit. Ketika semua orang tidur nyenyak, jam 04.30 pagi aku sudah lari pagi, aku minta program tambahan to build my strenght and all. Sampai akhirnya tiba-tiba hari itu datang. 

Aku dicoret dari tim. 

Banyak sekali keanehan yang tidak masuk di akalku. Mulai dari pelatih fisik yang seakan selalu mendukungku dan menyatakan amaze dengan recoveryku, sampai head coach yang juga selalu memuji di lapangan. Semuanya tai kucing hahahaha. Sejujurnya aku tidak akan terlalu kecewa jika aku melihat yang masuk ke dalam tim memang pemain-pemain yang lebih berkualitas. Seriously i am a fair player. Tapi kenyataannya tidak. Banyak sekali keanehan di pencoretanku. Di sini juga aku belajar bahwa tidak semua teman itu senang melihat keberhasilan kita, ada juga yang senang melihat kegagalan. 

Jadi begitulah.. ini seharusnya jadi PON aku yang ke empat, tapi ternyata aku gagal. Padahal aku berusaha lebih keras dari yang lain. Tapi ya ternyata memang kerja keras tidak selalu sesuai dengan hasil. Terlebih dengan banyak orang yang ingin melihatmu gagal.  

This is not a success story. In my healing process, aku justru mencari-cari cerita-cerita orang-orang yang try their hardest dan engga berhasil, tapi kerennya ya setelah itu mereka biasa-biasa saja, seperti orang yang tidak pernah merasa punya apa-apa.. dan lalu tidak pernah merasa kehilangan apa-apa. 

I am touched by their strength and humbleness. Hidup berjalan seperti biasa, karena ya hidup mah begitu-begitu aja. Harus fight terus, setiap hari, kalau capek ya udah rest day. Besok juga kuat lagi. Engga ada yang perlu dibesar-besarkan, engga ada yang perlu dibangga-banggakan, engga ada juga yang perlu dibikin sedih atau kecewa berlama-lama. 

Kaya udah nunggu waktu lama mau naik gunung, siapin cuti, siapin logistik, beresin kerjaan biar engga diganggu, siapin fisik biar engga capek dan nyusahin temen di atas, siapin duit, tiket dll.. mendaki sampai sesak nafas, kedinginan sampai kulit ungu, sampai ke puncak, loh kok kabut? 

Mana view sunrise golden hour yang sering nongol di feed instagram anak-anak pecinta alam? 

Engga ada, emang bukan jatah lu. 

Trus masa mau ngamuk di atas? Kan enggak. Ya udah turun lagi aja. Nanti kita nanjak lagi. 

***


No comments:

Post a Comment