Thursday, September 9, 2021

september

Kemarin, Mama mengundang 15 santri dari pondok pesantren dekat rumah. Rencananya mereka mau menghatamkan Al Quran dalam 1 malam. Bergantian. Aku yang terkekeh saat mendengarnya. "Waduh.. semalam langsung hatam, aku satu bulan ramadan aja belum tentu," mencoba melucu tapi sepertinya kurang lucu karena keluargaku tidak ada yang tertawa. 

Ketika mereka datang, satu demi satu mereka menyalamiku dari jarak jauh. Rata-rata berpakaian putih, berkopiah dan nampak canggung. "Orang-orang ini, setiap hari kerjanya hanya mengaji, apa tidak bosan ya hidupnya?" tanyaku pada Mamaku -- yang kemudian hanya dijawab dengan tatapan sinis. Entah apa salahku.

Setelah serangkaian kalimat pembuka dari kakak iparku, sebagai perwakilan keluarga, dan disambung dengan serangkaian doa, mereka mulai mengaji. Setiap orang membaca 2 juz. Seperti dikomando, mereka langsung berkonsentrasi dan membaca ayat-ayat dengan kecepatan penuh namun tetap merdu. Atap rumah seperti memantulkan suara-suara mereka terdengar seperti nyanyian. 

Dalam sebuah wawancara yang aku pernah tonton sudah lama, Ismael Ferroukhi, sutradara dari Le Grand Voyage, mengatakan bahwa dia tidak menemukan kesulitan berarti ketika melakukan syuting untuk film itu di tengah-tengah peziarah yang tengah melakukan serangkaian ritual haji. Dia tidak harus repot-repot meminta para peziarah di sekelilingnya untuk tidak melihat ke arah kamera, karena mereka memang tidak melihatnya. Atau lebih tepatnya, tidak peduli, "Para peziarah itu seperti berada dalam dimensi lain,"

Dan ya, Ferroukhi benar, santri-santri ini -- seperti langsung hidup di dimensi lain. Mereka tidak peduli ada siapapun yang lewat di depan mereka, atau ketika aku (yang bukannya ikut mengaji) malah mondar-mandir di hadapan mereka, seperti tercerabut dari alam bawah dasarnya, yang mereka lihat hanya lembaran Al-quran di hadapan mereka. 

Aku pernah juga melihatnya dalam versi yang berbeda. Di suatu hari dimana hari Galungan dirayakan, aku naik ke atas Gunung Agung, di Bali. Di pagi summit attack yang menegangkan, dimana kakiku melangkah satu-satu karena jalur yang terjal, aku disusul seorang Hindu yang hendak sembahyang, berjalan dengan tegap di atas sandal jepitnya. Mengarung terjalnya jalur tajam tanpa banyak bicara. Aku yang terkesima melihat punggungnya, hanya bisa membatin dalam hati. 

Di tengah lantunan suara yang. mengebu-ngebu, begitu banyaknya doa yang menggaung di rumahku malam itu, ayat-ayat yang --  tentu saja aku tidak paham maknanya, entah kenapa mataku tiba-tiba basah tanpa alasan yang jelas. 

Berbahagialah mereka yang berjalan dengan iman di hatinya.

***

No comments:

Post a Comment