Monday, June 1, 2015

tentang si mpok yang tak sempat kutanya siapa namanya

"Laughing at yourself is a good thing to do. You may be the fool, but you're the fool in charge."  C. Reiner 

Minggu siang, aku terbangun dengan perut kelaparan. Aku mengintip ke dalam lemari tempat menyimpan logistik. Tidak ada satupun yang siap saji. Mau tak mau aku harus keluar, membeli makanan. Tanpa mandi dan berbaju piyama yang lusuh, aku melangkahkan kaki keluar dengan mata menyipit diterpa matahari Jakarta yang sengit. Jakarta Selatan, tempatku tinggal selama hampir dua tahun ini sepi sekali di hari minggu. Warung langganan yang menjual ayam bakar kesukaanku itu tutup. Si pemilik juga mungkin sedang ingin berlibur. Kulirik warung yang menjual kwetiaw goreng gurih yang biasa kubeli untuk makan malam. Tidak buka juga. 

Aku berjalan kaki hingga langkahku terhenti di sebuah warung Indomie. Minggu adalah hari MSG, mau tak mau. Sungguh aku malas sekali mencari tempat makan yang buka dan bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Aku lalu masuk dengan pikiran yang bimbang harus memutuskan; antara indomie goreng atau indomie rebus lengkap dengan sawi segar dan telur setengah matang. Warungnya sepi, kebetulan saat itu pengunjungnya hanya aku. Penjualnya seorang ibu-ibu, kutaksir umurnya empat puluh sekian, dia menyapaku dengan ramah. Aku duduk dan memesan dengan mantap, "Mie rebus pakai telor, Mpok, setengah matang."

Dia dengan sigap menyiapkan makanan yang kupesan. Namun kuperhatikan, sesekali matanya menatap ke luar, menyelidik, seperti sedang mengamata-matai sesuatu, lalu dia seperti bergumam sesuatu hal yang tak kutangkap jelas maksudnya. "Kenapa, Mpok?" tanyaku dengan kadar kekepoan yang naik 50 %, pandanganku mengikuti arah mata si Ibu. 

"Noh.. anak saya, tapi dari istri bapak yang kedua," agak bisik-bisik beliau bercerita padaku. "Kayaknya mu minta uang. Kemaren minta, sekarang minta. Minta uang terosss," tambahnya. Masih dengan volume bisik-bisik. 

"Dari Istri bapak yang kedua? Emangnya, Mpok yang pertama? Apa ketiga?" selidikku dengan alis yang sedikit naik. 

"Enak aja, saya nihh yang pertama, taun lalu bapak kawin lagi sama janda, anaknya dua, udah gede dua-duanya, noh yang satu yang itu noh, yang minta duit mulu. Emaknya kemana tau dahh," dia menuturkan sembari memotong sawi, logatnya antara campuran Tegal dan Betawi.

"Kok dikasih kawin lagi, Mpok? Emang dari Mpok ga dapet anak?" tanyaku lagi. 

"Wehhhh.. dari saya anak udah empat, Mbak, itu juga ga keurus, katanya udah cinta sama si janda. Daripada zina. Kalau saya ga mau, nanti saya dicerai, ya gimana yaa, abisnya saya udah gendut ga keruan gini hahahaa, kalau si janda itu beuhh....hahahaa," dia menjawab sambil membentuk bayangan postur tubuh seorang perempuan seksi dengan kedua tangannya. 

Tertawa. 
Dia tertawa. 

Teh tawar yang kupesan ini tiba-tiba terasa sangat pahit di kerongkonganku. Tapi cerita Ibu ini lebih pahit. Dia mengenakan daster agak kebesaran yang lima kali lebih kusam daripada piyamaku. Rambutnya berantakan, diikat buntut kuda dengan seenaknya. Dia memang agak kelebihan berat badan, tapi rasanya tak gendut-gendut amat. Kulitnya hitam dan penuh gurat-gurat, entah kelelahan atau karena tidak pernah memakai pelembab. Aku terus terang tidak bisa menyebutnya cantik, tapi dia juga tidak jelek-jelek amat untuk ukuran seorang ibu beranak empat. Sesaat matanya berkaca ketika membicarakan suaminya, lalu setengah detik kemudian tertawa ketika membicarakan berat badannya. Ibu ini aneh. 

"Terus sekarang bapak tinggal dimana?" tanyaku lagi. 

"Sekarang lagi sering di si janda. Paling seminggu dua kali sama saya. Ahh itu juga udah seneng banget hihihihi..." dia tertawa seraya tersipu agak malu-malu. 

Tawanya lepas. Sungguh lepas. 

"Tapi bapak masih ngasih nafkah, gak?" naluri kewartawananku bergemuruh. 

"Ahh boro-boro, mbak, selama ini juga yang nyari duit saya. Kemaren bantu angkut-angkut brangkal di komplek, tapi sekarang udah engga. Kalo si janda jualan juga di pasar." 

Lalu wajahnya sedih lagi. Menunduk. 

"Trus kok Mpok masih mau aja sama Bapak? Emang ganteng apa?" 

"Hihihihi..ganteeeng laaah," lagi-lagi dia tersipu malu. "Lagian saya kan udah tua, sedih kalau dicerai bapak, hiiii.. ga mau saya Mbak, amit-amit, lagian saya cintanya sama bapak hahahaa.." lanjutnya, dia tertawa lagi. 

"Emang yang mana sih si Bapak? Ada di dalem?" aku mengangkat pantatku sedikit dari kursi, melongok ke dalam warungnya. Sungguh aku penasaran, seperti apa sosok sang Don Juan. 

"Ituuu noh.. yang lagi nongkrong di depan sambil ngeroko," dia menunjuk lelaki tua di luar warung yang sedang duduk di bangku kayu di pinggir jalan. 

Hampir saja mie rebus itu keluar dari mulutku. Hidungnya pesek, kulitnya hitam nyaris keriput, dan menurutku lagi, dia sama sekali tidak tampan. I repeat. Sama sekali tidak tampan. 

Aku menelan suapan terakhir mie rebusku. Lalu beringsut dari kursi. 

"Mpok..." panggilku. "Mudah-mudahan Bapak juga cinta mati sama Mpok yaa! Nih ambil aja kembaliannya," tuturku sembari mengeluarkan uang dua puluh ribu. 

Lagi-lagi dia tertawa, kali ini cekikikan, sepertinya bahagia betul dia. "Amieeenn, waahhh Mbak, beneran ini? Hihihii... Alhamdulillaaahhh, makasi mbakkk," hampir saja dia teriak sangking senangnya.

Pertama-tama kupikir Ibu ini aneh. Tapi setelah sendok mie terakhir habis kulahap, aku baru sadar dan berubah pikiran. Secara emosional, Ibu ini sangat cerdas. David Cohen dalam bukunya Humor, Irony and Self Detachment pernah menasbihkan; kemampuan manusia untuk menertawakan diri sendiri dapat dipandang sebagai kualitas manusiasi yang sangat baik. Dia memiliki kemampuan untuk memisahkan diri sendiri (self detachment) dan membedakan diri sebagai subjek (yang menertawakan) dan sebagai objek (yang ditertawakan) sekaligus. 

Mungkin karena terlalu sering menggunakan hati, lama-lama hati itu jadi kuat, lama-lama hati jadi terbiasa, lama-lama dia jadi perkasa, lalu dia menganggap semua hanya hal-hal biasa, remeh-temeh, kadang kita tertawa, kadang menelan duka, ya sudah saja, tidak apa-apa. Betapa sederhana. Dia menceritakan kisah hidupnya yang lebih mirip drama tragedi dengan cara komedi. Hebat betul perempuan itu. Aku memandang dengan tajam lelaki yang disebut si "Bapak" di seberang jalan, mengumpat dalam hati dengan berang, lalu berjalan pulang dengan perut kenyang. 

But then again, if you can't laugh at yourself, then what's the point of living, right? 

Right? 

***