Thursday, February 14, 2013

intermezzo

Hari ini saya putuskan untuk lari dua set. Satu set lebih banyak dari biasanya. Sedang membutuhkan pengalihan perhatian. Apa saja. Nafas megap-megap sepertinya pilihan cukup tepat. Maka berlarilah saya. Sampai habis set kedua, entah kenapa tubuh ini terasa limbung, pandangan terasa berkunang-kunang. Lampu lapangan astro turf Senayan malam itu terasa dua kali lebih menyilaukan dari biasanya. Brukk. Saya terjatuh. Di lapangan. Jatuh. Saya terdiam. Meluruskan kaki. Tergolek pasrah di pinggir lapangan. Berusaha mengembalikan stamina sembari menatap karpet hijau Senayan. "Another set?" tanya seorang teman. "Nope. Sudah mau mati rasanya," jawab saya sambil mendengus. Satu detik, dua detik, nafas saya masih terasa sesak. Rokok sialan. Tiga detik, empat detik. Sampai tiba-tiba..

"Ihhh Galuh ada kelabang itu nempel  di paha!"
"Huaaaa? Mana??? Anjritttt!!"

Dan sekonyong-konyong terbangunlah saya. Berlari sprint hampir setengah lapangan. Berharap kelabang segera enyah dari pangkal paha. Rasa-rasanya, itulah sprint tercepat dalam hidup saya. Diiringi tawa cekikikan dari teman-teman saya, rasa lelah itu lenyap seketika. Seketika. Ternyata aforisme itu benar adanya; we, human, are so much stronger than we think we are.

So much. 


...