Thursday, October 18, 2012

so, run (for your life)

Saya suka lari, kamu? 

Kalau orang sering mengatakan istilah 'lari dari kenyataan', saya lah yang paling sering menerjemahkan (sekaligus mempraktikannya) secara harafiah. Setiap saya sedang kesal, bermasalah, sedih, saya lebih suka lari untuk melupakan masalah tersebut. Bisa di treadmill, di trek lari outdoor, atau di komplek perumahan saya, dimana saja lah yang penting pakai sepatu lari. Lari buat saya seperti memiliki sensasi tersendiri. Seperti hari ini, ketika saya sedang luar biasa kecewa pada diri saya sendiri. Hari ini seharusnya jadwal saya latihan, tapi saya tidak berminat memegang stick hockey, saya cuma kepingin lari. Lari. Lari. Titik. 

Maka berlarilah saya. Dua kali lipat lebih lama dari jarak yang biasa. Satu set, lalu dua set. Saya cuma pingin dengar suara itu. Cukup itu saja. Tapi sampai set kedua selesai, suara itu masih belum datang juga. Akhirnya saya putuskan memulai set ketiga. Putaran pertama, putaran kedua, mata ini mulai terasa berkunang-kunang. Saya kelelahan, tapi saya masih kepingin lari. Otot kaki saya mengencang, tapi saya bersikukuh, otot saya masih kuat. Nafas saya mulai memburu. Putaran keempat. Lalu putaran kelima. Saya semakin menambah kecepatan kaki saya. Sprint! 

Keringat menetes deras dari bagian atas dahi. Punggung saya basah, baju saya kuyup bersimbah. Telapak kaki saya terasa melayang di udara seiring setiap hentakan kaki saya di astro turf lapangan Senayan. Putaran kelima di set ketiga akhirnya saya berhenti. Menyerah. It's finish. Saya berjalan pelan. Merasakan aliran darah di kepala mengalir sangat deras, dada saya terasa sesak, nafas saya habis sudah. Lalu datanglah suara yang ditunggu, suara itu.

Dugdug, dugdug, dugdug. 

Suara jantung yang begitu kuat berdetak di dada saya yang sesak. Terasa menyenangkan sekaligus melegakan. Mengalahkan segala kelelahan. Denyut itu merajai seluruh tubuh, bergetar di sekujur pembuluh darah dan nadi saya, mulai dari telapak kaki hingga ujung kepala. Saya menengadah ke atas, mencari tambahan pasokan udara sembari menikmati bunyi yang semakin kuat dengan nafas megap-megap.

Tepat saat raga terasa melayang kelelahan, mengambang di titik yang terlemah, suara itu justru semakin bertenaga. Bunyinya seperti menyanyikan senandung resistan. Menolak melemah, mencekal kepala, memaksa mata kembali terbuka, betapa perkasa. Disanalah pusat semesta manusia yang sesungguhnya. Berhentilah sejenak, dengarlah ketukan sebuah pergolakan seiring segala letih dan lelah. Bahana lantunan pertahanan, tuturan kekuatan, afirmasi  sebuah denyut kehidupan. Bahwa di dalam diri setiap manusia, ada sebuah mesin penggerak yang lebih kuat dari sekadar perkiraan. And if we think about it, isn't that what really matter the most? 

You are alive. That's it.

 ...