Thursday, May 21, 2015

anjangsana

All journeys eventually end in the same place, home. - Chris Geiger 

Hampir tengah malam keretaku tiba di stasiun Lempuyangan. Kereta kelas ekonomi dengan kursi tegak yang cukup membuat leherku pegal. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah tiba dengan selamat di Yogyakarta. Agak sempoyongan aku berjalan dengan carier 36 liter di punggungku dan day pack 14 liter yang kugantungkan di lengan. Setengah mengantuk, sepanjang jalan aku tertidur dan baru terbangun di stasiun Wates. 

Perjalanan ini sudah cukup lama kurencanakan, hampir dua minggu lalu. Aku ingin mendaki Merapi, lagi.  Sepanjang perjalananku mendaki gunung, rasa-rasanya hanya ada dua gunung yang -- aku-akan-sangat-mau-sekali -- untuk kembali kesana lagi, yakni; Rinjani dan Merapi. Aku suka puncak Merapi, lalu Pasar Bubrah, ahh.. sudah tak sabar rasanya. 

Sebelum mendaki Merapi, aku menyempatkan diri mengunjungi pantai Parang Endog dan tempat yang saat ini cukup populer di Jogja, namanya Kalibiru. Di jalan menuju Parang Endog, kami mampir ke Gumuk Pasir. Kami tidak berlama-lama disana, panasnya sinar matahari yang menyengat tepat pukul 12 petang di atas gurun pasir membuat kami semua kepanasan. Gumuk ini tersusun dari material pasir hitam gunung Merapi yang hanyut terbawa aliran sungai Oyo dan Opak. 

Tidak jauh dari Gumuk Pasir, dengan mengendarai motor kami tiba di Parang Endok. Pantai ini adalah sisi pantai terujung dari Pantai Parangtritis. Karena letaknya yang di ujung pula, maka pantai ini belum terlalu kotor karena tidak terlalu banyak didatangi oleh turis. Kami beristirahat sejenak, duduk di tebing berbatu sembari menikmati senja yang kekuningan lalu perlahan berubah menjadi ungu dan kemudian memekat. 

Hari Sabtu pukul delapan malam kami tiba di New Selo, perhentian terakhir sebelum mendaki Merapi. Ada yang aneh, banyak sekali pendaki yang turun seperti tidak jadi mendaki. Setelah bertanya sana-sini ternyata ada seorang pendaki yang terjatuh di kawah Merapi sore tadi. Gunung Merapi untuk sementara ditutup karena itu banyak pendaki yang ditolak di basecamp. Dengan sedikit kecewa aku terduduk di New Selo. Beberapa anggota Basarnas nampak hilir mudik. Namun akhirnya pukul 00.30 aku dan beberapa orang temanku tetap memutuskan untuk naik meski setelah hasil lobi-lobi, kami hanya diizinkan naik  sampai pos 2. Tak apalah, daripada percuma. 

Pukul empat pagi kami sudah tiba di pos 2. Dengan mata menahan kantuk karena tidak sempat tidur sejenak, kami akhirnya memutuskan untuk tidur beralaskan tanah di pos 2. Kami memang tidak merencanakan untuk camping sehingga kami tidak membawa tenda ataupun sleeping bag. Sepanjang mataku menatap, bintang berhamburan dengan kerlipnya yang gemilap. Ini dia hotel berbintang yang sebenar-benarnya. Hampir pukul lima pagi aku akhirnya memutuskan untuk menyusup ke Pasar Bubrah. Tepat ketika matahari memunculkan wajahnya aku sudah tiba di sana. 

Bubrah, menawan seperti biasanya. Hamparan batu yang membentuk lembah nan megah dan itu dia.. puncak Garuda yang menyembul di antara awan dengan gagah di atas Bubrah yang membuatku gentar, komposisi mengagumkan dari si maha akbar. Sinar matahari membelah memecah ruah di udara. Ini pagi di Bubrah yang luar biasa indah. Aku tidak mendaki ke Barameru, area puncak Merapi. Selain karena memang dijaga ketat oleh Basarnas, minatku pun hilang sudah setelah mendengar kecelakaan yang menimpa pendaki malang itu. 

Tahun 2013 ketika untuk pertamakalinya aku mengunjungi Merapi, aku memang sampai ke puncak, tapi aku tidak berminat untuk mendaki puncak Garuda untuk sekadar berfoto di atasnya. Merapi memang indah, tapi dia tidak cukup ramah. Aku berbalik memunggungi puncak Merapi. Melambaikan tangan, sudah saatnya turun kembali pulang. Puncak itu masih tegap menjulang disana, seperti menatapku, menantang, tapi.. bukankah kembali pulang adalah tujuan dari semua perjalanan?

...

parang endog parangtritis
puncak merapi barameru bara meru pasar bubrah