Thursday, July 30, 2015

selfie dan memento mori

It is such a good day.. But you're too busy. Collecting memories, on your smartphone. 

Dulu sekali, lupa tepatnya, saya pernah baca quote dari Robert Frank, isinya kira-kira begini, "There are too many images, too many camera now. It gets sillier and sillier. As if all action is meaningful. Nothing is really all that special. It's just life. If all moments are recorded, then nothing is beautiful." 

Kasarnya sih, Kakek Frank mungkin mau bilang, "Gila lu semua, selfie wefie muluk, ga bosen apa liat muka lu sendiri?" uhm. Mungkin bukan begitu juga maksudnya. Intinya adalah apa mungkin kita semua terlalu terobsesi dengan media perekam? Kita takut sekali kehilangan moment, kita takut tidak bisa mengingat kembali hal-hal yang pernah kita lalui, kita takut tidak bisa melihat lagi hal-hal yang kita lihat saat ini? Tapi menyimak pernyataan Kakek Frank, saya merasakan sendiri apa yang dia bilang. 

Dulu sekali kamera SLR pertama saya adalah Nikon FM10. Lagi giat-giatnya belajar fotografi, belajar atur diafragma, masih ga pede motret tanpa light meter, semua orang saya foto, disuruh pose, sampai gigi mereka kering, giliran dicetak,  foto yang gagal hampir satu rol, DANG! Kemudian datanglah serangan digital. Seperti layaknya ABG yang hijrah dari naik sepeda ke naik motor, rasanya girang bukan main, inginnya kebut-kebutan dan pergi ke tempat yang jauh. Well, me too. Ketika pertama kali punya kamera  SLR digital, rasanya ingin mengeksplore berbagai macam object. Hampir tiap weekend saya berangkat hunting foto; portrait, landscape, dan tentu saja... MUKA SAYA SENDIRI, man.. foto muka sendiri itu kok rasanya senang betul, ya?  

Tapi kemudian waktu berlalu, sekarang saya punya Canon G12, Nikon D90 dan action cam Go Pro. Oh ya plus ditambah kamera smartphone yang lumayan mumpuni untuk selfie dengan perubahan hasil foto yang super instan (baca: kulit langsung mulus kaya artis korea).  Harusnya saya makin semangat dong ya, foto-foto? Eh, engga tuh. Malah makin malas. -___-  

Sekarang ini saya malah bawa kamera cuma ketika sedang travelling saja. Pun yang saya bawa hanya G12 atau GoPro. Ketika travelling pun, kadang saya malas keluarin kamera, cuma karena kebutuhan posting di Instagram atau blog post aja buat pamer sama orang-orang teman-teman saya yang heboh, "foto dong Luh, foto dong!" Padahal dulu saya termasuk orang yang kemana-mana selalu ada kamera di tas saya, its like my important gun, seriously, can't leave home without it. 

Omong-omong soal betapa adiktifnya manusia saat ini pada kamera, saya kok jadi inget post mortem photography. Ada satu masa dimana foto adalah sebuah barang yang sangat mewah. Di abad 19 sampai ke awal abad 20, the morbid era, sangking mewahnya fotografi, banyak orang hanya menggunakan jasa fotografer untuk hal-hal yang betul-betul penting seperti kejadian yang hanya terjadi sekali dalam hidup, misalnya... kematian. Yaa atau mungkin semacam memento mori, ya? Jadi, karena pada saat itu tingkat kematian sangat tinggi, banyak orang memotret anggota keluarga mereka yang meninggal tapi dalam pose seakan-akan orang itu masih hidup. Mereka mendandani jenazah dan memfoto jenazah dengan berbagai properti yang mengesankan orang itu sedang beraktifitas layaknya orang hidup. 

The only daughter that got sick and died. Ga kaya jenazah ya yang tengah? What do yo think?
Plus properti mainan kesayangan waktu si bocah masih hidup 
Mother and Daughter 
Family Portrait 
Yang dibelakang warna hitam itu apa, ya? Makin ngeri ga sih liatnya? -___-
Yang sebelah kiri udah pasti jenazah, yang kanan agak meragukan. Tapi sepengamatan saya sih pose jenazah di post mortem photo banyak yang tangannya tertekuk semacam tangan anak yang kanan, atau berpose seperti sedang memegang sesuatu. 
Nah kira-kira kayak gini pose tangannya. (Note: yang tengah itu jenazah dan matanya sebenarnya tertutup tapi lalu digambar pupil mata agar terlihat 'hidup')  

The newlywed
The broken heart fathers. (kiri: anaknya meninggal karena sakit keras. Kanan: anaknya down syndrome)
Oh and you do realize they also standing and pose like a living creature right? 

here's the secret! 

Photo source: maafkan saya lupa karena koleksi foto-foto ini sudah tersimpan lama di laptop saya. Haha, aneh ya simpan-simpan foto kaya gini? Eiymm. I do know its creepy, but somehow i feel that these photos are so powerful. Hehe.. I just think its really historical, the mourning through real photography with a total melancholy objects. You could sense their grieve just by looking at it. Tapi kemudian saya mikir... ngapain ya upload foto-foto creepy ini di sini? Dipikir-pikir kok jadi ngeri juga tiap buka blog ada foto ini? Tapi ya udah lah ya, capek juga udah nulis panjang lebar terus dihapus, ini kan ceritanya sharing pengetahuan kalian bagi yang belum tahu. :-P Nah, terus kalian ngeh ga kalau lihat foto-foto dari tahun 1900an itu rata-rata mereka jarang tersenyum? Cenderung dingin malah. Nah, coba deh dipikir-pikir lagi, yang kalian liatin itu foto jenazah atau orang hidup? Hihi.. 

***

Tuesday, July 28, 2015

bulan ke sembilan

Mereka yang lemah biasanya dibangun dari nostalgia, beberapa dibangun dari pemikiran, dan sisanya - yang nyaris saja langka - adalah mereka yang dibangun dengan iman. Hari ini Idul Fitri. 

Ini hari yang katanya suci, tapi kita seperti kuda liar yang baru saja dilepaskan dari penjara besi. Semakin banyak saja pertanyaan yang tidak terjawab, semakin banyak pemahaman yang melenyap. Seberapa bagus dan mahal mukenamu, percayalah kau akan terlihat biasa saja di lautan manusia yang bertumpuk-tumpuk itu. Dari sebuah pesawat tanpa awak yang diterbangkan seorang juru kamera di jalanan, kau terlihat seperti kerikil. Baju kita bersih, tapi mengapa sorotmu begitu dekil?   

Mimik muka yang itu itu saja, pikiran yang begitu-begitu saja, tanda tanya yang belum kutemukan jawabnya, sialnya kita semakin menua. Sungguh tidak ada yang istimewa, tapi kenapa? Entahlah, mungkin imanku makin tipis saja.

Untuk pengingat arah pulang di setiap bulan sembilan. Ar-ramad, merci beaucoup.  

***

Sunday, July 5, 2015

puasa dan hal-hal aneh tentangnya

Pacarku pernah bilang, “Semua makanan itu semua rasanya sama saja -- ketika sampai di perut. Yang membedakan cuma ketika si makanan berada di lidah dan itu -- tokh cuma sebentar saja.”

Itu logikanya. Tapi ketika kamu bekerja di sebuah perusahaan yang mayoritasnya tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ditambah efek berpuasa yang mendorong tingkat sensititivitas hidungmu naik jadi dua kali lebih tajam, bahkan kadang empat kali lebih tajam, rasanya aku ingin melakukan apa saja demi mencicipi kwetiaw goreng dengan daging ayam yang yang sedang dilahap dengan nikmat oleh teman kerjaku di siang hari yang terik di Jakarta.

Maka ini menjadi suatu hal yang tidak aneh, kau tahu apa yang biasanya dilakukan kaum yang berpuasa pada bulan Ramadhan? Mereka menyiapkan sebuah pembalasan dendam yang kejam. Tepat pukul empat sore hingga menjelang matahari tenggelam, mereka berbondong-bondong membeli makanan yang sangat banyak; takjil, minuman dengan kadar gula yang sangat tinggi, buah-buahan segar, atau gorengan kering yang gurih hasil racikan minyak jelantah yang lebih hitam dari pantat panci di dapur Ibu saya. “Untuk buka puasa, nih,” tutur mereka dengan wajah sumringah. Mungkin mereka girang karena sudah sore, sebentar lagi adzan, dan mereka merasa menang.

Aku juga begitu. Pukul setengah lima sore selepasku bekerja, aku dengan bernafsu setengah berlari ke gedung di seberang kantorku. Aku mau membeli jus segar dengan harga 3 kali lipat dari jus yang biasa dijual di depan minimarket kecil dekat tempatku tinggal. Pilihanku selalu jatuh di jus strawberry. Meski porsinya sebenarnya sangat banyak dan aku – tidak pernah sanggup menghabiskan jus ini sendirian, tapi siapa peduli? Yang penting aku harus membalaskan dendam kesumat dari lidahku yang harus menelan ludah siang tadi karena kelakuan teman kantorku yang tak berpuasa.

Oh ya, asal kau tahu sebelumnya tadi aku pun melewati toko pastry yang cukup terkenal. Ketika aku lewat, baunya menguar di udara, tentu aku pun tidak melewatkan kesempatan itu. Aku membeli dua potong croissant keju dan coklat yang nampak sangat nikmat. Oh ya, sebelumnya aku juga menyempatkan diri untuk mampir membeli singkong goreng yang dijual di depan kantorku. Membayangkan singkong ini melewati tenggorokanku saja rasanya perutku sudah berteriak minta makan dengan jahanam.

Pukul lima lewat lima puluh. Para muazzin mulai bersiap check sound untuk mengumandangkan suara yang ditunggu puluhan ribu manusia yang telah duduk dengan manis menanti di dekat meja makan mereka. Aku juga begitu. Air putih, teh manis, oh ya tadi aku juga beli es buah, lalu jus strawberry kesukaanku itu, dua potong pastry, dan singkong goreng. Main course? Belum aku beli, tapi aku sudah terpikir sate kambing Bang Burhan yang dagingnya empuk dengan bumbu kecap bertabur cabe rawit. Ahh.. itu pasti enak. 

Adzan tiba. Hap! Hampir setengah gelas air putih sudah kuhabiskan untuk mengucapkan salam pada lambungku yang kosong nyaris 12 jam. Disusul dua buah singkong goreng yang kukunyah dengan beringas. Enak. Lalu kusikat es buah dengan potongan melon dan timun suri. Tapi hanya dalam hitungan menit, belum juga habis satu mangkuk es buah, rasa nikmat itu tahu-tahu sirna. 

Lidahku mulai terasa hambar dan perutku mulai terasa sangat penuh. Sungguh, aku merasa lidahku sendiri mengkhianatiku. Kemana pula sensasi kesegaran ketika es buah itu menyentuh kerongkonganku? Tidak ada. Sungguh brengsek. Rasa lapar, haus, nafsu yang begitu menggelora di satu jam yang lalu hilang sudah cuma karena air putih dan dua buah singkong goreng. Jus strawberry yang kubeli dengan setengah berlari itu bahkan belum sempat kusentuh. Betul-betul sialan tapi kupikir-pikir juga lucu. Kadang kita begitu menginginkan ini dan itu dan ini dan itu, nyatanya ketika kita berhasil mendapatkanya, rasanya tak enak-enak amat. Ketika terlalu banyak, rasa nikmat itu menguap. 

Hampir pukul enam lebih tiga puluh malam. Orang-orang bersiap untuk menunaikan kewajiban shalat maghrib, sebagian lagi langsung menuju masjid untuk melanjutkan Isya dan tarawih dengan wajah yang sumringah. Mungkin mereka merasa menang karena telah berhasil berpuasa hingga maghrib berkumandang. Aku juga. Bedanya, mengapa aku merasa kalah? Pukul lima sore tadi, selepasku bekerja dan dengan sangat bernafsu setengah berlari ke gedung sebelah, aku baru tersadar -- perutku memang tetap kosong, tapi puasaku selesai sudah.

So, if Ramadhan has taught us that our body doesn’t need that much food to survive, then why are we always celebrating Ied with festive - super excessive - food galore? 

Why? 

***