Wednesday, October 10, 2018

tentang charlie hebdo dan khabib nurmagomedov: tidak ada seorang pun yang berhak untuk marah


Paris, 7 Januari 2015 gempar. Kantor sebuah majalah satire bernama Charlie Hebdo diserang dua penembak brutal. 12 orang meninggal dalam kejadian itu, apa pasal? Majalah Charlie Hebdo adalah majalah kontroversial yang kerap memuat kartun-kartun satir, laporan, polemik hingga lelucon. Media tersebut dikenal anti-agama dan sayap kiri. Terhitung sejak diterbitkan perdana di tahun 1969, entah sudah berapa kali Charlie Hebdo memasang kartun Nabi Muhammad sebagai covernya. Tak hanya Islam, tim redaksi Charlie Hebdo juga pernah mengejek Paus dan skandal seks di gereja. 

Sesaat setelah berita penembakan ini naik di berbagai media sosial. Aku termasuk yang mengamininya. Meski sebagian besar orang menentang tegas penembakan itu dengan memasang tagar #JeSuisCharlie (yang artinya I am Charlie), aku tidak sedikitpun ingin menyalahkan si penembak. Alasannya? Pertama, well.. sebenarnya aku pun tidak bisa dikategorikan muslimah yang taat, tapi realitanya, Charlie Hebdo sangat keterlaluan dan luar biasa menyebalkan. Kedua, sedari dulu, aku tidak pernah paham (baca: tidak setuju) dengan konsep Kebebasan Berekspresi. Konsep ini cenderung bias dan karena ehm.. aku adalah Sartre groupie (untuk pemahaman mengenai teori kebebasan Sartre, silakan gunakan Google). 

Satu minggu setelah penembakan, 13 Januari 2015, Charlie Hebdo kembali terbit. Covernya memajang karikatur Nabi Muhammad yang digambarkan sedang menangis terpampang di halaman depan lengkap dengan tulisan Je Suis Charlie sekaligus caption bertuliskan, "Semua dimaafkan." Ketika aku membuka laman berita di kantorku pagi itu, tiba-tiba saja aku ingin tertawa. Pengacara Charlie Hebdo, Richard Malka menyatakan dengan lugas, "Kami tidak akan berhenti menghujat, itu adalah hak kami!" 

*

Nevada, 7 Oktober 2018. Hanya beberapa menit setelah wasit menyatakan Khabib Nurmagomedov menang dari Connor McGregor pada sebuah laga perebutan juara kelas ringan UFC 229, Khabib melemparkan gum shieldnya dengan kasar dan melompati pagar oktagon dengan satu loncatan yang emosional. Semua orang terhenyak. Khabib baru saja bertarung empat ronde dengan McGregor, kita semua bisa tahu dia lelah. Tapi amarah selalu punya jalan untuk melahirkan energinya sendiri. Targetnya adalah Dillon Danis, salah satu anggota tim pelatih McGregor yang ada di kursi penonton. T-Mobil Arena ricuh, semua penonton berteriak. Di luar oktagon, warga sipil, perempuan dan bisa jadi ada anak-anak, memenuhi tempat duduk penonton. Tak heran, tindakan Khabib diprotes banyak orang, termasuk Dana White, presiden UFC. 

Khabib dihujat. Semua orang mempermasalahkan dirinya yang terlalu emosional. Ok, mungkin tak semua menghujat, sebagian mungkin menyayangkan, kenapa dia tidak bersikap seperti profesional? Pertarungan ini melibatkan banyak sponsor dan promotor yang sudah menggelontorkan uang yang tidak sedikit. Khabib seperti atlet kemarin sore yang jumawa lalu bersikap seenak jidatnya. Why Khabib? Whyyy?  Y U NO KEEP IN SILENCE AND LET THE BELT MAKE THE NOISE? Mungkin kira-kira begitu. Padahal sikap Khabib bukan tanpa sebab. 

Bukan hal aneh jika dua petarung UFC saling melempar trash talk. Psywar saling melempar ejekan melalui media massa sebelum pertandingan berlangsung seperti ini sudah jadi tradisi. Dari strategi marketing, ini good selling point. Penonton akan terbawa dalam suasana, mereka akan membicarakannya dimana-mana, sistem getok tular, lalu jumlah viewers naik, otomatis rating naik. 

Yang menjadi masalah adalah ketika isu agama dan keluarga diusik. Bukan sekali dua kali McGregor melemparkan ejekan soal agama, negara asal dan keluarga Khabib. Psywar dengan menggunakan isu rasis menjadi modal utama McGregor. Belum cukup dengan trash talk, muncul pula foto Khabib sedang mengenggam minuman keras yang diubah dengan edit digital. Hal ini tentu mengusik Khabib yang seorang muslim taat. 

Puncaknya adalah penyerangan di luar oktagon yang heboh dibicarakan dimana-mana. Tak hanya dihujat, Khabib juga masih menunggu keputusan juri apakah dirinya tetap menjadi juara kelas ringan UFC 229, atau dia didiskualifikasi karena kasus penyerangannya itu. Komisi Olahraga Nevada bahkan menahan bayaran Khabib sebesar 31,5 Miliar hingga penyelidikan tuntas. Berbeda dengan Khabib, McGregor justru bernasib lebih baik. Petarung asal Irlandia itu sudah menerima bayarannya. 

**

Dengan tegas aku menyatakan, I am not Charlie, je ne suis pas Charlie! Kejadian ini begitu melekat dalam pikiranku sampai-sampai aku merasa menemukan algoritma yang sama antara Charlie Hebdo dan Khabib Nurmagomedov. 

Jadi begini.. ketika kita diganggu atau orang lain membuat kesalahan, lalu kita marah. But then, everyone is starring at us, their fingers pointing at us, kemudian kita yang ditegur. 

"Sabar dong jadi orang!" 

I repeat. Kita diganggu, lalu kita marah, lalu kita pula yang ditegur. Kan aneh? Ketika kita marah sudut pandang penonton berubah menjadi, "Kok kamu pemarah, sih? "Kok kamu ga sabaran sih?", "Kamu tuh terlalu emosional," dan lain-lain. 

Lalu tiba-tiba aku ingat obrolan di suatu sore dengan Sitor Situmorang. Dia adalah salah satu pelari tercepat dalam Sumbawa Ultra Marathon 320 km. Ketika aku tanya, apa yang dia rasakan ketika harus berlari 320 km dalam keadaan panas terik. Jawabnya, "Setelah dua kali ikut ultra marathon, saya bisa simpulkan bahwa saya nggak boleh emosi ketika lari. Ketika saya lari jarak jauh dalam keadaan marah atau emosi, maka fokus saya berantakan. Kalo lo marah, ya lo kelar, lo abis!" Sebagai orang yang lumayan sering marah, aku kerap dicap orang tidak sabaran, emosional, dll. Jadi rasanya aku kok paham betul bagaimana perasaan Khabib atau penembak Charlie Hebdo. 

And then i asked myself, kira-kira dalam situasi seperti ini what would Rasul do? Tiba-tiba aku ingat dalam sebuah literatur yang aku lupa judulnya, ada dua kalimat yang konon Rasul pernah mengucapkannya sampai diulang tiga kali. Cukup menandakan bahwa Rasul merasa penting untuk menegasi kalimat tersebut. 

Yang pertama adalah Ibumu, ibumu, dan ibumu. Ini pasti banyak dari kita sudah tahu. Tapi ternyata ada lagi. Yang kedua adalah jangan marah, jangan marah, dan jangan marah. 

Lalu kalau sudah terlalu marah bagaimana Ya Rasul? Berpuasalah. Yhaa! Itu stage two. Level keimanan harus naik lagi satu tahap. Lalu aku ingat suatu hari aku pernah bertengkar dengan supir angkot yang berhenti seenaknya di jalan. Aku yang saat itu sedang menyetir entah kenapa merasa begitu marah. Mungkin saat itu aku sedang PMS atau sakit gigi, aku lupa, yang jelas aku sangat marah. 

Lalu aku turun dari mobil. Mobilku sendiri berada di tengah jalan menghalangi lalu-lintas. Lalu aku menghampiri supir angkot tersebut dan berteriak dengan kata-kata kasar, sekaligus mengajaknya turun dan berkelahi. Mungkin karena aku perempuan, si supir angkot tidak menanggapi dan dia langsung pencet gas. Sembari angkot tersebut maju, aku dengan refleks menendang angkot tersebut sekuat tenaga. Sepatuku Martens, solnya cukup kuat, tapi pergelangan kakiku terasa nyeri karena aku menendang baja sekuat tenaga. 

Sesaat setelah itu aku tertegun. Entah berapa mobil, motor yang berhenti dan manusia yang memandangiku. Malunya ga usah ditanya. Rasanya aku ingin bumi menelanku bulat-bulat saat itu juga. Satu serigala pemarah di dalam kepalaku baru saja kuberi makan dan dia menjadi kuat lalu keluar tanpa permisi mempermalukan diriku sendiri. 

Entah kenapa marahku tiba-tiba menguap dengan sendirinya. It's like killing a mocking bird. Percayalah, itu percuma dan tidak akan membawamu kemana-mana. And remember, it is a sin to kill a mockingbird just because it loves to "sing". Dan lagi, apa betul kita berhak untuk marah? Nothing really belong to us, anyway. Even the air that we inhale must we exhale. Right? 

Right?

***

No comments:

Post a Comment