Friday, September 25, 2015

everest the movie (2015): leave nothing but footprint?

Gambar dari sini 
Sebagai seorang penikmat gunung tropis sejati, saya tidak pernah tertarik dengan gunung bersalju. Tapi menonton film Everest yang dibintangi oleh Jason Clarke menurut saya adalah suatu keharusan bagi seorang penikmat atau pendaki gunung. Efenerr menulis reviewnya dengan sangat apik disini.  
Film ini memberikan banyak sekali insight tentang naik gunung, teknik pendakian, teknik survival, teknik persiapan sampai manajemen pendakian. Seharusnya penonton tidak hanya terkagum-kagum menyimak bagaimana gagahnya Everest dan berbungah hati ingin mendaki, simak juga bagaimana detail dan rapinya pembagian yang dilakukan dalam pendakian. Ya, karena pendakian itu tak semata soal puncak. -www.effener.com

Berbeda dengan film 5 CM yang membuat penontonnya berbondong-bondong ingin naik gunung karena terkesima dengan keindahan Semeru, film ini justru sebaliknya, membuat penontonnya berpikir sepuluh kali lagi untuk naik gunung, meski film ini juga menawarkan lanskap Himalaya yang luar biasa indahnya. Di sini, Baltasa Kormarkur, sang sutradara menggambarkan dengan detail betapa luar biasa repot dan mahalnya usaha dan persiapan para pendaki untuk mencapai puncak tertinggi di dunia. Tentunya 180 derajat berbeda dengan penggambaran para tokoh di film 5 CM yang mendaki dengan celana jeans. 

Adalah Rob Hall yang bekerja sebagai pemandu di Adventure Consultant, sebuah operator layanan traveling yang memandu para pendaki untuk mencapai gunung Everest. Pada bulan Mei 1996 ia memimpin delapan orang untuk melakukan pendakian. Di waktu yang sama, Scott Fischer dari Mountain madness Expedition juga membawa delapan orang klien pendaki menuju puncak Everest. Ditambah lagi, masih ada beberapa pendaki dari kontingen nasional Afrika Selatan dan Taiwan. Jalur pendakian amat padat, tapi pendakian dipaksa untuk tetap berjalan. Di sini konflik mulai muncul. Inti dari konflik tersebut sebenarnya hanya didasari oleh dua hal; pride and ego. Di bagian ini saya tercekat. Apa sebenarnya tujuan dari melakukan pendakian ke Everest? To see the greatest view? No. Lebih jauh lagi, saya jadi berpikir, apa sebenarnya tujuan dari pendakian, ke gunung manapun? To leave our footprint? 




Bapak saya pernah nyeletuk, "Ngapain sih capek-capek ngedaki ke puncak, terus di puncak cuma sebentar, eh turun lagi. Kalo Papa sih, mau seminggu aja di atas, orang udah capek-capek dakinya." Tentunya Bapak saya belum pernah mendaki gunung maka pernyataan itu bisa keluar seenak udelnya. Kemudian adegan demi adegan ditampilkan dalam film Everest. Salah satunya adalah ketika Yasuko Namba, satu-satunya pendaki wanita asal Jepang dalam tim tersebut berhasil menjejakan kakinya di puncak Everest. Sesampainya di atas, dia langsung tersungkur kelelahan sembari mengeluarkan bendera Jepang untuk penanda bahwa dia berhasil mencapai puncak. 

Jika kita tidak mengenal alat perekam seperti kamera, apakah kita masih mau naik gunung? Ada seorang penulis yang saya lupa namanya pernah mengatakan, "Naik gunung adalah olahraga yang paling jujur karena tanpa penonton." Benarkah? Lalu, untuk apa kita berpose dengan tulisan 'xxxx mdpl' di puncak-puncak gunung dan mempublikasikannya ke media sosial. Benarkah tanpa penonton? Pada tahun 1996, Clara Sumarwati, seorang pendaki perempuan dari Yogyakarta menyatakan bahwa dirinya telah berhasil berdiri di puncak Everest. Dengan demikian Clara Sumarwati seharusnya mendapat gelar sebagai perempuan di Asia pertama yang berhasil mendaki sampai ke puncak, sayangnya, catatan pencapaian ini masih menjadi kontroversi di tanah air. 




Kontroversi klaim Clara sebagai orang pertama Indonesia yang berhasil mendaki puncak sudah dimulai beberapa saat setelah kepulangannya. Saat itu Clara tidak bisa membuktikan pencapaiannya. Alasannya sederhana; karena dia tidak memiliki foto saat berada di puncak Everest. Kabarnya beberapa keganjilan pun muncul. Misalnya saat tim Ekspedisi Indonesia tahun 1997 hendak melakukan persiapan mendaki Everest, Clara yang seringkali diundang dalam pelatihan untuk menceritakan pengalamannya tidak pernah datang dengan berbagai alasan. Saat kontroversi tersebut ramai dibicarakan, Clara pernah menyatakan di beberapa media bahwa beliau merasa tidak dihargai. Setahun kemudian, pada tahun 1997 Clara akhirnya dirawat di Rumah Sakit Jiwa, Magelang karena menderita depresi. 

Lantas untuk apa kita mendaki? Untuk apa Clara mendaki, bahkan karena pencapaiannya tidak diakui Clara sampai mengidap depresi? Untuk apa Doug Hansen, Beck Weathers, atau Jon Krakauer mendaki? Jika pencapaian kita tidak diakui, apakah itu masih bisa dianggap sebagai pencapaian? Bukankah cukup saja jika kita bisa membuktikan pada diri sendiri? 

Meski sampai saat ini masih menjadi misteri, pada bulan Juni tahun 1924 George Mallory dan Andrew Irvine, dua pendaki asal Inggris konon berhasil mendaki hingga ke puncak Everest. Meski akhirnya mereka berdua dinyatakan tewas, namun berbagai sumber mengatakan, foto istri Mallory - Ruth Turner, yang semula ditaruh dalam sakunya tidak ditemukan pada jenazah Mallory yang tergeletak, begitu pun pada barang-barang beliau yang berserakan sekitar 600 meter dari puncak Everest. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Mallory dan Irvine sebelum akhirnya meninggal telah berhasil mencapai puncak Everest dan menaruh foto Ruth Turner di atas. 





Mungkin pada intinya adalah meninggalkan jejak. Manusia entah kenapa memiliki ambisi untuk mencari, lalu menandai. Mulai dari balik pintu toilet umum Terminal Leuwi Panjang yang penuh dengan coretan 'Otong was here' hingga Doug Hansen di puncak Everest yang rela meregang nyawa demi foto bersama bendera sekolah yang dibawanya. Everest, saya yakin, tidak didisain untuk menjadi habitat manusia. Dengan ketinggian lebih dari 8000 mdpl, ancaman avalanche yang bisa datang kapan saja, suhu yang bisa mencapai minus 73 derajat celcius, kecepatan angin 118 mil, dan menyisakan hanya 1/3 oksigen pada udara normal, Everest siap menghajar siapapun yang berani menantangnya dalam hitungan detik saja. 

Jerzy Kukuczka, seorang pendaki Polandia yang berhasil menjadi orang pertama yang menggapai The Crown of Himalayas pernah berujar, "I went to the mountains and climb them, thats all." Sesederhana itu. Bisa jadi Kukuczka tidak pernah selfie dan mengagung-agungkan publikasi dan pengakuan diri. Padahal dia adalah orang yang berhasil mendaki 9 dari 14 Eight Thousanders melalui 'jalur perawan'. Di film Everest, pergolakan ego individu dan konflik batin diantara masing-masing tokoh begitu terlihat. Bagaimana di atas sana seseorang yang terlihat begitu pongah, bisa nampak begitu lemah, yang terlihat begitu kuat, bisa nyaris saja sekarat. Di film ini pula kita bisa belajar bahwa gunung, apalagi Everest, bukan tempat untuk berbesar kepala. Lantas, apakah kita seharusnya berhenti mendaki? Tidak. Mendakilah, tapi jangan cari mati, karena di puncak, sesungguhnya tidak ada yang bisa diserang selain diri sendiri. 

Summit attack, really? 

***

*ditulis sambil maskeran 

No comments:

Post a Comment