Not even once in my life, I've ever consider myself as a photographer. No, I am not a photographer, I am just a girl with Nikon. Buat saya, selain emang skill motret yang standar abis, fotografi itu cuma hobi. Sama seperti naik gunung. Dulu kalau tidak salah, ada teman yang pernah bilang begini, "Luh, kenapa sih lo ga buka usaha semacam buka trip kemana-mana gitu, kan lo seneng travelling tuh? Kan enak, sambil liburan sambil kerja." Errr.. no. Kenapa saya bilang no? Karena ketika pekerjaan masuk ke ranah setingan "holiday mode on" buat saya itu ganggu banget. Saya jadi ga bisa maximize my adventurous and spontaneous mood, karena saya punya tanggung jawab yang berhubungan dengan komitmen orang yang membayar saya.
Begitu pun fotografi. Saya sudah pernah trial and error (banyakan errornya sih) motret untuk pra wedding teman dan saudara saya. Ketiga-tiganya tidak dibayar dan saya memang maunya begitu. Dengan demikian, kalau misalnya hasil fotonya jelek, eh, ya jangan komplain dong yah, kan situ ga bayar saya. Hehe. Dengan demikian pula, saya merasa lebih bebas untuk eksplor tanpa terlalu terbebani oleh request anu ini itu dari (so called) misalnya client.
But then again.. there's always a first time for everything.
Seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan tembakau meminta saya untuk menjadi photographer freelance untuk suatu project internal di tempat dia bekerja. Ada bayarannya. Catet. Ada bayarannya. Dengan demikian saya sudah resmi menjadi photographer yang menghamba pada client. Huhu. Project ini berlokasi di Kalimantan. Untungnya waktunya juga pas dengan workload pekerjaan di kantor saya, sehingga saya akhirnya mengajukan cuti. Saya butuh 4 hari untuk menyelesaikan project ini. Dengan perasaan sedikit jiper dan senang karena.. eh ini liburan dibayarin orang yah hahaha.. akhirnya berangkatlah saya ke Kalimantan.
Saya menghabiskan 1 hari di Balikpapan untuk transit dan 3 hari di Samarinda, Ibukota Kalimantan Timur. Tempat-tempat wisata yang dekat dengan pusat kota tidak terlalu banyak, tapi cukup lah untuk yang ingin cari tempat hiburan di sana. Jadi, harus kemana di Samarinda? Berikut adalah sedikit catatan saya, here we go ;)
Konon, katanya Islamic Centre ini berhasil dinobatkan sebagai masjid terbesar
dan termegah nomor tiga di Asia Tenggara. Jika kita masuk kota Samarinda melalui jembatan Mahakam, maka
bangunan masjid ini akan langsung terlihat berdiri megah. Rancangan menara ini
terinspirasi dari menara Masjid Nabawi di Madinah, kubah utamanya terinspirasi
dari Masjid Haghia Sophia di Istanbul, Turki. Berkunjung kesini, memang terasa sekali kental suasana ala-ala Timur Tengah.
Bangunan masjid
ini memiliki 7 menara yang terdiri atas bangunan 15 lantai. Menara
tertingginya, yakni Menara Asmaul Husna berdiri menjulang setinggi 99 meter.
Disini kita bisa naik ke atas dengan lift hanya dengan membayar Rp. 15.000,-
per orang. Dari ketinggian 99 meter inilah pengunjung dapat menikmati lanskap
Samarinda dan Sungai Mahakam yang luar biasa. Oh ya, untuk masuk ke area ini, pengunjung perempuan (baik muslim maupun non muslim) harus memakai jilbab ya, tapi kalau tidak pakai pun ya ga apa apa karena ada tempat penyewaan jilbab, semacam kalau kita harus sewa kain kalau mau masuk ke komplek pura di Bali.
2. Desa Adat Pampang
Desa ini adalah markas besarnya orang-orang suku Dayak asli. Beberapa ada yang masih kupingnya panjang, sesuai kultur unik mereka. Tapi cuma tinggal sedikit, sih. Tujuan mereka memanjangkan kuping sebenarnya sangat sederhana; supaya bentuk muka secara fisik ga mirip-mirip amat sama kera. Kikikikk.. Itu kata salah seorang tetua suku Dayak yang ngobrol sama saya di sana.. Oh ya, selain itu manjangin kuping ini juga dianggap sebagai latihan kesabaran. Soalnya kalau kuping dibolongin sama logam pemberat itu ternyata sakit juga, lho. Untuk tahap pembolongan pertama, lukanya baru bisa kering setelah tiga bulan, setelah itu masih ada rasa nyeri karena digantungi pemberat. Jadi sudah bisa dipastikan, orang yang tahan kupingnya dipanjangin adalah orang-orang yang sedemikian tabah dan kuat.
3. Kampung Tenun
Mau cari sarung khas Samarinda langsung dari pembuatnya? Cusss ke kampung tenun. Di kampung ini, banyak rumah penjual sarung tenun Samarinda yang sedang menenun di teras rumahnya. Ternyata cara pembuatannya masih sangat sederhana dan alat tenunnya pun tak kalah sederhana. Walaupun begitu kualitasnya tidak diragukan. Setiap penenun rata-rata dapat membuat satu sarung tenun Samarinda dalam waktu seminggu dengan ukuran panjang 4 meter. Sarung tersebut dijual dengan kisaran harga mulai dari Rp150.000,- sampai dengan Rp500.000,- semakin besar dan banyak motifnya, maka harga jualnya pun akan semakin mahal.
Mohon maaf, ceritanya bersambung yah, tiba-tiba aja bos saya lewat... :))
...
No comments:
Post a Comment