Ya,
Lalu? Supaya bisa posting foto di path, instagram, facebook? Begitu?
Bukan, jawabku, sedikit kasar. Aku suka melihat matahari terbit -- atau terbenam. Di pantai, mungkin kamu bisa dengan mudahnya melihat matahari terbenam ataupun terbit, cukup berbekal bangun pagi buta, ataupun duduk santai sembari minum soda menunggu senja tiba. Tapi di gunung? Beda persoalan. Kamu harus mendaki dulu sekian jam, bersusah-susah, dan lalu – terpukau kemudian. Itu indah. Sudah cukup. Itu saja. Indah.
***
Aku paling suka memandang matahari terbit dari ketinggian, maaf lagi-lagi aku ulang. Jonsi menyebutnya Glosoli (Glowing Sun), kalau Tuhan aku menyebutnya Dhuha (The Glorious Morning Light). Setiap naik gunung, sebenarnya aku tidak melulu hanya mengejar puncak, tapi menurutku, matahari terbit ya paling indah dilihat dari puncak. Maka itulah, kalau memang waktunya aku rasa memungkinkan, aku selalu ngotot mendaki sampai ke Puncak. Karena itu pula aku sedikit kesal ketika tiga hari lalu aku pergi ke Wonosobo untuk mendaki Gunung Prau.
Hari itu, Jumat di awal November, aku terpaksa izin pulang lebih cepat dari kantorku demi mengejar bis ke Wonosobo dari terminal Rawamangun. Seperti biasa aku belum kenal siapapun yang akan menjadi teman pendakianku, cukuplah bertemu di terminal, berkenalan, lalu bercakap-cakap agar kami tidak lagi berjarak dan bisa mendaki bersama dengan nyaman. Dijadwalkan bis Malino Putra jurusan Wonosobo akan bertolak dari Rawamangun pukul 6, namun sampai jam 8 malam, aku dan teman-teman baruku masih juga terdampar di terminal Rawamangun dengan baunya yang khas; percampuran antara kuah bakso malang, asap bakaran sate padang, dan aroma pesing manusia-manusia yang terlalu malas untuk menyiram hajatnya sendiri.
Hampir pukul 21.00 akhirnya aku jatuh tertidur di bangku panjang terminal. Badanku kebetulan sedang demam, sepertinya gejala flu, sungguh sial. Maka itu sedari sore aku sudah menenggak dua butir vitamin dan obat penurun panas, otomatis aku langsung diserang rasa kantuk yang tidak tertahan. Pukul 22.00 suara riuh dan mesin knalpot bus yang khas membangunkanku. Bus kami datang juga akhirnya. Hari jumat plus bonus hujan deras sedari siang membuat Jakarta macet bukan kepalang, bus kami ternyata terjebak dan akhirnya terlambat.
Pada mulanya direncanakan kami akan mulai mendaki pukul 2 siang dari Dieng. Namun karena bus kami terlambat datang lalu juga ada beberapa temanku yang memakai jasa porter dan harus packing ulang, waktu pendakian terpaksa molor hingga pukul 3. Gunung Prau terkenal dengan keindahan sunset dan sunrisenya. Aku belum pernah menemukan sunset indah di Gunung, karena itu aku terlalu bersemangat mendaki gunung ini, meski sebenarnya aku sedang sakit, sengaja kupaksakan demi melihat sunsetnya yang (konon) fenomenal. Gunung Prau tidak terlalu tinggi, durasi normal pendakian hanya berkisar 3-4 jam sampai ke Puncak.
"Sunset di Prau muncul pukul 17.30", kata guide yang mengantar kami. Selesai berdoa bersama, langsung kukebut langkahku mendahului teman-teman yang lain demi mengejar matahari tenggelam. Aku tidak mau ketinggalan sunset. Seorang teman pernah bilang aku egois karena sering berjalan terlalu cepat, apa mungkin memang benar aku egois? Entahlah. Yang jelas aku luar biasa kecewa ketika sesampainya di atas, aku hanya menemukan kabut. Ya, kabut. Sunset yang menawan memang sempat muncul ke permukaan selama kurang-lebih dua puluh detik. Ya, dua puluh detik saja. Sampai akhirnya blasss.. kabut semakin menebal, jarak pandangku mungkin hanya berkisar kurang dari satu meter saja. Bersama rombongan tim porter aku duduk termenung di puncak gunung Prau.
Beberapa temanku terpisah jauh di belakang, kabut semakin tebal, sudah dipastikan mereka akan kesulitan berjalan lebih cepat. Cuaca semakin memburuk. Angin pun semakin kencang. Menurut para porter, cuaca saat ini sebenernya tidak terlalu dingin dibandingkan musim kemarau, tapi aku sudah mengigil kedinginan karena demam yang belum juga hilang.
Sambil menunggu teman-temanku, aku duduk meluruskan kaki sembari menyalakan sebatang rokok. Aku ingin push up atau joget caesar sekalian, badanku kedinginan. Sedih rasanya tidak bisa menyaksikan sunset, tapi tak apalah, masih ada sunrise, aku mulai menghibur diri. Mentalku harus aku panaskan lagi, kalau tidak aku bisa mati payah dikalahkan demam menyebalkan ini. Sekitar pukul 22.00 malam aku baru masuk ke dalam tenda dan akhirnya tertidur. Badai pun datang menerjang puncak Prau. Tendaku terus bergoyang-goyang padahal tidak ada pasangan pengantin baru disini. Aku menggigil di dalam sleeping bagku. Meringkuk di sudut berharap pagi segera tiba dan badai mereda.
Pukul 04.00 subuh aku terbangun dengan kepala berat. Hidungku terasa mampat, kubuka resleting tendaku dan byarrr.. kabut tebal masih belum juga hilang. Belum hilang harapan, aku bergegas mengenakan headlamp dan mencari senter tambahan. Bbbrrrrr.. dinginnya Prau. Kupaksakan keluar dari tenda, seorang teman juga ternyata sudah bangun. Aku duduk sebentar didekat kompor, mencari kehangatan meski hanya mampir di telapak tangan sembari berpikir, “Kira-kira apa doa yang pas untuk menghalau kabut?” Sialnya aku nggak tahu. Mau googling dulu, tapi jangankan berinternet ria, menelpon saja sulit.
Pukul 04.30 aku dan seorang teman berjalan menyusuri puncak Prau, berharap sunrise mau muncul meski sebentar saja. Mulai banyak pendaki-pendaki lain yang keluar dari tendanya dan bersama-sama menunggu sunrise. Namun sayangnya hanya sekitar dua menit saja langit mau bermurah hati memperlihatkan warna jingganya dan kemudian dilunturkan oleh kabut yang datang tanpa ampun. Hatiku mencelos. Sial, sungguh sial. Kupikir ini pendakian tersialku, ini adalah pendakian yang paling tidak sukses. Padahal kalau menurut orang waras, pendakian sukses itu adalah ketika kita pergi mendaki dan sampai di rumah kembali dengan selamat. Tapi orang yang sedang kesal, tentu tak pernah bisa diharapkan jadi waras.
Langit masih saja pekat. Aku kesal, ingin sekali teriak. Langkahku semakin lunglai, sembari menyusuri puncak untuk kembali ke tenda, ,telingaku sedikit terusik oleh suara tawa dan celoteh pendaki lain, aku menoleh kearah mereka. Sebagian tertawa, sebagian tersenyum, sebagian ada juga yang melamun, tapi tak ada yang cemberut, kecuali – aku. Ya, kecuali – aku. There’s gotta be something, why people would climb the mountain, why people would hike for an hours? There must be something, other than the beauty scenery of glowing sunrise or sunset, right? Right?
Aku mendadak teringat percakapan tentang jenis-jenis manusia yang gemar naik gunung dengan senior di kantorku. Dengan gamblang dia langsung melabeli aku sebagai “pendaki gunung” bukan “pecinta alam”. Kenapa? Karena aku adalah tipikal mereka yang senang beradu kuat hingga ke puncak. Pejalan cepat yang ambisius, bukan mereka yang berjalan pelan dan bersenang-senang. Itu kata dia. Kalo kata aku, apa gunanya berjalan tanpa tujuan? Cuma untuk bersenang-senang? Aku perlu tujuan. Aku butuh puncak, atau minimal aku harus mendapatkan sesuatu yang bisa kulihat atas hasil jerih payahku sendiri.
Puncak Prau, pukul tujuh pagi. Teman-temanku berhamburan entah kemana, sebagian sibuk berfoto-foto ria, sebagian lagi sibuk membuat mie, aku sendiri sudah tidak bernafsu memegang kameraku. Aku bahkan sudah tidak bernafsu untuk mengobrol atau sedikit berbasa-basi. Aku berjalan sendiri menjauh sedikit dari keramaian. Ketika sedang kesal begini, aku cuma kepingin sendiri. Ditemani sebatang rokok dan segelas teh tarik panas aku merebahkan diriku di rerumputan savana gunung Prau. Carrier di belakangku beralih fungsi menjadi bantal penyokong punggungku.
Demamku mereda, tapi kepalaku masih saja terasa panas. Aku sedang banyak pekerjaan di Jakarta, kalau tahu begini, aku menyesal pergi. Kuraih MP3 player di saku jaketku, Jonsi bersenandung. Hoppipola. “Smiling.. spinning in circles.. holding hands, the world is a blur..” Langit begitu sendu. Kuamati dengan mata lelah yang menyipit. Seekor serangga mendarat di ujung sepatuku. Di kejauhan, tenda berwarna-warni terlihat begitu kecil, puncak Prau membentang seperti permadani yang dijahit dari helai-helai yang begitu rapi. Pohon-pohon cemara berbaris di sisi perbatasan bukit-bukit savanna, dua elang jawa menukik lalu mengabur di angkasa. Bunga-bunga kecil entah jenis apa mengisi celah yang kosong dengan warnanya yang jenaka meski matahari menghilang entah kemana.
Aku tercekat. Kedua mataku merekam sebuah lansekap raksasa yang tertata dalam keteraturan yang begitu absurd di luar nalar manusia. Semua elemen yang hidup di depanku ini kenapa bisa terlihat begitu liar sekaligus santun ketika bersinggungan? Seperti saling mengisi meski dalam ritmenya sendiri. Semua terlihat begitu tertib, begitu saling menghormati, seperti saling bersinergi meski tak ada matahari. Dan dalam lima detik saja aku merasa betapa hidupku sungguh berantakan. Aku tersentak. Apakah mungkin ini yang dicari mereka yang dilabeli pecinta alam oleh seniorku?
Aku merasa sepenuhnya sebagai manusia kota. Kau tahu? Mereka yang selalu silau oleh kilau, yang nadinya tak berintonasi karena terlalu sesak dengan ambisi. Begitu terburunya aku berlari mengejar matahari, aku lupa bahwa ada begitu banyak hal untuk dinikmati. Angin kencang meniup bandana biruku, gelasku jatuh terhuyung, setengah teh tarikku tumpah ke tanah, seperti ingin menamparku, mengingatkanku untuk bersyukur untuk semua yang masih aku punya, untuk hal-hal yang tak akan selamanya ada. Ketenangan, kesendirian, kesederhanaan, dan sebagai bonusnya, kalau kamu beruntung -- sebuah perasaan yang tidak pernah bisa diterjemahkan dalam kata, pemandangan yang tidak akan pernah kamu lihat di brosur wisata, atau di post instagram double filter dari iPhone lima.
Aku merasa sepenuhnya sebagai manusia kota. Kau tahu? Mereka yang selalu silau oleh kilau, yang nadinya tak berintonasi karena terlalu sesak dengan ambisi. Begitu terburunya aku berlari mengejar matahari, aku lupa bahwa ada begitu banyak hal untuk dinikmati. Angin kencang meniup bandana biruku, gelasku jatuh terhuyung, setengah teh tarikku tumpah ke tanah, seperti ingin menamparku, mengingatkanku untuk bersyukur untuk semua yang masih aku punya, untuk hal-hal yang tak akan selamanya ada. Ketenangan, kesendirian, kesederhanaan, dan sebagai bonusnya, kalau kamu beruntung -- sebuah perasaan yang tidak pernah bisa diterjemahkan dalam kata, pemandangan yang tidak akan pernah kamu lihat di brosur wisata, atau di post instagram double filter dari iPhone lima.
Dan marahku menguap sudah.
Hello Galuh nice to meet you, sangat enak dibaca, dan mudah untuk di imajinasikan. Jadi pengen jadi penulis artikel juga. Kursus deh gw...
ReplyDeleteBeberapa hal seperti berjalan cepat (egois) ya sepertinya kita sama, dan menikmati sunrise penuh perjuangan dan mengabadikannya dalam sebuah gambar itu favoritku juga. Bukan masalah menaklukkan gunungnya tetapi suatu rasa syukur buat ku dapat melihat keindahan yang Tuhan berikan kepada kita. Dan tak lupa mie ongkloknya juga deh. Sukses terus kawan!!
Hai kawan seperjuangan ngebut ke atas hahaha, kali ini kita gagal menemukan si glowing sun, tapi gpp ya yang penting bisa makan mie ongklok yang ga kalah fenomenal itu :))
Deleteeh tapi fotonya ga kayak gagal lho....tetep keren...kalo kami kebanyakan mikir. hahaha
Deletetp foto foto lu masih keren lho masih dapat warna emasnya, kalo kami masih banyak mikirnya haha
DeleteAbisnya lu kecanggihan sih hahaha tp kan foto lu yg di dieng mantep mantep, tp kl langit lagi ga mood begini emg harus dont think just shoot laah hahaa
DeleteVery nice! Menggambarkan keadaan saat itu yang benar-benar membuat kita sebagai pengejar matahari putus asa. Artikel bagus!
ReplyDeleteArtikel yang menarik dan sangat sangat menggambarkan keadaan dan harapan saat itu. Bagus sekali!
ReplyDeletehuehehee makasih bro, sampe atas kecele ya kita..
Deletesemenjak lo gawe di NGO ko jadi sering travelling yak, "jadi mikir mau ke NGO juga ah"
ReplyDeleteOwh... hangat mentari disana, semoga tidak lantas membakar beberapa kotak harapan yg dibawa istriku. Terima kasih, sudah ngasih bingkisan imajinasi untuk istriku
ReplyDeleteawwww so sweeettt :')
DeleteSbnrnya kantor gw ini bukan NGO Ssih cuy
ReplyDeleteSenior di kantornya yg ngasih judgement gt pasti menyebalkan ya,non.. ;)
ReplyDeleteIYA :D
Deletembak, foto-fotonya bagus loh
ReplyDeletesaya suka sekali cahaya mataharinya
saya juga penggemar matahari timbul tenggelam, tapi lebih suka lihat dari laut...
mbak foto2nya bagus sekali
ReplyDeletesaya senang lihat cahaya mataharinya
kebetulan saya juga gemar lihat matahari timbul tenggelam
lihatnya dari momen benar2 gelap sampai jadi benar2 terang itu bikin saya bahagia sekali sudah hidup sekian lama
begitu pula dengan matahari tenggelam
hanya saja saya senang lihat dari laut
mungkin kapan2 saya harus coba lihat dari gunung
cobain deh liat dari puncak gunung :)
ReplyDelete