Sunday, August 23, 2015

catatan pendakian gunung batur dan gunung agung


"Bandara Ngurah Rai ditutup," kira-kira begitulah pesan singkat yang saya terima di email siang itu, Kamis, H minus satu sebelum saya hendak berangkat ke Bali. Gunung Raung sedang cranky -- dan crankynya gunung Raung, udah ngalah-ngalahin crankynya perempuan PMS plus sakit gigi plus migrain plus kerjaan di kantornya lagi banyak plus ga punya duit. Sudah terbayang?  Ga usah dibayangin sih, ngeri lah. Kamis malam saya masih gelisah antara berangkat atau tidak. Selain faktor keamanan, ada pula ketakutan jika saya tidak bisa kembali ke Jakarta hari Minggu malam karena persoalan ditutupnya bandara. Tapi Pak... tiket sudah terlanjur dipesan, apa boleh buat, carier saya pun sudah terpacking dengan sempurna siap diajak melanglang buana. Saya tekan nomor telepon taksi yang biasa mengantar ke bandara. "Pak, saya minta dijemput besok jam 4 subuh di anu anu anu.." Baiklah, Bali, here I come! 


Jumat pagi pesawat yang saya tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Ngurah Rai, si Raung yang cranky -- untungnya sedang kecapekan habis ngamuk kemarin, jadi dia anteng deh. I have three days to spend in Bali. Hawa panas khas pantai langsung menyeruak ke hidung ketika saya menginjakan kaki di bandara. Bule-bule berbekal papan surfing nampak hilir mudir di pelataran terminal kedatangan. Tiga hari di Bali ini akan saya habiskan untuk mendaki Gunung Batur dan Gunung Agung. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sekali terbang, dua tiga gunung terdaki. Kira-kira pingin kaya begitu. Dari bandara Ngurah Rai saya langsung berangkat menuju Kintamani, pos pendakian awal gunung Batur dengan berbekal Google Maps. Jaraknya sekitar dua jam setengah sudah plus nyasar dengan mengendarai sepeda motor. Oh ya, tolong jangan tanya gimana rasanya bawa carier sambil digonceng motor selama dua jam lebih, ya. Pegel, Ya Allah.. 

Sekitar pukul lima sore saya baru tiba di Kintamani. Sepi, iya sepi sekali. Gunung Batur ini setahu saya adalah tipikal gunung gemes yang mudah didaki, tapi kok sepi, ya? Di pos penjaga kami cukup membayar Rp. 10.000,- per orang sebagai tiket masuk pendakian.

"Mau nginap, mbak?" kata mas penjaganya. 
"Oh engga mas, mau ngecamp aja di atas." 

Percakapan bodoh. Karena ternyata kalau di Bali, istilah "ngecamp" itu ya maksudnya "menginap". Setelah membayar saya langsung tancap gas mendaki Batur sebelum gelap. Eh, asli deh.. ini gunung sepi bener. Sepanjang pendakian saya tidak bertemu dengan satu orang pendaki pun. Padahal saya mendaki udah termasuk di hitungan weekend. Where the hell are all of the hiker? Kira-kira 40 menit kemudian saya sudah tiba di puncak bayangan Gunung Batur. Krik krik... ada warung ternyata di sini. FYI. sebenarnya saya agak ilfil dengan puncak gunung yang di atasnya ada warung hehe.. Semacem Gunung Lawu gitu. Clingak-clingkuk saya masih belum menemukan satu orang pendaki pun, yang ada malah... monyet dan tikus huhu.. 

Sekitar jam 7 malam saya baru mendirikan tenda dan ternyata memang benar, tidak ada satu orang pun di puncak. Sampai saya teriak "Halooooooo! Cuwww cuwwww ciwwww ciwwwww" ga ada satu pun yang nyautin. Bodohnya lagi saya bawa trangia, tapi ga bawa ethanol. Zzz. Jadi kegiatan malam itu ga ada tuh masak-masakan atau bikin minuman anget-anget, cukup dengan logistik siap kunyah sambil memandangi langit yang penuh bintang hihi. Berhubung saya pake pesawat pagi banget, jam 9 saya sudah ngantuk dan akhirnya tertidur. Subuh-subuh ketika sedang enak-enak tidur saya terbangun oleh suara berisik, kok kayanya rame bener ya di luar? Begitu saya buka tenda, jreng jreng.. di luar ada konser Westlife kayanya. Rame beneeer. 



Setelah mengumpulkan nyawa dan siap keluar bergabung dengan para jamaah sunrise-iyah, kami segera mengambil posisi di tempat yang strategis. Tak lama kemudian matahari muncul. Sunrisenya hmmm.. on a scale of 1 to 10 sekitar 7.5 laah, mungkin karena terlalu ramai banyak orang dan begituuu banyak orang yang sibuk selfie, saya jadi kurang konsentrasi juga menikmati sunrise.  Sekitar pukul 07.00 kami membereskan tenda dan bersiap untuk turun gunung. Apa yang lebih cantik dari sunrise gunung Batur? Puncaknya. Iya, puncaknya cakeep deh, apalagi pas jamaah sunrise-iyah itu udah pada bubar. Hihi. 



Kurang lebih setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk trekking turun dari gunung Batur. All in all, ini gunung yang sangat campingable -- tapi entah kenapa orang lebih memilih untuk mendaki jelang subuh untuk lihat sunrisenya. Menurut teman saya yang berdomisili di Bali, masyarakat Bali memang cenderung kurang antusiasme dalam hal pergunungan, banyak dari mereka yang menganut kepercayaan Hindu dan beranggapan gunung adalah tempat sembahyang, bukan tempat untuk main (baca: camping sambil curhat). Kalau gunung ini berada di Jawa, mungkin puncaknya udah kayak rusun kebon kacang yang sungguh padat penghuninya. Its a nice thing though, gunung Batur meski ada warung di atas, tapi cukup bersih, tidak terlalu banyak sampah. 



















Siangnya kami sudah bertolak lagi menuju Besakih. Jarak dari Kintamani ke Besakih sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu jam menurut handphone saya, tapi belum juga setengah jalan handphone saya tiba-tiba hilang signal, alhasil nyasar lah kami. Di sebuah perempatan, pacar saya berinisiatif untuk nanya arah jalan sama penduduk lokal. Dan mungkin karena inisiatifnya ketinggian dia nanya dengan logat sok-sok dibikin kaya orang Bali. "Bli... mau ke Besakih kemana, ya?" Gara-gara dia ngomong pakai logat Bali, tiba-tiba si penduduk lokal itu ngejawab dengan bahasa Bali dengan intonasi sangat cepat sambil gerak-gerakin tangannya. Beneran deh, kedengarannya cuma kaya gini, "Enyengnyengnyengnyeengyanyingnyengg" Kita berdua cuma nganga sambil dengerin dia ngomong. Akhirnya saya jawab, "Makasih ya, Bli." Dikirain pacar saya paham maksudnya soalnya dia ngangguk-ngangguk kaya orang bener. Sesaat setelah tancap gas, tiba-tiba dia ngomong, 

"Aku ga ngerti tuh dia ngomong apa. Kita kemana ini,ya?" 
"......"

Untuk mendaki gunung Agung, ada tiga jalur pendakian yang umum digunakan oleh para pendaki untuk mendaki gunung ini. Yang pertama melalui barat daya, jalur Pura Besakih, ini yang paling sering digunakan untuk jalur pendakian, lalu melalui sisi tenggara, via Budakeling, dan terakhir jalur selatan, via Pura Pasar Agung, Karangasem. Untuk jalur pendakian via Pura Besakih, pendaki harus membayar sebesar Rp. 200.000,- per orang, kabar ini cukup simpang siur, ada juga yang bilang Rp. 400.000,- untuk satu orang pemandu. Hal ini diberlakukan sejak tahun 2008 ketika ada pendaki yang hilang dan ditemukan meninggal. Untuk meminimalisir kejadian ini, semua pendaki yang naik harus menggunakan pemandu lokal. 

Di pendakian kali ini, saya putuskan untuk mendaki melalui jalur Pura Pasar Agung Karangasem. Untuk melalui jalur sebenarnya tidak dikenai biaya sepeserpun, yang dimaksud 'tiket masuk' disini sebenarnya semacam "bayar seikhlasnya" karena kami pun tidak mendapat tiket atau insurance semacamnya, tapi lebih ke sebagai donasi yang jumlahnya tidak ditentukan. Jalur ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat Hindu - Bali yang hendak sembahyang di puncak Gunung, karena itu jalurnya memang relatif lebih sepi dari pendaki. Beberapa orang yang saya temui di jalur pendakian adalah orang Bali yang hendak sembahyang. Oh ya, dress code mereka pun dari bawah sudah mudah dikenali, memakai kain samping dan ubeng, untuk perempuan memakai kain dan kebaya plus sandal jepit. Baju itu pula yang mereka kenakan untuk mendaki gunung Agung. Hehe.. hebat, ya? 


 Pukul 12 malam kami mulai mendaki gunung Agung setelah menunggu kedatangan dua orang teman yang akan bergabung dalam pendakian. Untuk pendakian ini, karena waktu yang tidak memungkinkan saya tidak akan camping di atas, tapi tektok (naik, terus turun lagi - kaya orang stress LOL). Di Pura Pasar Agung, saya sarankan kalau kamu mau daki tengah malam, kamu langsung aja naik ke komplek samping Pura, di situ ada gazebo yang lumayan nyaman untuk beristirahat sampai waktu pendakian. Oh ya and please take note bahwa di atas tidak ada sumber air, sebenarnya ada sumber mata air jika melewati jalur Besakih tapi tidak ada di Pura Pasar Agung, bahkan di komplek Pura Pasar Agung, kalau sedang musim kemarau, stok air di kamar mandinya juga kosong, dan sudah tidak ada warung di komplek Pura Pasar Agung, jadi jangan lupa untuk melengkapi logistik makanan kalian sebelum ke Pura Pasar Agung. 

Di trek pembuka kami langsung disambut dengan tanjakan tiada henti. Konon jalur Pura Pasar Agung memang lebih brutal tanjakannya, namun demikian estimasi pendakian pun lebih singkat dibanding dengan melalui jalur Besakih. Perkiraan kami pendakian ini akan memakan waktu sampai 5 jam hingga ke puncak. Ketinggian Gunung Agung awalnya adalah 3142 mdpl, lalu setelah meletus tahun 1963 ketinggiannya berubah menjadi 3.130 mdpl. Beberapa kali saya bertemu dengan pendaki yang hendak sembahyang. Menurut kepercayaan mereka, tidak semua orang bisa diberikan kesempatan untuk sampai ke puncak Agung karena disanalah tempat tinggal Sang Mahadewa, maka tak heran jika pendakian ke puncak Agung oleh sebagian besar masyarakat Bali disebut juga sebagai 'perjalanan suci'. 

Beberapa kali dalam setahun, Gunung Agung tidak dibuka untuk umum karena pemeluk agama Hindu sedang melaksanakan upacara. Biasanya sekitar bulan Maret - April, Gunung Agung akan ditutup selama 23 hari selama upacara Karya Betara Turun Kabeh. Dalam upacara tersebut masyarakat Bali melarung hewan kurban di puncak Gunung Agung. Rasa-rasanya di gunung ini pula saya mendapati banyak sekali pantangan, misalnya; tidak boleh bawa daging sapi, daging babi, tidak boleh memakai perhiasan emas, tidak boleh mendaki ketika dalam keadaan haid, tidak boleh menyebut kata "ratu" kecuali diikuti dengan kata "Ratu Ida Batara" dsb. Sebelum kamu menyusun rencana perjalanan untuk mendaki Gunung Agung ada baiknya jika kamu cek dulu jadwal upacara-upacara besar di Bali. 






Dalam buku Pura Besakih; Pura, Agama dan Masyarakat Bali yang ditulis oleh David J. Stuart Fox, dia menyebutkan bahwa gunung merupakan salah satu orientasi utama spiritual masyarakat Bali. Maka tak heran jika orang Bali takut sekali mengambil tanaman ataupun membunuh hewan yang berada di sekitar Gunung Agung, konsepsi ini sebenarnya erat banget kaitannya sama menjaga ekosistem alam yang banyak diajarkan dalam agama Hindu. Maka hal ini pula menjawab pertanyaan saya kenapa gunung-gunung di Bali bisa bersih dari sampah. Memang ada sih beberapa spot sampah yang cukup tidak enak dilihat, tapi tetap tidak sebanyak di Jawa. 

Sesuai dengan estimasi waktu pendakian, kami tiba di puncak sekitar pukul 05.00 pagi. Matahari belum muncul, tapi semburat oranye sudah mulai membentuk garisan di langit. Saya harus bilang bahwa Gunung Agung ini seperti versi besar dari Merapi. Dimulai dengan karakteristik trek dari pos pendakian hingga trek non vegetasi menuju puncak. Kawahnya? Wow, bukan main gagahnya. Kalau kamu hendak mendaki Merapi dan sudah pernah mendaki Gunung Agung, then no worries, you'll be just fine. Ketika saya tiba di puncak sudah banyak sekali yang bersiap untuk sembahyang di atas. Ada satu spot di dekat bibir kawah yang penuh dengan patung, saya kurang paham itu patung apa saja, disitu ternyata adalah hot spot untuk sembahyang. 










Ketika langit sudah terang, monyet-monyet langsung keluar dari sarangnya dan berkeliaran. Untungnya monyet-monyet ini tidak agresif dan cenderung takut sama manusia. Saya yang sempat trauma karena pernah dicegat monyet di Uluwatu jadi lumayan tenang hihihi..  Setelah saya perhatikan di puncak Pura Agung ini, pendaki yang naik hanya ada dua jenis; 1. Yang hendak sembahyang, 2. turis mancanegara. Pendaki lokal? Kayanya masih bisa dihitung jari. Gunung Agung sepertinya memang belum menjadi destinasi favorit para pendaki, tapi entahlah kondisi di jalur Besakih bagaimana, mungkin lebih banyak pendaki lokalnya daripada di jalur Pura Pasar Agung. 

Untuk turun dari puncak hingga ke pos pendakian awal, kira-kira membutuhkan waktu 3-4 jam. Tanjakan yang curam plus batu-batu kerikil yang licin lumayan bikin saya jatuh beberapa kali karena sol sepatu yang kurang mumpuni. Terlebih karena sedang kemarau dan udara benar-benar kering, sehingga debu dan tanah yang berterbangan juga menambah tingkat kesulitan prosesi turun gunung ini. So far, saya cukup jatuh cinta sama dua gunung ini, and sure i would love to come back one day, mungkin sambil sekalian mampir ke Gunung Abang, yang katanya lumayan unyuk juga. :D Oh ya, tiga hari di Bali, saya akhirnya mampir ke pantai Kuta, itupun karena tujuan utamanya saya butuh mbok-mbok pijit yang banyak nongkrong di Kuta ahahahaa. Karena dulu sempat ngerasain jadi anak pantai *ahzek* -- dan beberapa kali Bali ya cuma buat eksplor pantai-pantainya aja, sekarang kok jadinya bosen ya sama pantai? Kayanya begitu-begitu aja sih viewnya, beda gitu kan kalau sama naik gunung, its a whole different sunrise and sunset in each mountain, ya kan? :D

***

No comments:

Post a Comment